Lebanon Gugat Israel ke DK PBB: Pelanggaran Gencatan Senjata dan Resolusi 1701 Makin Parah

Pemerintah Lebanon resmi mengajukan keluhan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada Selasa terkait pelanggaran yang terus-menerus dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata dan Resolusi PBB 1701.

Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Lebanon, keluhan tersebut disampaikan melalui misi tetap Lebanon di New York sebagai bentuk respons atas serangkaian tindakan Israel yang melanggar Resolusi 1701 serta deklarasi penghentian permusuhan. Selain itu, Israel juga dinilai mengabaikan seluruh perjanjian keamanan yang telah disepakati.

Resolusi 1701, yang diadopsi pada 11 Agustus 2006, menetapkan penghentian total permusuhan antara Israel dan Hizbullah. Resolusi ini juga mengatur pembentukan zona bebas senjata di antara Garis Biru (Blue Line) dan Sungai Litani di Lebanon selatan, kecuali bagi tentara Lebanon dan pasukan perdamaian UNIFIL.

Kementerian Luar Negeri Lebanon merinci berbagai pelanggaran yang dilakukan Israel di wilayah selatan negara itu. Beberapa di antaranya mencakup serangan udara dan darat, penghancuran rumah serta pemukiman, penculikan warga Lebanon termasuk anggota militer, serta serangan terhadap warga sipil yang tengah berusaha kembali ke desa-desa mereka di perbatasan.

Lebanon juga menuduh Israel menyerang patroli militer mereka dan para jurnalis, serta menghapus lima penanda perbatasan di sepanjang Garis Biru yang merupakan batas de facto kedua negara.

Keluhan tersebut menegaskan bahwa tindakan Israel adalah pelanggaran serius terhadap Resolusi 1701 serta bentuk nyata dari pelanggaran kedaulatan Lebanon. Oleh karena itu, Lebanon meminta Dewan Keamanan PBB dan pihak-pihak yang mendukung gencatan senjata untuk mengambil tindakan tegas guna menghentikan agresi Israel, serta memperkuat peran militer Lebanon dan pasukan UNIFIL di wilayah konflik.

Gencatan senjata yang rapuh telah berlaku sejak 27 November 2024, setelah ketegangan antara Israel dan Hizbullah memuncak sejak 8 Oktober 2023 dan berkembang menjadi konflik berskala besar pada 23 September 2024.

Media Lebanon melaporkan bahwa sejak kesepakatan gencatan senjata diberlakukan, Israel telah melakukan lebih dari 830 pelanggaran. Sementara itu, Israel seharusnya menyelesaikan penarikan pasukannya dari Lebanon pada 26 Januari 2025 sesuai dengan kesepakatan, tetapi menolak untuk mematuhi tenggat waktu. Akibatnya, proses penarikan diperpanjang hingga 18 Februari 2025, menurut keterangan dari Gedung Putih.

Sejak 26 Januari 2025, setidaknya 26 orang tewas dan 221 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan Israel terhadap warga yang berusaha kembali ke rumah mereka di Lebanon selatan.

Peperangan Elektronika Jadi Ancaman Nyata dalam Misi Perdamaian TNI di Lebanon!

Komandan Satgas MTF TNI Konga XXVIII-P UNIFIL, Letkol Laut (P) Anugerah Annurullah, menegaskan bahwa peperangan elektronika kini telah menjadi ancaman nyata dalam eskalasi konflik di Timur Tengah, terutama di perairan Lebanon. Ancaman ini tidak hanya memengaruhi stabilitas wilayah, tetapi juga memperumit operasi militer di laut, di mana teknologi canggih digunakan untuk menggangu sistem komunikasi dan navigasi.

Dalam upacara keberangkatan yang berlangsung di Mabes TNI pada Kamis (19/12), Anugerah menyoroti meningkatnya penggunaan gelombang elektromagnetik yang dapat memicu peperangan elektronika, termasuk ancaman berupa jamming dan spoofing. Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi Satgas Maritim TNI yang bertugas di perairan Lebanon, karena gangguan sinyal dapat memengaruhi seluruh jalannya operasi.

“Kita bisa lihat bersama bahwa eskalasi konflik di Timur Tengah, khususnya di perairan Lebanon, semakin meningkat. Kondisi ini sangat memengaruhi tugas kami di laut, di mana kami harus siap menghadapi ancaman yang semakin kompleks, terutama dalam hal peperangan elektronika,” ungkap Anugerah.

Untuk menghadapi ancaman ini, Satgas Maritim TNI telah memperkuat kemampuan mereka dalam menangkal segala potensi bahaya. Salah satu langkah antisipasi yang diambil adalah melengkapi peralatan mereka dengan sistem anti-jamming, yang dirancang untuk melindungi peralatan komunikasi dan navigasi dari gangguan eksternal. Selain itu, Satgas juga telah mempersiapkan berbagai strategi serangan elektronika yang akan diterapkan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh MTF UNIFIL di Lebanon.

Dalam menjalankan misi perdamaian PBB, Anugerah akan memimpin 119 personel yang terdiri dari lebih dari 100 prajurit anak buah kapal (ABK) dan 15 personel non-ABK. Mereka akan bertugas selama 12 bulan di perairan Lebanon menggunakan KRI Sultan Iskandar Muda-367. Selama masa tugas ini, Satgas Maritim TNI akan beroperasi bersama Angkatan Laut Lebanon untuk memastikan stabilitas dan menjaga perdamaian di kawasan yang rawan konflik tersebut. Keterlibatan TNI dalam operasi ini menjadi bagian penting dari upaya perdamaian internasional yang dijalankan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.