Menlu UEA dan Israel Bahas Gencatan Senjata dan Krisis Kemanusiaan di Gaza

Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan, melakukan pertemuan penting dengan Menlu Israel, Gideon Saar, di Abu Dhabi. Pertemuan ini difokuskan pada pembaruan gencatan senjata di Jalur Gaza serta pembebasan para sandera yang ditahan oleh kelompok Hamas. Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri UEA menyampaikan bahwa Sheikh Abdullah menekankan pentingnya mengutamakan upaya penghentian kekerasan dan pembebasan sandera sebagai langkah awal menuju stabilitas kawasan.

Ia juga menyoroti pentingnya memastikan aliran bantuan kemanusiaan yang aman dan tidak terhambat menuju Gaza, mengingat kondisi warga sipil yang semakin memprihatinkan. Selain itu, Sheikh Abdullah mendesak dibukanya kembali jalur diplomatik untuk mencapai solusi politik yang realistis, berdasarkan konsep dua negara sebagai landasan perdamaian jangka panjang. Ia pun menyerukan pengakhiran terhadap ekstremisme, meningkatnya ketegangan, dan aksi kekerasan yang terus berlangsung.

Sementara itu, situasi di Gaza kembali memanas setelah Israel melancarkan serangan pada malam 18 Maret lalu. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena Hamas menolak usulan dari Amerika Serikat terkait perpanjangan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Padahal, gencatan senjata resmi telah berakhir sejak 1 Maret 2025 dan berbagai pihak tengah berupaya memediasi kedua belah pihak agar mau kembali ke meja perundingan.

Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan pengetatan blokade. Israel dilaporkan telah memutus pasokan listrik ke fasilitas penting seperti pabrik desalinasi dan menghentikan akses masuk bantuan kemanusiaan, memperburuk krisis yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.

Derita Tanpa Akhir: Genosida di Gaza Terus Berlangsung

Dalam kurun waktu 24 jam terakhir, kekerasan yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza kembali merenggut nyawa puluhan warga sipil. Setidaknya 60 warga Palestina dilaporkan tewas dan 162 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan brutal yang terus berlanjut. Data medis terbaru menunjukkan bahwa jumlah korban tewas sejak awal agresi pada 7 Oktober 2023 kini mencapai 50.669 jiwa, sementara korban luka telah menembus angka 115.225 orang. Tragisnya, sebagian besar dari para korban tersebut merupakan perempuan dan anak-anak yang tak berdaya.

Situasi di lapangan semakin memburuk lantaran tim penyelamat kesulitan menjangkau korban yang terjebak di bawah reruntuhan atau tergeletak di jalan-jalan. Pergerakan ambulans dan petugas pertahanan sipil terus dihalangi oleh pasukan Israel, memperparah kondisi kemanusiaan yang sudah sangat genting. Banyak jasad yang belum bisa dievakuasi karena akses bantuan terhambat, memperlihatkan betapa tidak amannya kondisi kemanusiaan di wilayah yang terus digempur tanpa jeda.

Meskipun Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan seruan tegas agar segera dilakukan gencatan senjata, serta Mahkamah Internasional juga mendesak diterapkannya langkah nyata untuk menghentikan potensi genosida, serangan terhadap warga sipil masih terus terjadi. Krisis kemanusiaan di Gaza tampak belum akan berakhir, dengan penderitaan rakyat Palestina yang kian mendalam di tengah diamnya sebagian besar komunitas internasional. Seruan dunia tampaknya belum cukup kuat untuk menghentikan laju kekerasan yang mengoyak kemanusiaan, sementara rakyat Gaza terus berjuang bertahan hidup di tengah reruntuhan dan kepedihan.

Raja Yordania Desak Dunia Segera Bertindak untuk Akhiri Krisis Kemanusiaan Gaza

Raja Abdullah II dari Yordania mendesak komunitas internasional untuk segera mengambil langkah nyata menghentikan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz di Berlin, usai pembicaraan resmi mereka. Ia menekankan bahwa serangan militer Israel harus segera dihentikan, gencatan senjata perlu diberlakukan kembali, dan bantuan kemanusiaan mesti terus disalurkan kepada warga Gaza yang menderita.

Abdullah II juga menyoroti kondisi kritis di Tepi Barat, di mana puluhan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah dan desa mereka. Ia memperingatkan bahwa terus berlangsungnya kekerasan dan pengusiran ini bisa memperburuk instabilitas di kawasan. Ia menegaskan, Yordania berkomitmen memberikan bantuan semaksimal mungkin untuk meringankan penderitaan warga Gaza, dan mengapresiasi dukungan kemanusiaan dari pemerintah Jerman.

Sang Raja juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pelanggaran terhadap situs suci umat Islam dan Kristen di Yerusalem, yang menurutnya dapat memicu ketegangan baru dan menghambat peluang perdamaian. Menurutnya, satu-satunya solusi yang masuk akal adalah solusi politik dua negara yang bisa menjamin keamanan dan kedamaian bagi Palestina, Israel, serta kawasan secara luas.

Ia juga menekankan pentingnya stabilitas Suriah, termasuk dukungan terhadap pengungsi yang ingin kembali membangun negaranya. Abdullah II menutup dengan harapan agar semua pihak mendukung rencana rekonstruksi Gaza. Sementara itu, Kanselir Scholz menyatakan bahwa Jerman dan Yordania telah menjalin kemitraan erat selama lebih dari tujuh dekade, dan menegaskan pentingnya segera memulihkan gencatan senjata serta mempercepat pengiriman bantuan bagi korban konflik.

Krisis Kemanusiaan Gaza Memburuk, Ratusan Ribu Warga Kembali Mengungsi

Sekitar 280.000 penduduk Gaza kembali mengalami pengungsian akibat eskalasi konflik yang terjadi dalam dua pekan terakhir. Data ini disampaikan oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) pada Kamis (3/4), yang mencatat banyak dari warga tersebut terpaksa berlindung di tempat penampungan yang padat dan tidak layak huni. Kondisi di lokasi pengungsian sangat memprihatinkan, dengan laporan adanya serangan kutu dan tungau yang menyebabkan iritasi kulit serta masalah kesehatan lainnya.

OCHA menjelaskan bahwa perintah evakuasi dari pihak Israel terus meningkat, memaksa warga sipil mencari perlindungan baru dalam situasi yang semakin genting. Tempat-tempat penampungan yang tersisa telah melebihi kapasitas, memperburuk kondisi kebersihan dan sanitasi. Akibat blokade yang berlangsung selama sebulan, pasokan bantuan kemanusiaan dan barang-barang esensial ke wilayah Gaza semakin terbatas, menyulitkan upaya peningkatan standar kebersihan di area pengungsian.

PBB dan mitra-mitra kemanusiaannya masih berupaya memberikan bantuan semaksimal mungkin, selama kondisi di lapangan memungkinkan. Meski begitu, keterbatasan logistik dan penutupan perlintasan perbatasan membuat distribusi bantuan menjadi sangat terbatas. Salah satu bentuk bantuan yang masih dapat diberikan adalah penyediaan lebih dari 900.000 porsi makanan hangat setiap hari oleh mitra keamanan pangan.

OCHA menyerukan kepada semua pihak agar perlintasan perbatasan segera dibuka kembali agar bantuan kemanusiaan dapat masuk dan memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat Gaza yang tengah menghadapi krisis besar.

Kehilangan Roti di Gaza: Krisis Pangan yang Memprihatinkan

Di tengah reruntuhan Gaza City, Woroud Abdul Hadi berjalan melewati toko-toko roti yang kini tertutup rapat. Aroma roti yang biasa tercium, simbol dari kehidupan sehari-hari, kini hilang, digantikan oleh bau debu dan keputusasaan. Abdul Hadi, seorang ibu dari lima anak, mengungkapkan betapa sulitnya bertahan hidup tanpa roti, makanan pokok yang dulu mengisi meja makan mereka. “Saya tidak punya tepung untuk memberi makan anak-anak saya,” ujarnya dengan suara bergetar.

Kondisi serupa kini dialami oleh banyak keluarga di Gaza. Toko-toko roti yang dikelola oleh Program Pangan Dunia PBB, yang jumlahnya 25, harus tutup karena terhambatnya pengiriman bahan bakar dan tepung akibat blokade perbatasan oleh Israel. Krisis pangan semakin parah setelah Israel melancarkan operasi militer besar-besaran pada 18 Maret, yang memperburuk situasi dan menyebabkan harga tepung melonjak drastis. Keluarga-keluarga di Gaza terpaksa menggiling biji-bijian atau memanggang kentang untuk bertahan hidup, meski nutrisi yang didapat sangat terbatas.

Ketiadaan roti, makanan yang biasa menjadi sumber harapan, semakin memperburuk krisis. Ratusan ribu orang kini menghadapi kerawanan pangan yang parah. “Kami sedang menyaksikan kehancuran jalur kehidupan dasar,” kata Amjad al-Shawa, kepala LSM Gaza. Penderitaan ini membuat warga Gaza merasa semakin putus asa, tanpa tahu apa yang akan mereka makan besok. Para pejabat Palestina pun memperingatkan bahwa situasi ini semakin mendekati bencana kelaparan yang nyata.

Lebanon Selatan: Idul Fitri yang Terpaut oleh Konflik dan Ketegangan

Idul Fitri tahun ini di Lebanon selatan terasa sangat berbeda, karena kota-kota dan desa-desa terus menjadi sasaran serangan udara Israel meskipun sudah ada perjanjian gencatan senjata. Sebagai ganti perayaan kemenangan yang biasanya meriah, sebagian besar warga menghabiskan liburan dengan rasa khawatir, berdoa untuk keluarga dan teman-teman yang telah meninggal dalam pertempuran yang berlangsung tanpa henti. Kehidupan sehari-hari yang biasa dipenuhi dengan kemeriahan perayaan kini berubah drastis, di mana banyak orang lebih memilih untuk tetap di rumah dan menjaga diri. Kota-kota yang sebelumnya menjadi pusat kegiatan kini tampak sepi, dengan sebagian besar rumah hancur akibat serangan. Meskipun ada harapan akan kedamaian, ketegangan yang terus melanda membuat suasana Idul Fitri terasa sangat berbeda. Beberapa keluarga bahkan tidak bisa merayakan perayaan ini dengan cara tradisional, karena mereka harus berlindung dari ancaman serangan yang belum ada titik akhirnya. Warga lebih fokus pada keselamatan pribadi mereka serta mengenang mereka yang telah hilang dalam pertempuran yang tak berkesudahan. Selain itu, kekhawatiran akan masa depan yang semakin tidak pasti semakin menambah beban psikologis bagi masyarakat. Idul Fitri kali ini bukan hanya sekedar perayaan, tetapi juga sebuah momen refleksi atas penderitaan yang dialami oleh masyarakat Lebanon selatan akibat konflik yang belum menemui titik terang. Sebuah peringatan pahit bahwa kebahagiaan dan kedamaian tampaknya sangat sulit dicapai dalam kondisi yang penuh dengan ketegangan dan kekerasan.

Serangan Israel di Jalur Gaza Tewaskan Lebih dari 1.000 Warga Palestina

Sejak dimulainya serangan intensif Israel pada 18 Maret, lebih dari 1.000 warga Palestina tewas, dan lebih dari 2.300 lainnya mengalami luka-luka, menurut laporan terbaru dari otoritas kesehatan Gaza pada Senin (31/3). Dalam 48 jam terakhir, sekitar 80 jenazah dan 305 korban luka telah dilarikan ke rumah sakit di Gaza. Namun, kondisi di lapangan semakin parah, dengan banyak korban yang masih terjebak di bawah reruntuhan akibat serangan udara dan artileri. Tim ambulans dan petugas pertahanan sipil kesulitan mencapai lokasi-lokasi ini karena medan yang sangat berbahaya dan terus-menerus dibombardir. Serangan Israel pada Senin menghancurkan Desa Al-Masdar di Gaza tengah dan wilayah timur Jabalia di Gaza utara, yang menewaskan sedikitnya lima orang. Selain itu, beberapa area di Khan Younis, Gaza selatan, juga dibombardir, menyebabkan jatuhnya korban jiwa lainnya.

Hingga saat ini, militer Israel belum memberikan komentar mengenai serangan-serangan tersebut. Otoritas kesehatan Gaza melaporkan bahwa jumlah korban tewas sejak dimulainya operasi militer Israel pada 7 Oktober 2023 telah meningkat menjadi 50.357 orang, dengan lebih dari 114.400 orang lainnya terluka. Keadaan ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza yang sudah sangat sulit, dengan banyak warga yang terus hidup dalam ketakutan dan keterbatasan. Sumber-sumber kemanusiaan mengungkapkan bahwa akses terhadap bantuan dan perawatan medis semakin terbatas, memperburuk penderitaan di wilayah tersebut.

Israel Perintahkan Evakuasi Massal di Gaza Selatan, Serangan Mematikan Kembali Terjadi

Militer Israel kembali mengeluarkan perintah evakuasi bagi warga sipil Palestina di Gaza Selatan, tepatnya di tiga wilayah di kota Khan Younis, pada Sabtu. Juru bicara militer, Avichay Adraee, menyatakan bahwa warga di Abasan, al-Qarara, dan Khuza’a harus segera meninggalkan rumah mereka karena daerah tersebut dikategorikan sebagai “zona tempur berbahaya.” Ia menginstruksikan agar warga bergerak menuju pusat penampungan di al-Mawasi, dengan alasan bahwa serangan roket berasal dari wilayah yang menjadi target tersebut.

Dalam pernyataan terpisah, militer Israel mengklaim telah menyerang lokasi peluncuran mortir di Khan Younis, meskipun tidak memberikan rincian lebih lanjut. Pasukan Israel menyebut bahwa tiga tembakan mortir dilepaskan dari Gaza Selatan menuju posisi mereka di timur Khan Younis, namun tidak ada laporan mengenai korban dari pihak mereka.

Serangan terbaru ini terjadi setelah militer Israel melancarkan serangan udara mendadak di Jalur Gaza pada 18 Maret, yang menewaskan lebih dari 920 orang dan melukai lebih dari 2.000 lainnya. Serangan tersebut secara efektif menghancurkan gencatan senjata serta kesepakatan pertukaran tahanan yang sempat berlangsung pada Januari lalu.

Sejak Oktober 2023, konflik di Gaza telah menelan korban jiwa lebih dari 50.200 warga Palestina, dengan mayoritas korban adalah wanita dan anak-anak. Selain itu, lebih dari 114.000 orang mengalami luka-luka akibat serangan militer Israel yang terus berlanjut di wilayah tersebut. Situasi di Gaza semakin memburuk, dengan eskalasi kekerasan yang terus meningkat dan korban sipil yang semakin bertambah setiap harinya.

Solidaritas Global Mengalir untuk Myanmar dan Thailand Pasca Gempa Dahsyat

Sejumlah negara di Asia dan dunia menyatakan solidaritas mereka terhadap Myanmar dan Thailand yang baru saja dilanda gempa bumi hebat. Bencana ini menyebabkan sedikitnya 151 orang meninggal dunia dan 117 lainnya dilaporkan hilang atau terjebak.

Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak gempa yang mengguncang Myanmar bagian tengah dan Thailand utara. Ia menyampaikan belasungkawa kepada para korban dan menegaskan dukungan Malaysia kepada negara-negara tetangga di ASEAN. Selain itu, ia juga menawarkan bantuan kemanusiaan serta kesiapan negaranya untuk berkontribusi dalam proses pemulihan.

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, turut menyatakan simpati mendalam atas tragedi ini. Ia memastikan bahwa Indonesia siap membantu Myanmar dan Thailand dalam upaya tanggap darurat serta pemulihan pasca-bencana. Hal serupa juga disampaikan oleh Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang menegaskan kesiapan negaranya untuk memberikan bantuan yang diperlukan. Modi bahkan telah menginstruksikan otoritas terkait agar tetap berkomunikasi dengan pemerintah kedua negara terdampak.

Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, bersama dengan Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Winston Peters, juga menyampaikan belasungkawa dan berkomitmen untuk berkoordinasi dengan mitra regional guna merespons situasi ini. Dukungan turut datang dari Pakistan melalui pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri mereka, yang mengungkapkan kesedihan mendalam atas tragedi tersebut serta harapan bagi pemulihan para korban.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyatakan bahwa sistem PBB sedang bergerak cepat untuk memberikan bantuan kepada wilayah terdampak. Sementara itu, berdasarkan laporan Survei Geologi AS (USGS), gempa berkekuatan 7,7 magnitudo yang berpusat di Sagaing, Myanmar, disusul oleh gempa susulan berkekuatan 6,4 magnitudo dalam selang waktu 12 menit kemudian. Akibatnya, ratusan orang terluka di Myanmar, sementara di Thailand, sedikitnya enam orang meninggal dan sebuah gedung pencakar langit di Bangkok runtuh.

Dengan banyaknya korban dan besarnya kerusakan infrastruktur, bantuan dari berbagai negara diharapkan dapat mempercepat pemulihan di kedua negara tersebut.

Tragedi Kemanusiaan di Gaza, Serangan Israel Terus Meningkatkan Korban Jiwa

Serangan militer Israel di Jalur Gaza terus menimbulkan korban jiwa yang sangat besar. Menurut laporan dari Euro-Med Human Rights Monitor yang berbasis di Jenewa, sejak 18 Maret, sedikitnya 103 warga Palestina kehilangan nyawa setiap harinya, sementara 223 lainnya mengalami luka-luka. Israel juga terus menerapkan berbagai tindakan yang memperburuk kondisi kehidupan di Gaza, termasuk blokade ketat yang menghambat masuknya bantuan kemanusiaan serta suplai makanan. Sejak 7 Oktober 2023, wilayah dengan populasi sekitar 2,4 juta jiwa ini menghadapi ancaman kelaparan akibat pembatasan yang dilakukan Israel.

Operasi udara mendadak yang dilakukan tentara Israel pada 18 Maret menyebabkan lebih dari 855 korban jiwa dan hampir 1.900 orang mengalami luka-luka. Serangan ini juga menghancurkan perjanjian gencatan senjata serta pertukaran tahanan yang sebelumnya telah diberlakukan pada Januari. Di tengah ketegangan yang terus meningkat, pasukan Israel tidak hanya menutup perbatasan Gaza tetapi juga membombardir rumah-rumah warga tanpa peringatan, menyebabkan kematian massal bagi penghuni yang masih berada di dalamnya. Serangan ini dilakukan secara sistematis tanpa alasan militer yang jelas, menciptakan kondisi mengerikan yang mengancam keberlangsungan hidup warga Palestina di sana.

Saksi mata melaporkan bahwa pasukan Israel menembaki warga sipil yang mencoba melarikan diri dan membiarkan jasad mereka tergeletak di jalanan. Sementara itu, sekitar 50.000 warga sipil masih terjebak di Rafah di tengah aktivitas militer yang terus berlangsung. Dalam satu pekan terakhir, lebih dari 200.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, sementara ribuan lainnya mencari perlindungan di tempat-tempat yang lebih aman. Situasi kemanusiaan semakin memburuk karena minimnya layanan dasar dan ketidakamanan yang menyelimuti seluruh wilayah Gaza.

Kelompok hak asasi manusia ini juga menyoroti diamnya komunitas internasional yang justru semakin mendorong Israel untuk melanjutkan agresinya. Mereka menekankan pentingnya tindakan cepat untuk menghentikan genosida yang terus terjadi, termasuk pencabutan blokade, pembukaan akses perbatasan tanpa hambatan, serta perlindungan maksimal bagi warga Palestina yang terancam pembunuhan dan pengusiran paksa. Hingga kini, jumlah korban tewas akibat serangan Israel telah melebihi 50.200 orang, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak, sementara lebih dari 113.900 lainnya mengalami luka-luka dalam konflik yang brutal ini.