Serangan Udara Israel di Gaza Tewaskan Salah Al-Bardawil dan Istrinya

Salah al-Bardawil, pejabat senior Hamas sekaligus anggota parlemen Palestina, tewas dalam serangan udara Israel yang terjadi di wilayah barat Khan Younis, Jalur Gaza selatan. Hamas mengonfirmasi bahwa Bardawil, yang merupakan anggota biro politik serta perwakilan di Dewan Legislatif Palestina, gugur dalam serangan yang menargetkannya saat ia tengah melaksanakan salat malam di tendanya di kawasan Al-Mawasi. Selain Bardawil, istrinya juga turut menjadi korban tewas dalam serangan tersebut.

Serangan udara ini merupakan bagian dari operasi militer Israel yang semakin intensif dalam beberapa hari terakhir. Hamas mengecam aksi tersebut sebagai tindakan pengecut dan menuduh Israel melakukan kejahatan perang serta pembantaian sistematis terhadap warga Palestina di Gaza. Sejak serangan besar-besaran dimulai Selasa lalu, lebih dari 700 warga Palestina dilaporkan tewas dan lebih dari 1.000 lainnya mengalami luka-luka akibat gempuran udara mendadak Israel. Serangan ini juga merusak kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang sebelumnya telah berlangsung sejak Januari.

Sejak konflik memuncak pada Oktober 2023, jumlah korban tewas di Gaza telah melebihi 50.000 jiwa, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, sementara lebih dari 113.000 orang lainnya mengalami luka-luka akibat serangan militer Israel. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada November lalu dengan tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan di Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida terkait operasi militernya di Gaza.

Eskalasi Konflik di Suriah: 237 Orang Tewas dalam Bentrokan Sengit

Sejak meningkatnya ketegangan militer di wilayah pesisir Suriah pada Kamis (6/3), sedikitnya 237 orang dilaporkan tewas dalam bentrokan yang terus meluas. Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa korban terdiri dari personel militer, pejuang oposisi, dan warga sipil. Pasukan pemerintah melancarkan operasi besar-besaran untuk menumpas sisa-sisa faksi militer dari rezim sebelumnya di provinsi Latakia, Tartous, dan Hama. Situasi ini bermula dari serangan mendadak kelompok bersenjata terhadap pasukan pemerintah, termasuk pos pemeriksaan dan markas utama yang berada di sepanjang garis pantai.

Seiring berjalannya waktu, intensitas pertempuran semakin meningkat, dan jumlah korban terus bertambah. Hingga Jumat (7/3), total korban tewas mencapai 237 orang, dengan 142 di antaranya merupakan warga sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran. Selain itu, korban juga mencakup 50 tentara serta perwira dari Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri Suriah, serta 45 pejuang oposisi yang turut terlibat dalam bentrokan. Situasi di medan perang semakin tidak terkendali, memaksa pemerintah untuk mengerahkan bala bantuan tambahan, termasuk persenjataan berat guna menghadapi kelompok oposisi yang masih bertahan.

Bentrokan sengit masih terus berlanjut di berbagai wilayah, terutama di pedesaan Latakia dan Tartous. Meskipun pasukan pemerintah terus menggempur kelompok oposisi dengan serangan darat dan udara, perlawanan yang diberikan cukup kuat. Kelompok bersenjata masih melakukan penyergapan terhadap pasukan pemerintah dan menyerang infrastruktur militer strategis. Eskalasi ini menjadi yang paling mematikan sejak kejatuhan pemerintahan sebelumnya pada Desember lalu, menunjukkan bahwa konflik di Suriah masih jauh dari kata usai.

Sumber-sumber lokal melaporkan bahwa selain korban jiwa, banyak warga sipil yang terpaksa mengungsi demi menghindari dampak pertempuran. Rumah-rumah dan fasilitas umum seperti sekolah serta rumah sakit mengalami kerusakan akibat baku tembak dan serangan udara. Bantuan kemanusiaan juga sulit masuk ke wilayah terdampak, memperburuk kondisi masyarakat yang terjebak di tengah konflik.

Situasi yang terus memburuk ini menimbulkan kekhawatiran di tingkat internasional. Sejumlah negara dan organisasi hak asasi manusia mendesak adanya upaya diplomasi untuk mengakhiri kekerasan, namun hingga kini belum ada tanda-tanda meredanya konflik. Ketidakstabilan politik dan keamanan di Suriah terus berlanjut, berpotensi menyebabkan jumlah korban semakin bertambah dan dampak konflik semakin meluas.