Stok Makanan Habis, WFP Peringatkan Krisis Kelaparan di Gaza Kian Memburuk

Program Pangan Dunia (WFP) yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan bahwa mereka kini kehabisan stok pangan untuk disalurkan ke wilayah Jalur Gaza. Dalam pernyataan resmi pada Jumat (25/4), WFP menyampaikan bahwa semua cadangan makanan yang tersisa telah dikirimkan ke dapur-dapur umum yang selama beberapa pekan terakhir menjadi satu-satunya harapan masyarakat Gaza untuk mendapatkan makanan. Akibat masih ditutupnya akses perlintasan perbatasan, tidak ada tambahan logistik yang bisa masuk, membuat situasi kemanusiaan semakin terdesak dan penuh ketidakpastian.

WFP menjelaskan bahwa dapur umum telah menjadi sumber bantuan pangan yang paling konsisten, meski kapasitasnya sangat terbatas. Setiap harinya, mereka hanya mampu mencukupi sekitar 25 persen dari total kebutuhan gizi yang dibutuhkan, dan hanya bisa menjangkau sekitar separuh dari populasi yang terdampak. Kendati begitu, keberadaan dapur umum ini sangat penting karena tetap memberikan secercah harapan hidup bagi ribuan warga yang terjebak dalam krisis berkepanjangan dan tidak memiliki akses pada sumber pangan lainnya.

Situasi ini menjadi peringatan keras bagi komunitas internasional terkait ancaman kelaparan massal yang kini membayangi Jalur Gaza. Tanpa bantuan dan pembukaan akses logistik secepatnya, jutaan jiwa terancam hidup tanpa pasokan makanan yang memadai. WFP pun menyerukan agar perlintasan dibuka kembali demi kelangsungan bantuan kemanusiaan bagi warga sipil yang sangat membutuhkan. Solidaritas global dibutuhkan saat ini lebih dari sebelumnya, agar tragedi kemanusiaan yang lebih besar dapat dicegah sebelum semuanya terlambat.

Gaza di Ambang Kehancuran: Anak-Anak Terancam di Tengah Krisis Kemanusiaan

Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) memperingatkan pada Sabtu (19/4) bahwa fasilitas medis anak-anak di Jalur Gaza kini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Di tengah konflik yang telah berlangsung selama 19 bulan, rumah sakit yang menangani bayi dan anak-anak mengalami kekurangan alat medis vital dan beroperasi dalam situasi yang sangat terbatas. Melalui pernyataan di media sosial X, UNICEF menekankan bahwa kelangsungan hidup anak-anak di wilayah tersebut sangat tergantung pada terciptanya gencatan senjata serta akses bebas bagi bantuan kemanusiaan.

UNICEF mendesak agar pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza segera dipulihkan, karena semakin lama kondisi ini dibiarkan, semakin besar pula risiko kematian dan penderitaan anak-anak yang tidak bersalah. Seruan ini muncul di tengah meningkatnya keprihatinan komunitas internasional terhadap situasi kemanusiaan di Gaza yang kian memburuk akibat serangan militer dan blokade yang menghancurkan infrastruktur, membuat layanan kesehatan lumpuh, dan menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal.

Sementara itu, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) juga melaporkan bahwa pengepungan yang saat ini berlangsung lebih berat dibandingkan dengan fase awal pascaserangan 7 Oktober 2023. UNRWA mencatat lebih dari 420.000 warga telah mengungsi sejak 18 Maret 2025, saat agresi terbaru dari pihak zionis Israel kembali mengguncang Gaza. Krisis ini kini telah berkembang menjadi bencana kemanusiaan yang membutuhkan tindakan segera dari dunia internasional.

Penolakan Gaza terhadap Mekanisme Bantuan Israel yang Dinilai Berbahaya

Pemerintah Gaza melalui Kantor Media resminya menolak rencana baru Israel dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina. Penolakan ini ditegaskan pada Selasa, 8 April, dengan alasan bahwa rencana tersebut memberi ruang kepada tentara Israel atau perusahaan yang terafiliasi militer untuk mendistribusikan bantuan secara langsung. Mereka menilai hal ini sebagai bentuk manipulasi yang membahayakan nasib kemanusiaan di Jalur Gaza dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan internasional.

Menurut pernyataan tersebut, Israel diduga menggunakan skema bantuan sebagai alat untuk memperkuat kontrol dan melakukan tekanan politik terhadap warga sipil. Kantor Media Gaza memperingatkan bahwa warga akan terpapar risiko tinggi karena berkumpul di titik distribusi yang bisa menjadi sasaran serangan. Sejak awal Maret, Israel menutup jalur perbatasan, memblokir pasokan makanan, air, dan obat-obatan, memperparah situasi kelaparan dan krisis kesehatan yang sudah mengkhawatirkan.

Sementara itu, laporan dari surat kabar Israel Yedioth Ahronoth menyebut bahwa militer Israel sedang mempertimbangkan peluncuran program bantuan percontohan, terutama di wilayah Rafah. Namun, rencana ini tidak akan melibatkan pihak Palestina seperti Hamas, melainkan dilakukan bersama organisasi internasional. Kantor Media Gaza menyebut langkah tersebut sebagai upaya untuk melegitimasi pendudukan ilegal dan menghindari tanggung jawab hukum.

Situasi semakin genting setelah militer Israel kembali melancarkan serangan sejak pertengahan Maret, menyebabkan ribuan korban jiwa dan luka-luka. Lebih dari 50.000 warga Palestina telah meninggal dunia sejak Oktober 2023. Komunitas internasional dan PBB pun didesak untuk menolak rencana distribusi Israel dan menemukan jalur kemanusiaan yang adil serta aman.

Menlu UEA dan Israel Bahas Gencatan Senjata dan Krisis Kemanusiaan di Gaza

Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan, melakukan pertemuan penting dengan Menlu Israel, Gideon Saar, di Abu Dhabi. Pertemuan ini difokuskan pada pembaruan gencatan senjata di Jalur Gaza serta pembebasan para sandera yang ditahan oleh kelompok Hamas. Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri UEA menyampaikan bahwa Sheikh Abdullah menekankan pentingnya mengutamakan upaya penghentian kekerasan dan pembebasan sandera sebagai langkah awal menuju stabilitas kawasan.

Ia juga menyoroti pentingnya memastikan aliran bantuan kemanusiaan yang aman dan tidak terhambat menuju Gaza, mengingat kondisi warga sipil yang semakin memprihatinkan. Selain itu, Sheikh Abdullah mendesak dibukanya kembali jalur diplomatik untuk mencapai solusi politik yang realistis, berdasarkan konsep dua negara sebagai landasan perdamaian jangka panjang. Ia pun menyerukan pengakhiran terhadap ekstremisme, meningkatnya ketegangan, dan aksi kekerasan yang terus berlangsung.

Sementara itu, situasi di Gaza kembali memanas setelah Israel melancarkan serangan pada malam 18 Maret lalu. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena Hamas menolak usulan dari Amerika Serikat terkait perpanjangan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Padahal, gencatan senjata resmi telah berakhir sejak 1 Maret 2025 dan berbagai pihak tengah berupaya memediasi kedua belah pihak agar mau kembali ke meja perundingan.

Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan pengetatan blokade. Israel dilaporkan telah memutus pasokan listrik ke fasilitas penting seperti pabrik desalinasi dan menghentikan akses masuk bantuan kemanusiaan, memperburuk krisis yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.

Raja Yordania Desak Dunia Segera Bertindak untuk Akhiri Krisis Kemanusiaan Gaza

Raja Abdullah II dari Yordania mendesak komunitas internasional untuk segera mengambil langkah nyata menghentikan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz di Berlin, usai pembicaraan resmi mereka. Ia menekankan bahwa serangan militer Israel harus segera dihentikan, gencatan senjata perlu diberlakukan kembali, dan bantuan kemanusiaan mesti terus disalurkan kepada warga Gaza yang menderita.

Abdullah II juga menyoroti kondisi kritis di Tepi Barat, di mana puluhan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah dan desa mereka. Ia memperingatkan bahwa terus berlangsungnya kekerasan dan pengusiran ini bisa memperburuk instabilitas di kawasan. Ia menegaskan, Yordania berkomitmen memberikan bantuan semaksimal mungkin untuk meringankan penderitaan warga Gaza, dan mengapresiasi dukungan kemanusiaan dari pemerintah Jerman.

Sang Raja juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pelanggaran terhadap situs suci umat Islam dan Kristen di Yerusalem, yang menurutnya dapat memicu ketegangan baru dan menghambat peluang perdamaian. Menurutnya, satu-satunya solusi yang masuk akal adalah solusi politik dua negara yang bisa menjamin keamanan dan kedamaian bagi Palestina, Israel, serta kawasan secara luas.

Ia juga menekankan pentingnya stabilitas Suriah, termasuk dukungan terhadap pengungsi yang ingin kembali membangun negaranya. Abdullah II menutup dengan harapan agar semua pihak mendukung rencana rekonstruksi Gaza. Sementara itu, Kanselir Scholz menyatakan bahwa Jerman dan Yordania telah menjalin kemitraan erat selama lebih dari tujuh dekade, dan menegaskan pentingnya segera memulihkan gencatan senjata serta mempercepat pengiriman bantuan bagi korban konflik.

Kehilangan Roti di Gaza: Krisis Pangan yang Memprihatinkan

Di tengah reruntuhan Gaza City, Woroud Abdul Hadi berjalan melewati toko-toko roti yang kini tertutup rapat. Aroma roti yang biasa tercium, simbol dari kehidupan sehari-hari, kini hilang, digantikan oleh bau debu dan keputusasaan. Abdul Hadi, seorang ibu dari lima anak, mengungkapkan betapa sulitnya bertahan hidup tanpa roti, makanan pokok yang dulu mengisi meja makan mereka. “Saya tidak punya tepung untuk memberi makan anak-anak saya,” ujarnya dengan suara bergetar.

Kondisi serupa kini dialami oleh banyak keluarga di Gaza. Toko-toko roti yang dikelola oleh Program Pangan Dunia PBB, yang jumlahnya 25, harus tutup karena terhambatnya pengiriman bahan bakar dan tepung akibat blokade perbatasan oleh Israel. Krisis pangan semakin parah setelah Israel melancarkan operasi militer besar-besaran pada 18 Maret, yang memperburuk situasi dan menyebabkan harga tepung melonjak drastis. Keluarga-keluarga di Gaza terpaksa menggiling biji-bijian atau memanggang kentang untuk bertahan hidup, meski nutrisi yang didapat sangat terbatas.

Ketiadaan roti, makanan yang biasa menjadi sumber harapan, semakin memperburuk krisis. Ratusan ribu orang kini menghadapi kerawanan pangan yang parah. “Kami sedang menyaksikan kehancuran jalur kehidupan dasar,” kata Amjad al-Shawa, kepala LSM Gaza. Penderitaan ini membuat warga Gaza merasa semakin putus asa, tanpa tahu apa yang akan mereka makan besok. Para pejabat Palestina pun memperingatkan bahwa situasi ini semakin mendekati bencana kelaparan yang nyata.

Solidaritas Global Mengalir untuk Myanmar dan Thailand Pasca Gempa Dahsyat

Sejumlah negara di Asia dan dunia menyatakan solidaritas mereka terhadap Myanmar dan Thailand yang baru saja dilanda gempa bumi hebat. Bencana ini menyebabkan sedikitnya 151 orang meninggal dunia dan 117 lainnya dilaporkan hilang atau terjebak.

Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak gempa yang mengguncang Myanmar bagian tengah dan Thailand utara. Ia menyampaikan belasungkawa kepada para korban dan menegaskan dukungan Malaysia kepada negara-negara tetangga di ASEAN. Selain itu, ia juga menawarkan bantuan kemanusiaan serta kesiapan negaranya untuk berkontribusi dalam proses pemulihan.

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, turut menyatakan simpati mendalam atas tragedi ini. Ia memastikan bahwa Indonesia siap membantu Myanmar dan Thailand dalam upaya tanggap darurat serta pemulihan pasca-bencana. Hal serupa juga disampaikan oleh Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang menegaskan kesiapan negaranya untuk memberikan bantuan yang diperlukan. Modi bahkan telah menginstruksikan otoritas terkait agar tetap berkomunikasi dengan pemerintah kedua negara terdampak.

Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, bersama dengan Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Winston Peters, juga menyampaikan belasungkawa dan berkomitmen untuk berkoordinasi dengan mitra regional guna merespons situasi ini. Dukungan turut datang dari Pakistan melalui pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri mereka, yang mengungkapkan kesedihan mendalam atas tragedi tersebut serta harapan bagi pemulihan para korban.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyatakan bahwa sistem PBB sedang bergerak cepat untuk memberikan bantuan kepada wilayah terdampak. Sementara itu, berdasarkan laporan Survei Geologi AS (USGS), gempa berkekuatan 7,7 magnitudo yang berpusat di Sagaing, Myanmar, disusul oleh gempa susulan berkekuatan 6,4 magnitudo dalam selang waktu 12 menit kemudian. Akibatnya, ratusan orang terluka di Myanmar, sementara di Thailand, sedikitnya enam orang meninggal dan sebuah gedung pencakar langit di Bangkok runtuh.

Dengan banyaknya korban dan besarnya kerusakan infrastruktur, bantuan dari berbagai negara diharapkan dapat mempercepat pemulihan di kedua negara tersebut.

Tragedi Kemanusiaan di Gaza, Serangan Israel Terus Meningkatkan Korban Jiwa

Serangan militer Israel di Jalur Gaza terus menimbulkan korban jiwa yang sangat besar. Menurut laporan dari Euro-Med Human Rights Monitor yang berbasis di Jenewa, sejak 18 Maret, sedikitnya 103 warga Palestina kehilangan nyawa setiap harinya, sementara 223 lainnya mengalami luka-luka. Israel juga terus menerapkan berbagai tindakan yang memperburuk kondisi kehidupan di Gaza, termasuk blokade ketat yang menghambat masuknya bantuan kemanusiaan serta suplai makanan. Sejak 7 Oktober 2023, wilayah dengan populasi sekitar 2,4 juta jiwa ini menghadapi ancaman kelaparan akibat pembatasan yang dilakukan Israel.

Operasi udara mendadak yang dilakukan tentara Israel pada 18 Maret menyebabkan lebih dari 855 korban jiwa dan hampir 1.900 orang mengalami luka-luka. Serangan ini juga menghancurkan perjanjian gencatan senjata serta pertukaran tahanan yang sebelumnya telah diberlakukan pada Januari. Di tengah ketegangan yang terus meningkat, pasukan Israel tidak hanya menutup perbatasan Gaza tetapi juga membombardir rumah-rumah warga tanpa peringatan, menyebabkan kematian massal bagi penghuni yang masih berada di dalamnya. Serangan ini dilakukan secara sistematis tanpa alasan militer yang jelas, menciptakan kondisi mengerikan yang mengancam keberlangsungan hidup warga Palestina di sana.

Saksi mata melaporkan bahwa pasukan Israel menembaki warga sipil yang mencoba melarikan diri dan membiarkan jasad mereka tergeletak di jalanan. Sementara itu, sekitar 50.000 warga sipil masih terjebak di Rafah di tengah aktivitas militer yang terus berlangsung. Dalam satu pekan terakhir, lebih dari 200.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, sementara ribuan lainnya mencari perlindungan di tempat-tempat yang lebih aman. Situasi kemanusiaan semakin memburuk karena minimnya layanan dasar dan ketidakamanan yang menyelimuti seluruh wilayah Gaza.

Kelompok hak asasi manusia ini juga menyoroti diamnya komunitas internasional yang justru semakin mendorong Israel untuk melanjutkan agresinya. Mereka menekankan pentingnya tindakan cepat untuk menghentikan genosida yang terus terjadi, termasuk pencabutan blokade, pembukaan akses perbatasan tanpa hambatan, serta perlindungan maksimal bagi warga Palestina yang terancam pembunuhan dan pengusiran paksa. Hingga kini, jumlah korban tewas akibat serangan Israel telah melebihi 50.200 orang, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak, sementara lebih dari 113.900 lainnya mengalami luka-luka dalam konflik yang brutal ini.

Krisis Kesehatan di Gaza Semakin Parah, Ribuan Pasien Kehilangan Akses Pengobatan

Situasi kesehatan di Jalur Gaza terus memburuk, dengan sebagian besar pasien tidak mendapatkan perawatan medis yang mereka perlukan akibat minimnya pasokan obat-obatan. Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza, Munir al-Barsh, menyatakan bahwa 80 persen pasien saat ini tidak bisa mengakses pengobatan yang seharusnya mereka terima. Kondisi rumah sakit semakin kritis karena kekurangan kebutuhan dasar, dan sistem kesehatan di wilayah tersebut diperkirakan akan semakin kolaps, dengan potensi korban jiwa yang terus meningkat setiap menitnya.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, al-Barsh juga menyoroti dampak serangan terbaru Israel yang telah mengakibatkan tewasnya 15 tenaga medis dan melukai puluhan lainnya. Selain itu, sedikitnya 15 rumah sakit mengalami kerusakan, sementara 23 ambulans dilaporkan tidak dapat beroperasi akibat serangan tersebut. Kondisi ini semakin memperburuk krisis kesehatan yang tengah melanda wilayah tersebut.

Israel melanjutkan operasi militernya di Gaza sejak Selasa pekan lalu sebagai respons terhadap penolakan Hamas untuk menyetujui rencana Amerika Serikat mengenai perpanjangan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Sebelumnya, gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang telah berlangsung sejak 19 Januari berakhir pada 1 Maret. Meskipun upaya mediasi sempat menunda pertempuran, pada 2 Maret Israel kembali memberlakukan larangan terhadap bantuan kemanusiaan ke Gaza serta mengancam akan meningkatkan tekanan terhadap Hamas. Ketegangan yang terus meningkat ini semakin memperburuk kondisi warga sipil, terutama dalam sektor kesehatan, yang kini berada di ambang kehancuran.

Seruan Uni Eropa: Konflik Israel-Hamas Harus Diselesaikan Melalui Diplomasi

Uni Eropa kembali menyerukan agar konflik antara Israel dan Hamas diselesaikan melalui jalur negosiasi. Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, dalam konferensi pers bersama Kepala Otoritas Luar Negeri Israel, Gideon Saar, pada Senin (24/3). Uni Eropa menegaskan bahwa meskipun Israel memiliki hak untuk membela diri, setiap tindakan militer harus tetap “proporsional” dan menghindari korban dari kalangan sipil.

Gideon Saar dalam pertemuan tersebut menegaskan bahwa Israel terbuka untuk mengakhiri konflik melalui diplomasi, namun menurutnya pihak Palestina tidak menunjukkan kerja sama yang diperlukan, sehingga memaksa Israel untuk mengambil tindakan militer. Saar juga menyebutkan bahwa perang dapat segera berakhir jika Hamas bersedia membebaskan semua sandera Israel dan meninggalkan Jalur Gaza.

Di tengah upaya diplomasi, pasukan Israel kembali melancarkan serangan ke Jalur Gaza sejak Selasa (18/3). Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa serangan ini merupakan tanggapan terhadap penolakan Hamas terhadap proposal Amerika Serikat yang bertujuan memperpanjang gencatan senjata serta melanjutkan pembebasan sandera.

Sebelumnya, gencatan senjata antara kedua pihak telah berlangsung sejak 19 Januari, tetapi berakhir pada 1 Maret. Meski ada upaya mediasi untuk mempertahankan ketenangan, pertempuran kembali berkobar pada 2 Maret setelah Israel melarang masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza dan meningkatkan tekanan terhadap Hamas karena menolak rencana perdamaian baru yang diusulkan oleh AS.