AS Setujui Penjualan Senjata ke Israel di Tengah Ketegangan di Gaza

Amerika Serikat kembali menyetujui penjualan senjata ke Israel dengan nilai mencapai 3 miliar dolar AS atau sekitar Rp48,9 triliun. Departemen Luar Negeri AS telah memberi tahu Kongres mengenai transaksi ini, yang mencakup berbagai amunisi, perangkat pemandu, serta buldoser Caterpillar D9. Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan AS mengonfirmasi bahwa bagian terbesar dari kesepakatan ini senilai 2,04 miliar dolar AS mencakup 35.529 bom serbaguna MK 84 atau BLU-117 serta 4.000 hulu ledak penetrator I-2000. Selain itu, paket lainnya senilai 675,7 juta dolar AS terdiri dari bom MK 83, BLU-110, dan perangkat pemandu JDAM, dengan pengiriman diperkirakan mulai 2028. Israel juga akan menerima buldoser D9R dan D9T Caterpillar seharga 295 juta dolar AS, yang dijadwalkan tiba pada 2027.

Pemerintahan Trump menegaskan bahwa kesepakatan ini merupakan langkah strategis untuk mempertahankan Israel dari ancaman regional, sejalan dengan kepentingan nasional AS dalam mendukung sekutunya. Persetujuan penjualan senjata ini terjadi di saat fase pertama gencatan senjata di Gaza berakhir pada Sabtu malam, sementara negosiasi untuk kelanjutan perjanjian tengah berlangsung di Kairo. Sejak bulan lalu, gencatan senjata dan pertukaran tahanan telah menghentikan sementara konflik yang telah menewaskan lebih dari 48.300 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak, serta menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza.

Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Pemimpin Otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Kepala Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional atas agresinya di wilayah tersebut.

Ketegangan di Jalur Gaza Kembali Memanas di Tengah Gencatan Senjata

Militer Israel pada Minggu mengumumkan peningkatan kesiapan pasukannya di sekitar Jalur Gaza menyusul meningkatnya ketegangan meski gencatan senjata masih berlaku. Dalam pernyataannya, tentara Israel menegaskan bahwa keputusan ini diambil setelah melakukan evaluasi situasi terbaru, meskipun tidak ada perubahan dalam pedoman yang diberikan oleh Komando Front Dalam Negeri.

Di sisi lain, pembatasan yang sebelumnya diberlakukan di komunitas perbatasan Gaza telah dicabut, memungkinkan aktivitas kembali normal di wilayah tersebut. Ketegangan semakin meningkat setelah Israel menunda pembebasan 620 tahanan Palestina, yang merupakan bagian dari kesepakatan pertukaran dengan Hamas. Sebagai bagian dari perjanjian ini, Hamas telah lebih dulu membebaskan enam tawanan Israel. Namun, Israel mengklaim bahwa penundaan itu terjadi akibat “penyerahan sandera yang dianggap memalukan.”

Sebagai reaksi atas penundaan tersebut, Hamas memutuskan untuk menangguhkan seluruh proses negosiasi, menegaskan bahwa pembebasan tahanan Palestina harus dilakukan sebelum pembicaraan lebih lanjut dengan Israel melalui mediator. Pemimpin Hamas, Mahmoud Mardawi, menegaskan bahwa tidak akan ada negosiasi lanjutan sebelum kesepakatan yang telah disepakati dijalankan.

Sementara itu, tekanan internasional terhadap Israel terus meningkat. Mahkamah Kriminal Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional terkait operasi militernya di wilayah tersebut. Situasi ini menunjukkan bahwa ketegangan di Gaza masih jauh dari mereda dan berpotensi terus memburuk dalam waktu dekat.