Perayaan Gencatan Senjata di Dunia Arab: Solidaritas untuk Gaza!

Pada Rabu (15/1), sejumlah negara di dunia Arab merayakan pengumuman kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Di Yordania, ibu kota Amman menjadi pusat perayaan, dengan parade mobil yang mengibarkan bendera Palestina dan menyuarakan dukungan untuk perlawanan di Gaza. Sebagian orang membagikan permen sambil mengenakan kefiyeh Palestina, seraya mengucapkan seruan, “Kemenangan untuk kita!” dan “Semoga Allah memberikan kekuatan kepada mereka!” sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang Gaza.

Di Maroko, kota Tangier dan Rabat juga menggelar pawai meriah, dengan banyak orang membawa foto Masjid Al-Aqsa dan bendera Palestina. Sementara itu, pawai serupa terjadi di wilayah Tepi Barat, termasuk Ramallah, Hebron, dan Nablus, dengan seruan mengagungkan perjuangan Gaza dan pemimpin mereka, Yahya Sinwar, yang gugur akibat serangan Israel.

Media sosial dipenuhi dengan video kebahagiaan, kembang api, dan doa dari masjid. Suriah, khususnya Aleppo dan Hama, turut merayakan dengan kerumunan yang melambaikan bendera Palestina dan berteriak, “Gaza, kami bersamamu hingga akhir!” Kamp pengungsi Palestina di Lebanon, seperti di Beirut, Sidon, dan Tripoli, juga ramai dengan suara tembakan, kembang api, dan seruan solidaritas.

Di Tunisia, sebuah aksi demonstrasi besar berlangsung di depan teater kota Tunis, dengan para peserta meneriakkan seruan seperti “Gaza, lambang kebanggaan” dan “Tidak ada kepentingan Zionis di tanah Tunisia,” sambil mengibarkan bendera Palestina. Di Doha, Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, mengumumkan secara resmi kesepakatan gencatan senjata yang mencakup pertukaran tahanan, penarikan pasukan Israel dari Gaza, serta rencana perdamaian yang akan mulai berlaku pada hari Minggu (19/1).

Pemimpin Baru Suriah Optimis 14 Juta Pengungsi Akan Kembali dalam Dua Tahun Pasca Jatuhnya Rezim Assad

Ahmed al-Sharaa, pemimpin pemerintahan baru Suriah, menyampaikan optimisme tinggi mengenai kembalinya 14 juta warga Suriah yang mengungsi setelah jatuhnya rezim Bashar Assad. Dalam sebuah wawancara dengan pembuat film dokumenter Joe HaTTab yang disiarkan pada Minggu (12/1), al-Sharaa menyatakan bahwa ia yakin sebagian besar pengungsi akan kembali dalam dua tahun ke depan, dengan hanya sekitar satu hingga 1,5 juta yang kemungkinan tetap tinggal di luar negeri.

Mengkritik keras rezim Baath yang digulingkan, al-Sharaa menggambarkan bagaimana institusi negara telah disalahgunakan untuk menekan rakyat melalui penyiksaan dan kekerasan. Dia menegaskan komitmen pemerintahannya untuk membawa Suriah ke arah rekonstruksi melalui keadilan sebagai landasan dasar pembangunan negara.

Al-Sharaa juga menekankan pentingnya perencanaan yang terstruktur untuk memperkuat negara. Ia percaya bahwa melalui perencanaan yang matang dan pendidikan publik yang konsisten, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Suriah dapat diatasi, meskipun memerlukan waktu.

Dalam wawancara tersebut, al-Sharaa menyatakan bahwa revolusi telah berhasil mengangkat martabat rakyat Suriah, dan saat ini mereka melihat masa depan dengan harapan. Ia menegaskan pentingnya membangun keharmonisan di antara semua lapisan masyarakat, yang kini memiliki konsensus sosial yang kuat.

Setelah jatuhnya rezim, pemerintahan baru Suriah berfokus pada rekonsiliasi, dengan kebijakan amnesti bagi mereka yang beralih kesetiaan setelah perubahan rezim. Namun, ia menegaskan bahwa individu yang terlibat dalam kejahatan perang, seperti penyiksaan dan pembantaian, tidak akan mendapat pengampunan.

Kekuasaan al-Sharaa menjadi simbol dari perubahan besar di Suriah setelah hampir 25 tahun rezim Assad, yang berakhir setelah kelompok anti-rezim berhasil menguasai Damaskus pada Desember 2024. Pemerintahan baru yang kini berada di bawah kendali al-Sharaa diharapkan dapat membawa Suriah ke arah yang lebih stabil dan damai setelah bertahun-tahun konflik.

Negara-negara Arab Kecam Negara Israel Soal Pencaplokan Zona Penyangga Dataran Tinggi Golan Di Suriah

Pada 25 Desember 2024, negara-negara Arab secara tegas mengutuk tindakan Israel yang kembali mencaplok zona penyangga Dataran Tinggi Golan yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Suriah. Tindakan ini mengundang kecaman internasional, terutama dari negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab. Mereka menilai bahwa langkah Israel tersebut bertentangan dengan hukum internasional dan berpotensi memperburuk ketegangan di kawasan Timur Tengah yang sudah sangat rawan konflik.

Isu Dataran Tinggi Golan telah menjadi pusat perhatian dunia sejak Israel merebutnya pada Perang Enam Hari tahun 1967. Wilayah ini, yang memiliki posisi strategis, telah menjadi salah satu zona sengketa terpanjang di dunia. Israel secara sepihak mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari negaranya, meskipun mayoritas negara di dunia, termasuk negara-negara Arab, menganggapnya sebagai bagian dari Suriah yang terjajah. Tindakan terbaru Israel dalam mencaplok zona penyangga tersebut semakin menegaskan ketegangan yang ada, dan telah menimbulkan ketidakpuasan global.

Liga Arab, yang terdiri dari 22 negara Arab, mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam keras tindakan Israel. Mereka menegaskan bahwa langkah tersebut tidak hanya melanggar kedaulatan Suriah, tetapi juga merusak upaya perdamaian yang sudah berlangsung sekian lama. Liga Arab menuntut agar negara-negara internasional tidak mengakui pencaplokan wilayah tersebut dan mendesak agar Israel segera menghentikan segala bentuk tindakan yang dapat merusak stabilitas kawasan.

Pencaplokan oleh Israel ini juga memicu reaksi keras dari beberapa negara besar di dunia. Meski ada beberapa negara yang mendukung langkah Israel, banyak negara lain, termasuk negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, yang menegaskan kembali dukungannya terhadap hukum internasional yang mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Suriah. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyatakan keprihatinan mendalam terhadap langkah Israel dan menyerukan perlunya dialog lebih lanjut untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai.

Pencaplokan zona penyangga Dataran Tinggi Golan oleh Israel memperburuk ketegangan yang sudah lama ada di Timur Tengah. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tetap bersikukuh pada posisi mereka bahwa wilayah tersebut adalah bagian dari Suriah, dan mengutuk keras langkah Israel. Dengan meningkatnya kecaman internasional, situasi ini semakin menunjukkan bahwa penyelesaian damai untuk konflik ini masih sangat jauh, dan kawasan Timur Tengah kembali menjadi pusat perhatian dunia.

Negara Suriah Bisa Terpecah Jadi Zona Kendali Kekuatan Asing

Damaskus – Suriah, yang telah lama dilanda perang saudara, kini menghadapi ancaman lebih besar berupa kemungkinan terpecah menjadi zona-zona yang dikuasai oleh kekuatan asing. Para analis geopolitik memperingatkan bahwa negara yang hancur akibat perang ini semakin rentan terhadap intervensi asing yang semakin mendalam. Keadaan ini terjadi di tengah berbagai kepentingan internasional yang saling bertentangan, dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, Turki, dan Iran memiliki pengaruh signifikan di wilayah tersebut.

Selama bertahun-tahun, Suriah telah menjadi medan perebutan pengaruh antara kekuatan besar dunia. Rusia dan Iran mendukung pemerintah Bashar al-Assad, sementara Amerika Serikat dan beberapa negara Barat mendukung kelompok oposisi. Sementara itu, Turki juga terlibat dalam mendukung kelompok-kelompok pemberontak di bagian utara negara tersebut. Pengaruh negara-negara besar ini semakin membentuk garis batas kekuasaan, yang berpotensi menyebabkan terpecahnya Suriah menjadi beberapa zona yang dikendalikan oleh kekuatan asing.

Dalam beberapa tahun terakhir, Suriah telah terbagi menjadi berbagai wilayah yang dikuasai oleh kekuatan asing dan kelompok bersenjata yang memiliki tujuan dan agenda masing-masing. Wilayah utara Suriah, misalnya, dikuasai oleh pasukan Turki dan kelompok pemberontak yang mereka dukung, sementara wilayah timur laut dikuasai oleh pasukan Kurdi yang mendapat dukungan dari AS. Sementara itu, pemerintah Suriah yang didukung oleh Rusia dan Iran mengendalikan sebagian besar wilayah negara ini, tetapi ada banyak daerah yang tetap tidak stabil dan terfragmentasi. Jika perpecahan ini terus berlanjut, Suriah bisa menjadi negara yang terpecah menjadi zona-zona kendali kekuatan asing.

Potensi perpecahan Suriah tentu membawa dampak buruk bagi rakyatnya. Konflik yang berkepanjangan dan terpecahnya negara menjadi beberapa zona kekuasaan asing hanya akan memperburuk penderitaan rakyat Suriah yang telah lama terjebak dalam krisis kemanusiaan. Selain itu, perpecahan ini dapat mempengaruhi stabilitas kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Ketegangan antar kekuatan asing di Suriah dapat memperburuk ketegangan di kawasan, yang sudah dipenuhi dengan konflik regional yang kompleks.

Meskipun situasi di Suriah sangat rumit, ada upaya-upaya untuk mencari penyelesaian damai. Pihak-pihak internasional, termasuk PBB dan negara-negara besar seperti Rusia dan AS, telah berusaha untuk mendorong dialog antar faksi di Suriah. Namun, perbedaan kepentingan yang tajam di antara pihak-pihak ini membuat proses perdamaian semakin sulit. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana menemukan jalan tengah yang dapat diterima oleh semua pihak, tanpa harus membuat negara Suriah semakin terpecah.

Suriah berada di persimpangan jalan yang sulit. Jika perpecahan yang terjadi terus berlanjut, negara ini bisa menjadi zona yang dikuasai oleh kekuatan asing, yang memperburuk konflik dan penderitaan rakyatnya. Namun, masih ada harapan untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas melalui diplomasi yang bijaksana. Ke depan, bagaimana Suriah dipulihkan akan sangat bergantung pada bagaimana komunitas internasional dapat berkolaborasi untuk mendorong penyelesaian politik yang komprehensif dan berkelanjutan.