Netanyahu Menolak Bantuan Kemanusiaan Masuk Gaza Meski Ada Gencatan Senjata

Benjamin Netanyahu, Pemimpin Israel, menolak memberikan izin untuk memasukkan bantuan berupa rumah mobil dan alat berat ke Jalur Gaza meskipun telah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Laporan media pada Minggu, yang dikutip dari penyiaran publik KAN, mengungkapkan bahwa Netanyahu menahan izin bagi alat berat untuk membersihkan reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan militer Israel di Gaza. Keputusan ini menambah ketegangan dalam situasi kemanusiaan yang semakin memprihatinkan di wilayah tersebut.

Sebelumnya, Palestina menuding Israel telah melanggar protokol kemanusiaan yang disepakati dalam gencatan senjata. Israel dianggap menahan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, seperti tenda, rumah mobil, dan alat berat untuk membersihkan reruntuhan yang mengancam keselamatan warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal akibat agresi militer Israel.

Gaza saat ini berada dalam kondisi yang sangat hancur setelah serangan Israel, yang menyebabkan ribuan warga Palestina kehilangan rumah mereka. Pada Sabtu lalu, kelompok perlawanan Palestina, Hamas, melepaskan tiga sandera Israel setelah memperoleh jaminan dari mediator bahwa bantuan kemanusiaan, termasuk rumah mobil dan alat berat, akan diizinkan masuk ke Gaza.

Selama tahap pertama gencatan senjata yang dimediasi, sebanyak 19 warga Israel dan lima pekerja Thailand yang disandera oleh Hamas dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan tersebut. Sebagai imbalannya, Israel juga melepaskan 1.135 warga Palestina yang ditahan di penjara Israel. Konflik yang berlangsung telah memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, dan keputusan Netanyahu semakin mempersulit upaya bantuan bagi para korban.

Palestina Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza: Strategi Zionis yang Tak Akan Berhasil

Perwakilan Jihad Islam Palestina di Teheran, Nasser Abu Sharif, menegaskan bahwa rakyat Palestina tidak akan tinggal diam menghadapi rencana pemindahan paksa warga Gaza yang diusulkan oleh Amerika Serikat. Dalam wawancaranya dengan kantor berita Iran, IRNA, pada Kamis (13/2), Abu Sharif menyatakan bahwa kebijakan ini bukanlah hal baru, melainkan bagian dari strategi Zionis yang telah berlangsung dalam berbagai bentuk sejak Israel berdiri.

Ia mengungkapkan bahwa selama lebih dari satu abad, negara-negara Barat telah berupaya mengusir penduduk asli Palestina dari tanah mereka demi kepentingan pemukim Zionis. Meski demikian, ia menegaskan bahwa rencana semacam itu berulang kali gagal di masa lalu karena keteguhan rakyat Palestina dalam mempertahankan hak mereka atas tanah kelahiran mereka.

Hingga saat ini, penduduk Jalur Gaza tetap bertahan di tengah kehancuran akibat serangan militer Israel yang telah berlangsung lebih dari 15 bulan. Mereka menghadapi blokade ekonomi yang ketat serta kehilangan berbagai sumber mata pencaharian. Abu Sharif menyoroti bahwa kondisi ini tidak hanya menyebabkan penderitaan luar biasa, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus keberadaan warga Palestina melalui kekerasan dan pembunuhan massal.

Ia pun mengutuk rencana pemindahan paksa yang didorong oleh Presiden AS Donald Trump, yang menurutnya merupakan bentuk nyata dari pelanggaran hak asasi manusia dan praktik pembersihan etnis. Oleh sebab itu, ia menyerukan agar kebijakan ini ditentang di tingkat internasional guna mengungkap ketidakadilan yang terus dialami rakyat Palestina.

Krisis Kemanusiaan di Gaza Memburuk, Kantor Media Gaza Desak Israel Patuhi Kesepakatan Gencatan Senjata

Kantor Media Pemerintah Gaza mendesak komunitas internasional untuk menekan Israel agar mematuhi protokol kemanusiaan dalam perjanjian gencatan senjata dengan Hamas. Mereka memperingatkan bahwa keterlambatan dalam implementasi perjanjian ini berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan yang semakin parah.

Direktur Kantor Media Gaza, Ismail Al-Thawabta, menyoroti bahwa meskipun terdapat kesepakatan yang jelas mengenai bantuan kemanusiaan, Israel terus gagal memenuhi komitmennya. Akibatnya, terjadi kelangkaan pangan, air bersih, dan pasokan medis yang mengancam keselamatan ribuan warga Palestina.

Al-Thawabta menegaskan bahwa keterlambatan pengiriman bantuan telah meningkatkan angka malnutrisi, terutama di kalangan anak-anak. Selain itu, persediaan medis yang semakin menipis memperburuk situasi di rumah sakit, mengancam nyawa ribuan pasien. Dalam kesepakatan yang disepakati, seharusnya terdapat pengiriman 60.000 karavan, 200.000 tenda, serta 600 truk bantuan setiap hari, tetapi penundaan telah menyebabkan puluhan ribu warga Palestina kehilangan tempat tinggal.

Selain itu, infrastruktur di Gaza semakin memburuk akibat keterbatasan pengiriman peralatan kemanusiaan, medis, serta alat pertahanan sipil. Al-Thawabta juga mengungkapkan bahwa pasokan bahan bakar yang terhambat telah menyebabkan pembangkit listrik berhenti beroperasi, mengakibatkan pemadaman listrik yang berkepanjangan serta memengaruhi layanan penting seperti rumah sakit dan pompa air.

Lebih lanjut, ia menyoroti dampak buruk dari pengungsian massal akibat serangan udara Israel serta penghancuran fasilitas pendidikan. Hal ini tidak hanya menyebabkan kehilangan tempat tinggal, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan mental warga sipil, terutama wanita, anak-anak, dan lansia.

Al-Thawabta menegaskan bahwa tindakan Israel melanggar hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa, yang mengatur perlindungan warga sipil serta menjamin pengiriman bantuan selama konflik. Ia mendesak komunitas internasional untuk bertindak lebih tegas dalam menekan Israel agar menjalankan kewajibannya, sekaligus meminta pertanggungjawaban Amerika Serikat atas konsekuensi dari ketidakpatuhan Israel terhadap kesepakatan gencatan senjata.

Pernyataan ini muncul setelah Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan penundaan pembebasan tahanan Israel yang semula dijadwalkan pada Sabtu. Keputusan tersebut diambil sebagai bentuk respons atas pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata.

Netanyahu Dianggap Anti-Perdamaian Setelah Usulkan Negara Palestina di Saudi

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini kembali membuat kontroversi dengan pernyataan yang menyarankan agar negara Palestina didirikan di Arab Saudi, bukannya di wilayah yang selama ini diakui sebagai tanah Palestina. Dalam wawancaranya dengan Channel 14 Israel, Netanyahu mengusulkan gagasan tersebut, yang langsung menuai kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Palestina dan Arab Saudi. Mereka menganggap pernyataan Netanyahu ini sebagai bentuk penghinaan terhadap hak-hak Palestina dan pelanggaran terhadap kedaulatan Arab Saudi.

Kecaman Palestina dan Respons dari Arab Saudi Kementerian Luar Negeri Palestina menyatakan penolakannya secara tegas terhadap ide tersebut, menilai pernyataan Netanyahu sebagai langkah provokatif yang bertentangan dengan hukum internasional dan upaya untuk menghapus hak Palestina atas tanah mereka. “Ini adalah pelanggaran terhadap kedaulatan dan stabilitas Arab Saudi,” tegas kementerian tersebut.

Hussein Al-Sheikh, Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), juga mengutuk keras usulan tersebut. Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa negara Palestina hanya bisa berdiri di tanah Palestina dan tidak di negara lain. “Negara Palestina hanya akan ada di atas tanah Palestina,” ujarnya di media sosial. Ia juga menegaskan dukungan Arab Saudi terhadap solusi dua negara sebagai jalan utama menuju perdamaian yang adil di Timur Tengah.

Pandangan Netanyahu Mengenai Negara Palestina Dalam wawancaranya, Netanyahu menjelaskan bahwa ia menolak pembentukan negara Palestina di wilayah Israel dengan alasan keamanan. Ia mengkritik Gaza yang dipimpin oleh Hamas sebagai contoh kegagalan negara Palestina. “Setelah 7 Oktober? Ada negara Palestina yang disebut Gaza. Gaza, yang dipimpin oleh Hamas, adalah negara Palestina, dan lihat apa yang kita dapatkan,” ujarnya.

Pernyataan ini semakin memperjelas ketidaksetujuan Netanyahu terhadap pengakuan negara Palestina di tanah Israel, serta penolakannya terhadap tuntutan Palestina dalam mencapai perdamaian.

Arab Saudi Tegaskan Posisi mereka Arab Saudi tidak tinggal diam terhadap pernyataan Netanyahu. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa negara tersebut akan terus berjuang untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. “Arab Saudi tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tanpa itu,” jelas pernyataan pemerintah Saudi, yang menegaskan bahwa posisi mereka terhadap Palestina tidak akan berubah.

Pernyataan ini memperlihatkan bahwa normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi masih sangat tergantung pada pengakuan terhadap hak Palestina untuk memiliki negara merdeka. Dengan begitu, peluang untuk hubungan diplomatik antara kedua negara tersebut semakin kecil selama tuntutan Palestina tidak dipenuhi.

Ketegangan Semakin Memanas, Dunia Diminta Bertindak Reaksi dari Palestina dan Arab Saudi semakin memperuncing ketegangan di kawasan Timur Tengah. Banyak negara dan organisasi internasional mendesak PBB dan komunitas global untuk menindak tegas guna memastikan hak-hak Palestina tetap dihormati. Meningkatnya eskalasi politik ini membuka pertanyaan besar mengenai masa depan solusi dua negara dan apakah itu masih bisa terwujud.

Situasi ini membuat dunia internasional semakin terlibat dalam konflik yang tampaknya semakin rumit, di mana perbedaan tajam antara Israel, Palestina, dan negara-negara besar di Timur Tengah terus memicu ketegangan.

Trump Ungkap Rencana Masa Depan Gaza, Sebut AS Akan Pimpin Rekonstruksi!

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait masa depan Jalur Gaza pasca konflik yang tengah berlangsung. Dalam unggahan di platform Truth Social pada Kamis, Trump mengklaim bahwa setelah pertempuran berakhir, Gaza akan diserahkan kepada AS oleh Israel. Namun, ia menegaskan bahwa “tidak akan ada tentara AS yang dikerahkan” dalam proses tersebut.

Trump menyebut bahwa rencana tersebut mencakup relokasi warga Palestina ke komunitas yang lebih aman dan modern di wilayah lain. Ia bahkan menyebut nama Chuck Schumer dalam konteks ini, dengan menekankan bahwa warga Palestina akan mendapatkan “rumah baru yang lebih baik,” serta kehidupan yang lebih stabil dan bebas dari ancaman.

Lebih lanjut, Trump mengusulkan skema pemindahan warga Palestina ke Mesir dan Yordania sebagai bagian dari rencana besarnya. Ia mengklaim bahwa AS, bersama dengan tim pembangunan global, akan memimpin proyek rekonstruksi besar-besaran di Gaza. Ia menggambarkan proyek tersebut sebagai “salah satu pembangunan terbesar dan paling spektakuler di dunia,” yang akan membawa perubahan signifikan bagi kawasan tersebut.

Trump juga memastikan bahwa tidak akan ada keterlibatan militer AS dalam rencana ini. Ia berpendapat bahwa pendekatan berbasis pembangunan ekonomi akan lebih efektif dalam menciptakan stabilitas jangka panjang dibandingkan dengan intervensi militer.

Meskipun demikian, pernyataan ini menuai beragam respons dari komunitas internasional, terutama di Timur Tengah. Banyak pihak mempertanyakan realisme dan kelayakan rencana Trump, mengingat kompleksitas politik dan sejarah konflik di Gaza. Kritikus juga menyoroti bahwa rencana relokasi warga Palestina bisa menjadi isu yang sensitif dan sulit diterima oleh negara-negara di kawasan.

Sementara itu, para pendukung Trump menganggap rencana tersebut sebagai solusi alternatif untuk mencapai perdamaian yang lebih stabil tanpa harus melibatkan kekuatan militer. Namun, tanpa adanya kejelasan lebih lanjut mengenai implementasi dan penerimaan pihak terkait, gagasan ini masih menjadi perdebatan di tingkat global.

Netanyahu Berikan Pager Emas kepada Trump, Mengingat Serangan Pager Mematikan di Lebanon

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan dua buah pager kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat kunjungannya ke Gedung Putih pada 4 Februari 2025. Salah satu pager tersebut adalah pager emas, sementara yang lainnya adalah pager biasa. Pemberian tersebut diyakini terkait dengan serangan pager yang terjadi di Lebanon pada September 2024.

Saluran berita Israel, Channel 12 News, melaporkan bahwa sebagai balasan, Trump memberikan hadiah berupa foto bersama Netanyahu yang diambil selama kunjungannya, disertai pesan: “Untuk Bibi, seorang pemimpin hebat.” Bibi adalah julukan akrab untuk Netanyahu.

Trump menggambarkan serangan pager yang terjadi di Lebanon sebagai “operasi luar biasa.” Serangan tersebut, yang terjadi pada 17 September 2024, melibatkan ledakan ribuan pager di seluruh Lebanon, menewaskan 14 orang dan melukai sekitar 3.000 lainnya. Keesokan harinya, serangan lanjutan menggunakan walkie-talkie juga terjadi, dengan 20 orang tewas, termasuk beberapa korban yang berada di pemakaman setelah serangan pertama.

Serangan tersebut ditujukan kepada anggota Hizbullah, meskipun banyak orang yang tidak terafiliasi dengan kelompok tersebut juga menjadi korban. Mayoritas korban yang terluka mengalami cedera parah di kepala dan perut, dan beberapa kehilangan penglihatan atau anggota tubuh, termasuk jari. Seorang anak berusia 10 tahun yang tewas di Lembah Bekaa menjadi salah satu korban, ketika pager ayahnya, seorang anggota Hizbullah, meledak. Juga terdapat laporan tentang anak dari anggota parlemen Hizbullah yang termasuk di antara korban yang tewas.

Lebanon Gugat Israel ke DK PBB: Pelanggaran Gencatan Senjata dan Resolusi 1701 Makin Parah

Pemerintah Lebanon resmi mengajukan keluhan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada Selasa terkait pelanggaran yang terus-menerus dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata dan Resolusi PBB 1701.

Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Lebanon, keluhan tersebut disampaikan melalui misi tetap Lebanon di New York sebagai bentuk respons atas serangkaian tindakan Israel yang melanggar Resolusi 1701 serta deklarasi penghentian permusuhan. Selain itu, Israel juga dinilai mengabaikan seluruh perjanjian keamanan yang telah disepakati.

Resolusi 1701, yang diadopsi pada 11 Agustus 2006, menetapkan penghentian total permusuhan antara Israel dan Hizbullah. Resolusi ini juga mengatur pembentukan zona bebas senjata di antara Garis Biru (Blue Line) dan Sungai Litani di Lebanon selatan, kecuali bagi tentara Lebanon dan pasukan perdamaian UNIFIL.

Kementerian Luar Negeri Lebanon merinci berbagai pelanggaran yang dilakukan Israel di wilayah selatan negara itu. Beberapa di antaranya mencakup serangan udara dan darat, penghancuran rumah serta pemukiman, penculikan warga Lebanon termasuk anggota militer, serta serangan terhadap warga sipil yang tengah berusaha kembali ke desa-desa mereka di perbatasan.

Lebanon juga menuduh Israel menyerang patroli militer mereka dan para jurnalis, serta menghapus lima penanda perbatasan di sepanjang Garis Biru yang merupakan batas de facto kedua negara.

Keluhan tersebut menegaskan bahwa tindakan Israel adalah pelanggaran serius terhadap Resolusi 1701 serta bentuk nyata dari pelanggaran kedaulatan Lebanon. Oleh karena itu, Lebanon meminta Dewan Keamanan PBB dan pihak-pihak yang mendukung gencatan senjata untuk mengambil tindakan tegas guna menghentikan agresi Israel, serta memperkuat peran militer Lebanon dan pasukan UNIFIL di wilayah konflik.

Gencatan senjata yang rapuh telah berlaku sejak 27 November 2024, setelah ketegangan antara Israel dan Hizbullah memuncak sejak 8 Oktober 2023 dan berkembang menjadi konflik berskala besar pada 23 September 2024.

Media Lebanon melaporkan bahwa sejak kesepakatan gencatan senjata diberlakukan, Israel telah melakukan lebih dari 830 pelanggaran. Sementara itu, Israel seharusnya menyelesaikan penarikan pasukannya dari Lebanon pada 26 Januari 2025 sesuai dengan kesepakatan, tetapi menolak untuk mematuhi tenggat waktu. Akibatnya, proses penarikan diperpanjang hingga 18 Februari 2025, menurut keterangan dari Gedung Putih.

Sejak 26 Januari 2025, setidaknya 26 orang tewas dan 221 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan Israel terhadap warga yang berusaha kembali ke rumah mereka di Lebanon selatan.

Hamas Dukung Pembentukan The Hague Group untuk Perjuangan Palestina

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pembentukan The Hague Group sebagai langkah strategis penting di tingkat internasional untuk mengakhiri pendudukan Israel di Gaza. Kelompok ini, yang terdiri dari negara-negara seperti Afrika Selatan, Malaysia, Namibia, Kolombia, Bolivia, Chili, Senegal, Honduras, dan Belize, bertujuan mengoordinasikan langkah-langkah hukum, diplomatik, dan ekonomi terhadap Israel yang dianggap telah melakukan pelanggaran hukum internasional.

Hamas dalam pernyataan resminya mengungkapkan rasa terima kasih terhadap inisiatif negara-negara tersebut dan menegaskan bahwa pembentukan The Hague Group merupakan bagian dari upaya mengakhiri pendudukan Zionis di Palestina serta mendukung hak rakyat Palestina untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri. Hamas juga menekankan bahwa agar sistem pendudukan Zionis bisa berakhir, biaya dari pendudukan tersebut harus diperberat dan Israel harus diisolasi secara global, mengingatkan pada apa yang terjadi dengan rezim apartheid Afrika Selatan.

Kelompok ini juga menegaskan bahwa keadilan internasional harus ditegakkan terhadap para pelaku kejahatan perang Zionis, serupa dengan apa yang dilakukan terhadap para pemimpin Nazi. Hamas mengajak negara-negara di dunia untuk bergabung dengan The Hague Group, mendukung perjuangan kemanusiaan di Palestina, dan mengembalikan kredibilitas hukum internasional yang telah dilanggar.

Pada pertemuan di Den Haag, Belanda, yang diselenggarakan oleh Progressive International, negara-negara ini mengecam tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza dan wilayah Palestina yang diduduki. Negara-negara tersebut juga menegaskan komitmennya untuk menentang kejahatan internasional tersebut dan memastikan keadilan tercapai.

Lebanon Kerahkan Pasukan ke Selatan sebagai Tanggapan atas Serangan Israel yang Meningkat

Pada Sabtu (1/2), Lebanon mengumumkan bahwa mereka telah mengerahkan pasukan ke wilayah selatan negara tersebut sebagai respons terhadap serangan Israel yang semakin meningkat. Keputusan ini diambil setelah koordinasi dengan Komite Kuartet yang bertugas mengawasi perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya.

Menurut pernyataan militer Lebanon, pengerahan pasukan tersebut merupakan langkah yang diambil untuk menanggapi “agresi Israel yang terus berlanjut.” Laporan militer juga menyebutkan bahwa Israel telah membakar sejumlah rumah di beberapa kota dan melancarkan dua serangan udara yang menargetkan “kendaraan pengangkut jenazah para syuhada.”

Pihak militer Lebanon mengimbau masyarakat untuk mengikuti instruksi dari pasukan yang dikerahkan dan bekerja sama dengan otoritas setempat demi menjaga keselamatan mereka di tengah ketegangan yang sedang berlangsung.

Sesuai dengan kesepakatan gencatan senjata, Israel seharusnya sudah menarik pasukannya dari Lebanon pada 26 Januari. Namun, mereka menolak untuk memenuhi kewajiban tersebut. Sebagai hasilnya, batas waktu penarikan pasukan Israel diperpanjang hingga 18 Februari, seperti yang diumumkan oleh pemerintah AS.

Sejak 26 Januari, lebih dari 26 orang dilaporkan tewas dan 221 lainnya terluka akibat serangan Israel, sementara banyak penduduk yang berusaha kembali ke desa mereka di Lebanon selatan. Gencatan senjata yang disepakati sebelumnya mengakhiri perang yang berlangsung sejak Oktober 2023 antara Israel dan kelompok perlawanan Hizbullah, yang telah merenggut lebih dari 4.000 nyawa warga Lebanon.

Hamas dan Iran Bahas Perkembangan Gencatan Senjata Gaza, Tekankan Dukungan Perjuangan Palestina

Delegasi senior Hamas yang dipimpin oleh Ketua Dewan Syura, Mohamed Darwish, mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, pada Kamis di Doha, Qatar. Pertemuan tersebut membahas perkembangan terbaru mengenai gencatan senjata di Gaza, pertukaran tahanan, serta tantangan politik dan kemanusiaan yang dihadapi rakyat Palestina.

Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan bahwa diskusi mencakup upaya Israel dalam menghambat rekonstruksi Gaza serta pentingnya bantuan kemanusiaan yang terus mengalir bagi warga terdampak. Darwish juga menyampaikan apresiasi terhadap dukungan Iran terhadap perjuangan Palestina, menyebut Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 sebagai momen krusial dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel.

“Upaya Israel untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka melalui kekerasan dan agresi tidak akan berhasil. Kami tetap teguh dalam mempertahankan hak kami atas Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa,” ujar Darwish.

Di sisi lain, Abbas Araghchi menegaskan kembali komitmen Iran dalam mendukung perjuangan Palestina, baik dalam aspek politik maupun kemanusiaan.

Perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku pada 19 Januari, dengan durasi awal 42 hari dan opsi perpanjangan melalui negosiasi lanjutan. Kesepakatan ini dimediasi oleh Mesir dan Qatar dengan dukungan Amerika Serikat.

Sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2023, lebih dari 47.400 warga Palestina—mayoritas perempuan dan anak-anak—tewas, sementara lebih dari 111.000 lainnya mengalami luka-luka. Selain itu, lebih dari 11.000 orang dinyatakan hilang, sementara infrastruktur Gaza mengalami kehancuran luas, memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang berlangsung di Gaza.