Tanggal 12 Februari 2025 Memperingati Hari Apa? Ini Penjelasannya

Setiap tahun pada tanggal 12 Februari, terdapat peringatan Hari Internasional Pencegahan Ekstremisme Kekerasan yang Mendukung Terorisme atau International Day for the Prevention of Violent Extremism as and when Conducive to Terrorism.
Hari ini dalam rangka meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman yang terkait dengan ekstremisme kekerasan. Berikut asal-usul Hari Pencegahan Ekstremisme Kekerasan Pendukung Terorisme.

Latar Belakang Hari Pencegahan Ekstremisme Kekerasan Pendukung Terorisme
Dikutip dari situs PBB, Majelis Umum melalui resolusi 77/243 mendeklarasikan tanggal 12 Februari sebagai Hari Internasional untuk Pencegahan Ekstremisme Kekerasan yang Mendukung Terorisme. Resolusi tersebut menegaskan kembali bahwa terorisme dan ekstremisme kekerasan, sebagaimana dan apabila mengarah pada terorisme, tidak dapat dan tidak boleh dikaitkan dengan agama, kebangsaan, peradaban, atau kelompok etnis apa pun.

Majelis Umum PBB menekankan tanggung jawab utama negara anggota dan lembaga nasional masing-masing dalam melawan terorisme, dan menggarisbawahi peran penting organisasi antarpemerintah, masyarakat sipil, akademisi, pemimpin agama, dan media dalam melawan terorisme serta mencegah ekstremisme kekerasan yang kondusif terhadap terorisme.

Pada tanggal 15 Januari 2016, Sekretaris Jenderal PBB menyampaikan Rencana Aksi untuk Mencegah Ekstremisme Kekerasan kepada Majelis Umum. Pada tanggal 12 Februari 2016, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menyambut inisiatif Sekretaris Jenderal PBB dan mencatat Rencana Aksi untuk Mencegah Ekstremisme Kekerasan.

Rencana aksi menyerukan pendekatan yang tidak hanya mencakup langkah-langkah antiterorisme berbasis keamanan penting, tetapi juga langkah-langkah pencegahan sistematis untuk mengatasi kondisi mendasar yang mendorong individu untuk meradikalisasi dan bergabung dengan kelompok ekstremis kekerasan.

Dampak Ekstremisme Kekerasan
Ekstremisme kekerasan merupakan penghinaan terhadap tujuan dan prinsip PBB. Ekstremisme merusak perdamaian dan keamanan, hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan.

Ekstremisme kekerasan merupakan fenomena yang beragam, tanpa definisi yang jelas. Ekstremisme kekerasan bukanlah hal baru atau eksklusif bagi wilayah, kebangsaan, atau sistem kepercayaan mana pun.

Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok teroris seperti Negara Islam di Irak dan Levant (ISIL), Al-Qaeda, dan Boko Haram telah membentuk citra tentang ekstremisme kekerasan dan perdebatan tentang cara mengatasi ancaman ini. Pesan intoleransi kelompok-kelompok ini telah menimbulkan konsekuensi yang drastis bagi banyak wilayah di dunia.

Dengan menguasai wilayah dan menggunakan media sosial untuk mengomunikasikan kejahatan mereka yang kejam secara langsung, mereka berupaya menantang nilai-nilai bersama tentang perdamaian, keadilan, dan martabat manusia.

Penyebaran ekstremisme kekerasan semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang melampaui batas wilayah mana pun. Jutaan orang telah meninggalkan wilayah yang dikuasai oleh kelompok teroris dan ekstremis kekerasan.

Arus migrasi meningkat, baik dari dan ke zona konflik, melibatkan mereka yang mencari perlindungan dan mereka yang dibujuk ke dalam konflik sebagai pejuang teroris asing, yang semakin mengganggu stabilitas wilayah terkait.

Tidak ada yang dapat membenarkan ekstremisme kekerasan, tetapi kita juga harus mengakui bahwa hal itu tidak muncul begitu saja. Narasi tentang keluhan, ketidakadilan yang nyata atau yang dirasakan, pemberdayaan yang dijanjikan, dan perubahan besar menjadi menarik ketika hak asasi manusia dilanggar, tata pemerintahan yang baik diabaikan, dan aspirasi dihancurkan.

Netanyahu Dianggap Anti-Perdamaian Setelah Usulkan Negara Palestina di Saudi

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini kembali membuat kontroversi dengan pernyataan yang menyarankan agar negara Palestina didirikan di Arab Saudi, bukannya di wilayah yang selama ini diakui sebagai tanah Palestina. Dalam wawancaranya dengan Channel 14 Israel, Netanyahu mengusulkan gagasan tersebut, yang langsung menuai kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Palestina dan Arab Saudi. Mereka menganggap pernyataan Netanyahu ini sebagai bentuk penghinaan terhadap hak-hak Palestina dan pelanggaran terhadap kedaulatan Arab Saudi.

Kecaman Palestina dan Respons dari Arab Saudi Kementerian Luar Negeri Palestina menyatakan penolakannya secara tegas terhadap ide tersebut, menilai pernyataan Netanyahu sebagai langkah provokatif yang bertentangan dengan hukum internasional dan upaya untuk menghapus hak Palestina atas tanah mereka. “Ini adalah pelanggaran terhadap kedaulatan dan stabilitas Arab Saudi,” tegas kementerian tersebut.

Hussein Al-Sheikh, Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), juga mengutuk keras usulan tersebut. Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa negara Palestina hanya bisa berdiri di tanah Palestina dan tidak di negara lain. “Negara Palestina hanya akan ada di atas tanah Palestina,” ujarnya di media sosial. Ia juga menegaskan dukungan Arab Saudi terhadap solusi dua negara sebagai jalan utama menuju perdamaian yang adil di Timur Tengah.

Pandangan Netanyahu Mengenai Negara Palestina Dalam wawancaranya, Netanyahu menjelaskan bahwa ia menolak pembentukan negara Palestina di wilayah Israel dengan alasan keamanan. Ia mengkritik Gaza yang dipimpin oleh Hamas sebagai contoh kegagalan negara Palestina. “Setelah 7 Oktober? Ada negara Palestina yang disebut Gaza. Gaza, yang dipimpin oleh Hamas, adalah negara Palestina, dan lihat apa yang kita dapatkan,” ujarnya.

Pernyataan ini semakin memperjelas ketidaksetujuan Netanyahu terhadap pengakuan negara Palestina di tanah Israel, serta penolakannya terhadap tuntutan Palestina dalam mencapai perdamaian.

Arab Saudi Tegaskan Posisi mereka Arab Saudi tidak tinggal diam terhadap pernyataan Netanyahu. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa negara tersebut akan terus berjuang untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. “Arab Saudi tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tanpa itu,” jelas pernyataan pemerintah Saudi, yang menegaskan bahwa posisi mereka terhadap Palestina tidak akan berubah.

Pernyataan ini memperlihatkan bahwa normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi masih sangat tergantung pada pengakuan terhadap hak Palestina untuk memiliki negara merdeka. Dengan begitu, peluang untuk hubungan diplomatik antara kedua negara tersebut semakin kecil selama tuntutan Palestina tidak dipenuhi.

Ketegangan Semakin Memanas, Dunia Diminta Bertindak Reaksi dari Palestina dan Arab Saudi semakin memperuncing ketegangan di kawasan Timur Tengah. Banyak negara dan organisasi internasional mendesak PBB dan komunitas global untuk menindak tegas guna memastikan hak-hak Palestina tetap dihormati. Meningkatnya eskalasi politik ini membuka pertanyaan besar mengenai masa depan solusi dua negara dan apakah itu masih bisa terwujud.

Situasi ini membuat dunia internasional semakin terlibat dalam konflik yang tampaknya semakin rumit, di mana perbedaan tajam antara Israel, Palestina, dan negara-negara besar di Timur Tengah terus memicu ketegangan.

Upaya Penyelundupan Rokok Ilegal di Sampang Digagalkan Polisi

Sampang – Polisi dari Polres Sampang berhasil menggagalkan pengiriman rokok ilegal yang dikirim menggunakan jasa pengiriman JNT Cargo. Dalam operasi yang dilakukan pada Kamis, 30 Januari 2025, petugas mengamankan 19 karton rokok tanpa pita cukai yang ditemukan di dalam sebuah mobil boks ekspedisi.

Kapolres Sampang, AKBP Hartono, menjelaskan bahwa informasi mengenai pengiriman barang ilegal ini diterima oleh pihak kepolisian pada malam hari sekitar pukul 22.00 WIB. Setelah mendapatkan informasi tersebut, petugas langsung melakukan pengecekan terhadap sebuah mobil pikap boks yang melintas di Jalan Raya Desa Trapang, Kecamatan Banyuates, Sampang.

“Setelah melakukan pengecekan, kami menemukan bahwa muatan mobil tersebut terdiri dari 19 karton yang berisi rokok ilegal tanpa pita cukai, yang jelas melanggar hukum,” ujar Hartono dalam keterangannya pada Selasa (4/2/2025).

Penyamaran dengan Resi Elektronik

Saat melakukan pemeriksaan, petugas mendapati bahwa resi pengiriman yang tertera pada karton-karton tersebut mencantumkan barang elektronik, padahal isinya adalah rokok ilegal. Hal ini menunjukkan adanya penyamaran dalam pengiriman yang berusaha mengelabui pihak berwenang.

“Resi yang ada pada karton-karton itu mencantumkan barang elektronik. Namun setelah diperiksa, isinya justru rokok tanpa pita cukai,” tambah Hartono.

Sopir Diperiksa dan Dilepaskan

Sopir kendaraan yang membawa muatan tersebut, yang diketahui bernama MZ, telah diperiksa oleh pihak kepolisian. Namun, setelah pemeriksaan selesai, MZ dipulangkan, sementara kendaraan dan barang bukti berupa rokok ilegal tersebut masih diamankan oleh polisi untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut.

Pihak kepolisian juga akan menyelidiki siapa saja pihak yang terlibat dalam pengiriman rokok ilegal tersebut, termasuk pemilik dan pemesan paket yang terdaftar dalam alamat pengiriman. Polisi akan menggali informasi lebih dalam untuk menindak pelaku yang terlibat dalam jaringan distribusi rokok ilegal ini.

Ancaman Hukuman Berat untuk Pelaku

Perdagangan rokok ilegal tanpa pita cukai merupakan pelanggaran yang serius dan dapat dikenakan sanksi hukum yang berat. Menurut Pasal 115 Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Pasal 437 ayat 1 UURI Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta Pasal 62 ayat 1 jo Pasal 8 ayat 1 huruf a dan d UURI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku dapat dijerat dengan ancaman pidana. Selain itu, Pasal 54 UURI Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, yang telah diubah dengan UURI Nomor 39 Tahun 2007, juga memberikan ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun bagi pelaku yang terlibat dalam perdagangan rokok ilegal.

Penyelidikan lebih lanjut akan terus dilakukan untuk memastikan bahwa jaringan distribusi rokok ilegal ini dapat segera diputuskan dan pelaku yang terlibat mendapatkan hukuman yang setimpal.

Negara Rumania Dan Bulgaria Resmi Bergabung Dengan Zona Schengen: Era Baru Pergerakan Bebas Di Eropa

Rumania dan Bulgaria secara resmi menjadi anggota penuh zona Schengen, menandai akhir dari penantian selama 13 tahun untuk kedua negara tersebut. Keanggotaan ini dimulai pada tengah malam tanggal 1 Januari 2025, dan memperluas zona tanpa batas di Eropa menjadi 29 negara.

Rumania dan Bulgaria telah menjadi anggota Uni Eropa sejak 2007 dan telah memenuhi semua persyaratan teknis untuk bergabung dengan zona Schengen sejak 2011. Namun, keanggotaan mereka tertunda akibat keberatan dari beberapa negara anggota, terutama Austria, yang khawatir tentang arus migran ilegal. Ini menunjukkan bahwa dinamika politik dalam Uni Eropa dapat mempengaruhi proses integrasi negara-negara baru.

Keberatan Austria akhirnya dicabut setelah ketiga negara—Austria, Rumania, dan Bulgaria—menyepakati perjanjian perlindungan perbatasan pada bulan Desember 2024. Perjanjian ini mencakup pengaturan penjagaan bersama di perbatasan Bulgaria-Turki dan kontrol sementara di tempat penyeberangan darat. Ini menunjukkan bahwa kolaborasi antarnegara sangat penting untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Bergabungnya Rumania dan Bulgaria ke dalam zona Schengen diperkirakan akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) kedua negara setidaknya sebesar 1 persen. Dengan hilangnya pemeriksaan di perbatasan, arus wisatawan dan perdagangan antarnegara akan lebih mudah dan murah. Ini mencerminkan bahwa integrasi dalam zona Schengen dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi negara-negara anggotanya.

Perayaan keanggotaan baru ini ditandai dengan upacara di berbagai pos perbatasan antara Rumania dan Bulgaria. Menteri Dalam Negeri kedua negara bertemu di perbatasan Ruse-Giurgiu untuk merayakan pembukaan perbatasan tanpa pemeriksaan identitas. Ini menunjukkan pentingnya simbolisme dalam momen-momen bersejarah yang menyatukan bangsa-bangsa.

Dengan bergabungnya Rumania dan Bulgaria ke zona Schengen, diharapkan akan tercipta peluang baru bagi warga kedua negara untuk menjelajahi Eropa tanpa batasan. Keberhasilan ini juga dapat meningkatkan rasa keanggotaan mereka dalam Uni Eropa, memperkuat solidaritas antarnegara anggota. Diharapkan bahwa langkah ini akan mendorong lebih banyak kolaborasi dan integrasi di masa depan, menjadikan Eropa sebagai wilayah yang lebih terhubung dan harmonis.

Pejabat Israel Usulkan Zona Penyangga Keamanan Di Beit Hanoun Untuk Stabilitas Wilayah

Pejabat militer Israel mengusulkan pembentukan zona penyangga keamanan di Beit Hanoun, sebuah kota di Jalur Gaza utara. Usulan ini muncul sebagai langkah strategis untuk meningkatkan keamanan di wilayah tersebut, yang selama ini menjadi titik panas konflik antara Israel dan Palestina. Ini menunjukkan bahwa Israel berupaya untuk mengontrol situasi di daerah yang berdekatan dengan pemukiman mereka.

Zona penyangga yang diusulkan akan mencakup area tinggi di Beit Hanoun yang menghadap langsung ke pemukiman Israel, seperti Sderot. Menurut laporan media Israel, pejabat militer percaya bahwa pembentukan zona ini dapat mencegah warga Gaza kembali ke bagian tertentu dari Beit Hanoun di masa depan. Ini mencerminkan upaya Israel untuk memperkuat pengawasan dan kontrol atas wilayah yang dianggap berisiko.

Usulan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk warga Palestina yang melihatnya sebagai upaya untuk memaksa pengusiran penduduk lokal dan memperluas kontrol Israel atas wilayah tersebut. Sejak dimulainya operasi militer besar-besaran pada Oktober 2024, banyak warga Gaza telah kehilangan rumah mereka dan menghadapi kesulitan dalam mendapatkan bantuan kemanusiaan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan keamanan sering kali berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat sipil.

Israel telah melanjutkan operasi militer di Gaza dengan alasan untuk mencegah Hamas melakukan serangan lebih lanjut. Namun, banyak pihak internasional menganggap tindakan ini sebagai bentuk agresi yang merugikan warga sipil. Situasi di Gaza semakin memburuk dengan laporan tentang jumlah korban jiwa yang terus meningkat, termasuk wanita dan anak-anak. Ini mencerminkan tantangan besar dalam mencapai solusi damai di kawasan tersebut.

Usulan pembentukan zona penyangga ini juga menarik perhatian komunitas internasional. Banyak negara dan organisasi hak asasi manusia menyerukan agar Israel menghentikan tindakan yang dianggap melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia. Mereka menekankan pentingnya dialog dan negosiasi untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan antara Israel dan Palestina. Ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik memerlukan kerjasama dari semua pihak terkait.

Dengan usulan zona penyangga keamanan ini, semua pihak kini diajak untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap stabilitas jangka panjang di wilayah tersebut. Meskipun langkah-langkah keamanan diperlukan, penting untuk memastikan bahwa hak-hak warga sipil dihormati dan dilindungi. Ini menjadi momen penting bagi pemimpin regional dan internasional untuk bekerja sama dalam mencari solusi damai yang dapat mengakhiri siklus kekerasan di Gaza.

TikTok Terancam Diblokir Di AS, Keamanan Nasional Jadi Alasan Utama

TikTok menghadapi ancaman serius untuk diblokir di Amerika Serikat mulai 19 Januari 2025. Ini terjadi setelah Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang yang mewajibkan perusahaan induk TikTok, ByteDance, untuk menjual aset-asetnya di AS. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kekhawatiran bahwa aplikasi tersebut dapat menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional.

Pemerintah AS mengkhawatirkan bahwa data pengguna TikTok dapat diakses oleh pemerintah Tiongkok, yang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan spionase atau manipulasi politik. ByteDance, sebagai perusahaan induk TikTok yang berbasis di Tiongkok, dianggap memiliki kewajiban untuk menyerahkan data kepada pemerintah Tiongkok jika diminta. Ini menunjukkan bahwa isu privasi dan keamanan data menjadi perhatian utama dalam kebijakan pemerintah.

Dengan adanya undang-undang baru yang disahkan pada April 2024, ByteDance diharuskan menjual TikTok sebelum batas waktu yang ditentukan. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, aplikasi ini akan dilarang secara nasional dan penyedia layanan internet akan diwajibkan memblokir akses ke platform tersebut. Ini mencerminkan tekanan besar yang dihadapi oleh perusahaan dalam menghadapi regulasi ketat dari pemerintah AS.

Hari ini, Mahkamah Agung AS akan mempertimbangkan argumen dari TikTok terkait larangan tersebut. Perusahaan telah mengajukan permohonan darurat, dengan klaim bahwa larangan ini melanggar hak kebebasan berbicara yang dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS. Hasil dari sidang ini akan sangat menentukan nasib TikTok di pasar Amerika. Ini menunjukkan betapa pentingnya keputusan hukum dalam menentukan arah kebijakan teknologi dan media sosial.

Larangan terhadap TikTok juga memicu perdebatan sengit mengenai keseimbangan antara keamanan nasional dan kebebasan berbicara. Beberapa pihak menolak larangan tersebut karena dianggap melanggar hak-hak digital pengguna. Dalam konteks ini, penting untuk menemukan solusi yang dapat melindungi keamanan tanpa mengorbankan kebebasan individu. Ini mencerminkan kompleksitas isu yang dihadapi dalam era digital saat ini.

Jika TikTok diblokir, lebih dari 170 juta pengguna di AS akan kehilangan akses ke platform tersebut, dan ribuan karyawan TikTok di negara itu berisiko kehilangan pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan pemerintah tidak hanya berdampak pada perusahaan tetapi juga pada kehidupan banyak orang yang bergantung pada aplikasi tersebut untuk pekerjaan dan interaksi sosial.

Dengan ancaman pemblokiran yang semakin mendekat, semua pihak kini diajak untuk menyaksikan bagaimana situasi ini akan berkembang setelah sidang Mahkamah Agung hari ini. Keputusan yang diambil akan menjadi langkah krusial dalam menentukan masa depan TikTok di Amerika Serikat dan bisa menjadi preseden bagi regulasi aplikasi asing lainnya. Keberhasilan atau kegagalan TikTok dalam menghadapi tantangan ini akan memberikan dampak signifikan terhadap industri teknologi dan media sosial secara keseluruhan.

Sidang JBC Ke-38: Upaya Bersama RI Dan PNG Untuk Meningkatkan Kawasan Perbatasan

Sidang ke-38 Joint Border Committee (JBC) antara Republik Indonesia dan Papua Nugini (PNG) menjadi sorotan utama dalam upaya meningkatkan pengelolaan kawasan perbatasan. Pertemuan ini berlangsung dari 18 hingga 20 Desember 2024 dan dihadiri oleh delegasi dari kedua negara yang membahas berbagai isu strategis terkait kerjasama bilateral.

Sidang dibuka oleh Dr. Amran, Plh. Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, yang memimpin delegasi Indonesia, serta Philip Leo, Sekretaris Departemen Urusan Provinsi dan Pemerintahan Lokal PNG. Pembukaan ini menandakan komitmen kedua negara untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan di kawasan perbatasan. Ini menunjukkan bahwa dialog antar pemerintah sangat penting untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Dalam sidang ini, berbagai isu strategis terkait pengelolaan perbatasan menjadi fokus utama, termasuk keamanan, perdagangan lintas batas, dan pengembangan infrastruktur. Delegasi membahas hasil dari sub-sub komite JBC yang telah melakukan pertemuan sebelumnya, termasuk masalah keamanan di daerah perbatasan. Ini mencerminkan pentingnya kolaborasi untuk menangani isu-isu yang dapat mengganggu stabilitas kawasan.

Salah satu poin penting dalam sidang adalah peninjauan kembali kerjasama bilateral yang telah ada antara kedua negara. Hal ini mencakup revisi terhadap penggunaan pass lintas batas dan perdagangan tradisional yang melibatkan masyarakat di daerah perbatasan. Dengan adanya peninjauan ini, diharapkan kerjasama dapat lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Ini menunjukkan bahwa adaptasi terhadap perubahan situasi sangat diperlukan dalam kerjasama internasional.

Delegasi juga membahas usulan pembangunan pos lintas batas dan infrastruktur lainnya yang dapat mendukung kegiatan ekonomi di daerah perbatasan. Pembangunan ini diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas dan memperkuat hubungan antara masyarakat kedua negara. Ini mencerminkan bahwa investasi dalam infrastruktur adalah kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan.

Kedua negara sepakat untuk meningkatkan komitmen terhadap keamanan bersama di kawasan perbatasan. Hal ini termasuk penanganan aktivitas ilegal dan pelanggaran wilayah yang sering terjadi di daerah tersebut. Dengan adanya kesepakatan ini, diharapkan keamanan di perbatasan dapat terjaga dengan lebih baik. Ini menunjukkan bahwa keamanan adalah prioritas utama dalam kerjasama bilateral.

Dengan berlangsungnya Sidang JBC ke-38, semua pihak kini diajak untuk mendukung upaya bersama Indonesia dan Papua Nugini dalam meningkatkan pengelolaan kawasan perbatasan. Keberhasilan dalam mencapai kesepakatan akan sangat bergantung pada komitmen kedua negara untuk terus berkolaborasi demi kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan. Melalui kerjasama yang erat, diharapkan hubungan antara kedua negara dapat semakin harmonis dan saling menguntungkan.

KSAU: Media Massa Memegang Peran Kunci Dalam Memperkuat Pertahanan Negara

Pada tanggal 31 Desember 2024, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo menekankan pentingnya peran media massa dalam memperkuat zona pertahanan negara. Dalam sebuah konferensi pers, ia menjelaskan bagaimana media dapat berkontribusi dalam membangun narasi yang positif dan melawan propaganda asing yang dapat mengancam stabilitas nasional.

KSAU menegaskan bahwa media massa memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang akurat dan kredibel kepada publik. Dengan memberikan berita yang selaras dengan kepentingan nasional, media dapat membantu menciptakan kesadaran akan pentingnya pertahanan negara. Ini termasuk mengedukasi masyarakat tentang isu-isu pertahanan dan keamanan yang relevan, serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah.

Dalam era informasi saat ini, KSAU menyatakan bahwa ancaman tidak hanya datang dari fisik, tetapi juga dari informasi yang salah atau menyesatkan. Media massa diharapkan dapat melawan propaganda asing dengan menyajikan berita yang lebih kredibel dan faktual. Hal ini penting untuk menjaga integritas informasi di tengah arus informasi yang cepat dan sering kali tidak terverifikasi.

KSAU juga menekankan pentingnya sinergi antara TNI Angkatan Udara dan media massa dalam membangun narasi positif tentang pertahanan negara. Melalui kolaborasi ini, diharapkan tercipta pemahaman yang lebih baik tentang peran TNI AU dalam menjaga kedaulatan dan keamanan wilayah udara Indonesia. Keterlibatan media dalam menyampaikan pesan-pesan ini sangat vital untuk membangun kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan.

Selain membangun narasi positif, KSAU juga mengajak media untuk memberikan kritik konstruktif terhadap kebijakan pertahanan. Kritik yang membangun dapat menjadi masukan berharga bagi TNI AU untuk meningkatkan kinerjanya. Dengan adanya dialog terbuka antara TNI AU dan media, diharapkan akan tercipta hubungan yang saling menguntungkan dan mendukung tujuan bersama dalam menjaga keamanan negara.

Dengan penekanan pada peran media massa dalam memperkuat pertahanan negara, KSAU mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga kedaulatan Indonesia. Semua pihak kini diharapkan dapat memahami pentingnya informasi yang akurat dan relevan dalam mendukung stabilitas nasional. Melalui kolaborasi yang erat antara TNI AU dan media, Indonesia dapat menghadapi berbagai tantangan di masa depan dengan lebih baik.

Negara-negara Arab Kecam Negara Israel Soal Pencaplokan Zona Penyangga Dataran Tinggi Golan Di Suriah

Pada 25 Desember 2024, negara-negara Arab secara tegas mengutuk tindakan Israel yang kembali mencaplok zona penyangga Dataran Tinggi Golan yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Suriah. Tindakan ini mengundang kecaman internasional, terutama dari negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab. Mereka menilai bahwa langkah Israel tersebut bertentangan dengan hukum internasional dan berpotensi memperburuk ketegangan di kawasan Timur Tengah yang sudah sangat rawan konflik.

Isu Dataran Tinggi Golan telah menjadi pusat perhatian dunia sejak Israel merebutnya pada Perang Enam Hari tahun 1967. Wilayah ini, yang memiliki posisi strategis, telah menjadi salah satu zona sengketa terpanjang di dunia. Israel secara sepihak mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari negaranya, meskipun mayoritas negara di dunia, termasuk negara-negara Arab, menganggapnya sebagai bagian dari Suriah yang terjajah. Tindakan terbaru Israel dalam mencaplok zona penyangga tersebut semakin menegaskan ketegangan yang ada, dan telah menimbulkan ketidakpuasan global.

Liga Arab, yang terdiri dari 22 negara Arab, mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam keras tindakan Israel. Mereka menegaskan bahwa langkah tersebut tidak hanya melanggar kedaulatan Suriah, tetapi juga merusak upaya perdamaian yang sudah berlangsung sekian lama. Liga Arab menuntut agar negara-negara internasional tidak mengakui pencaplokan wilayah tersebut dan mendesak agar Israel segera menghentikan segala bentuk tindakan yang dapat merusak stabilitas kawasan.

Pencaplokan oleh Israel ini juga memicu reaksi keras dari beberapa negara besar di dunia. Meski ada beberapa negara yang mendukung langkah Israel, banyak negara lain, termasuk negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, yang menegaskan kembali dukungannya terhadap hukum internasional yang mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Suriah. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyatakan keprihatinan mendalam terhadap langkah Israel dan menyerukan perlunya dialog lebih lanjut untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai.

Pencaplokan zona penyangga Dataran Tinggi Golan oleh Israel memperburuk ketegangan yang sudah lama ada di Timur Tengah. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tetap bersikukuh pada posisi mereka bahwa wilayah tersebut adalah bagian dari Suriah, dan mengutuk keras langkah Israel. Dengan meningkatnya kecaman internasional, situasi ini semakin menunjukkan bahwa penyelesaian damai untuk konflik ini masih sangat jauh, dan kawasan Timur Tengah kembali menjadi pusat perhatian dunia.

Israel Rencanakan Ekspansi Pendudukan di Zona Penyangga Suriah

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengumumkan bahwa pasukan Israel akan segera menduduki zona penyangga di Suriah. Langkah ini memicu kecaman global, dengan banyak pihak menuduh Israel melanggar gencatan senjata yang ditetapkan pada 1974 dan memanfaatkan kekacauan yang sedang terjadi di Suriah untuk merebut wilayah tersebut.

Pada 17 Desember 2024, Netanyahu menjadi pemimpin Israel pertama yang menginjakkan kaki di zona penyangga Suriah. Pencapaian ini terjadi saat pasukan Israel masih terlibat dalam pertempuran di Gaza melawan kelompok militan Palestina. Seiring berjalannya waktu, negara-negara seperti Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat berusaha menjadi mediator dalam kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina.

Selama 14 bulan terakhir, konflik di Gaza telah merenggut lebih dari 45.000 nyawa warga Palestina. Israel melancarkan serangan sebagai balasan atas serangan Hamas pada Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menculik 250 lainnya. Sekitar 100 tawanan, sebagian besar diperkirakan telah meninggal.

Di sisi lain, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan pernyataan yang mendesak dilaksanakannya pemilihan umum di Suriah. PBB menyerukan agar semua pihak menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial Suriah. Mereka menekankan pentingnya bagi warga Suriah untuk dapat menentukan masa depan mereka secara damai dan demokratis.

Dewan Keamanan juga mendukung upaya yang dilakukan oleh utusan PBB Geir Pedersen untuk memfasilitasi proses politik di Suriah, meskipun pernyataan tersebut tidak menyinggung penggulingan Presiden Bashar al-Assad pada 8 Desember lalu. Assad kini berada di bawah perlindungan sekutunya, Rusia.

Selain itu, Dewan Keamanan PBB menegaskan kembali dukungannya terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB (UNDOF), yang telah memantau perbatasan Israel-Suriah sejak perang Timur Tengah 1973. Mereka menyoroti pentingnya mematuhi Perjanjian Pelepasan 1974 yang mengatur zona penyangga demiliterisasi, serta mengurangi ketegangan antara kedua negara.

Pernyataan PBB juga menegaskan komitmen untuk melawan terorisme di Suriah, terutama upaya untuk mencegah kebangkitan kembali kelompok ekstremis ISIS yang sempat menguasai sebagian besar wilayah Irak dan Suriah pada 2014. Meskipun kekhalifahan ISIS telah berakhir pada 2019, sisa-sisa kelompok ini masih bertahan di beberapa kantong di Suriah. Dewan Keamanan juga mengingatkan Suriah untuk menghormati hak asasi manusia dan hukum internasional, serta memfasilitasi akses kemanusiaan bagi jutaan warga yang membutuhkan.