Serangan Udara Israel Targetkan Kepala Keamanan Internal Hamas di Gaza

Pada hari Kamis, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengonfirmasi bahwa serangan udara yang dilancarkan mereka berhasil menewaskan Hussam Shawan, kepala aparat keamanan internal Hamas. Shawan memiliki peran kunci dalam mengawasi dan melaksanakan interogasi terhadap penduduk Jalur Gaza, serta dikenal karena terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan terhadap lawan-lawan politik Hamas di wilayah tersebut.

Menurut IDF, Shawan juga memiliki tanggung jawab dalam mengumpulkan dan menyebarkan intelijen terkait operasi pasukan Israel di Gaza, yang turut mendukung aktivitas militer Hamas dalam melawan Israel. Shawan ditemukan tewas saat bersembunyi di zona kemanusiaan Khan Yunis, dan IDF menegaskan bahwa mereka menggunakan teknologi pengawasan udara serta amunisi presisi untuk meminimalkan risiko kerusakan pada warga sipil selama serangan tersebut.

Selain itu, militer Israel mengklaim bahwa Hamas secara sistematis melanggar hukum internasional dengan memanfaatkan fasilitas sipil, termasuk tempat perlindungan sipil dan penduduk Gaza, sebagai perisai manusia dalam melancarkan serangan teror terhadap pasukan Israel. Hal ini dianggap sebagai strategi untuk melindungi diri mereka dari serangan udara Israel dan meningkatkan potensi kerugian bagi pihak sipil di Gaza.

Serangan brutal yang dilakukan oleh Hamas pada 7 Oktober lalu terhadap sejumlah komunitas Israel di dekat perbatasan Gaza mengakibatkan lebih dari 1.200 orang tewas dan menyebabkan 252 warga Israel serta orang asing disandera. Beberapa di antara mereka masih dalam kondisi tertawan. Selain itu, Hamas juga menahan dua warga sipil Israel serta jenazah dua tentara Israel sejak tahun 2014 dan 2015, yang menambah ketegangan dan kompleksitas situasi antara kedua pihak.

IDF terus berupaya untuk mengurangi dampak terhadap warga sipil dalam operasi mereka, meskipun situasi di Gaza tetap sangat rawan, dengan serangan yang masih berlangsung hingga saat ini.

Israel Rencanakan Ekspansi Pendudukan di Zona Penyangga Suriah

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengumumkan bahwa pasukan Israel akan segera menduduki zona penyangga di Suriah. Langkah ini memicu kecaman global, dengan banyak pihak menuduh Israel melanggar gencatan senjata yang ditetapkan pada 1974 dan memanfaatkan kekacauan yang sedang terjadi di Suriah untuk merebut wilayah tersebut.

Pada 17 Desember 2024, Netanyahu menjadi pemimpin Israel pertama yang menginjakkan kaki di zona penyangga Suriah. Pencapaian ini terjadi saat pasukan Israel masih terlibat dalam pertempuran di Gaza melawan kelompok militan Palestina. Seiring berjalannya waktu, negara-negara seperti Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat berusaha menjadi mediator dalam kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina.

Selama 14 bulan terakhir, konflik di Gaza telah merenggut lebih dari 45.000 nyawa warga Palestina. Israel melancarkan serangan sebagai balasan atas serangan Hamas pada Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menculik 250 lainnya. Sekitar 100 tawanan, sebagian besar diperkirakan telah meninggal.

Di sisi lain, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan pernyataan yang mendesak dilaksanakannya pemilihan umum di Suriah. PBB menyerukan agar semua pihak menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial Suriah. Mereka menekankan pentingnya bagi warga Suriah untuk dapat menentukan masa depan mereka secara damai dan demokratis.

Dewan Keamanan juga mendukung upaya yang dilakukan oleh utusan PBB Geir Pedersen untuk memfasilitasi proses politik di Suriah, meskipun pernyataan tersebut tidak menyinggung penggulingan Presiden Bashar al-Assad pada 8 Desember lalu. Assad kini berada di bawah perlindungan sekutunya, Rusia.

Selain itu, Dewan Keamanan PBB menegaskan kembali dukungannya terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB (UNDOF), yang telah memantau perbatasan Israel-Suriah sejak perang Timur Tengah 1973. Mereka menyoroti pentingnya mematuhi Perjanjian Pelepasan 1974 yang mengatur zona penyangga demiliterisasi, serta mengurangi ketegangan antara kedua negara.

Pernyataan PBB juga menegaskan komitmen untuk melawan terorisme di Suriah, terutama upaya untuk mencegah kebangkitan kembali kelompok ekstremis ISIS yang sempat menguasai sebagian besar wilayah Irak dan Suriah pada 2014. Meskipun kekhalifahan ISIS telah berakhir pada 2019, sisa-sisa kelompok ini masih bertahan di beberapa kantong di Suriah. Dewan Keamanan juga mengingatkan Suriah untuk menghormati hak asasi manusia dan hukum internasional, serta memfasilitasi akses kemanusiaan bagi jutaan warga yang membutuhkan.

Melindungi Perempuan di Zona Konflik: Tantangan dan Peran Hukum Internasional dalam Mewujudkan Keamanan dan Keadilan

Perempuan yang berada dalam zona konflik bersenjata menghadapi berbagai bentuk kekerasan yang tidak hanya ekstrem tetapi juga sangat luas, melebihi dampak langsung dari peperangan itu sendiri. Mereka sering kali menjadi korban perkosaan, kekerasan seksual lainnya, perbudakan seksual, perkawinan paksa, serta berbagai bentuk penyiksaan dan eksploitasi. Kekerasan ini tidak hanya merusak martabat dan hak asasi manusia mereka, tetapi juga menghambat upaya perdamaian dan pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, penegakan hukum internasional sangat penting untuk melindungi perempuan dan menjamin tercapainya keadilan serta keamanan di tengah kekacauan yang ditimbulkan oleh perang.

Hukum internasional, khususnya hukum humaniter internasional (IHL) dan hak asasi manusia (HAM), telah menetapkan aturan yang jelas untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender dalam kondisi konflik. Dalam Konvensi Jenewa 1949, Pasal 27, dinyatakan bahwa perempuan harus dilindungi dari segala bentuk serangan terhadap kehormatan mereka, termasuk perkosaan, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual lainnya. Protokol Tambahan II 1977, Pasal 75 Ayat (2), melarang keras kekerasan terhadap warga sipil, termasuk kekerasan seksual, dan menjamin perlindungan korban dalam situasi apapun.

Di samping itu, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang disahkan pada tahun 1979 dan Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan juga berfungsi sebagai instrumen utama yang memberikan dasar hukum bagi perempuan untuk menuntut perlindungan dan keadilan dalam menghadapi kekerasan, terutama dalam konteks konflik. Instrumen-instrumen ini penting untuk memastikan bahwa pelaku pelanggaran hukum internasional bertanggung jawab atas tindakannya dan mencegah terjadinya kekerasan lebih lanjut terhadap perempuan.

Meski demikian, penerapan hukum internasional di lapangan sering kali menghadapi berbagai hambatan serius. Kelemahan kapasitas institusi penegak hukum, kurangnya kemauan politik negara-negara yang terlibat dalam konflik, serta impunitas yang meluas, seringkali menghalangi pencapaian keadilan bagi korban kekerasan seksual. Banyak pelaku kekerasan seksual yang tidak dihukum, sehingga menciptakan siklus kekerasan yang terus berlanjut. Selain itu, perempuan korban kekerasan seksual sering kali kesulitan untuk mengakses keadilan, baik melalui jalur peradilan domestik maupun internasional, akibat stigma sosial, ketakutan akan balas dendam, dan kurangnya dukungan dari komunitas.

Karena itu, penegakan hukum internasional membutuhkan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Pertama, negara-negara anggota harus menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk meratifikasi dan mengimplementasikan instrumen hukum internasional yang relevan. Sekadar meratifikasi tidaklah cukup; negara-negara harus memastikan mekanisme yang efektif untuk menyelidiki, mengadili, dan menghukum para pelaku kekerasan terhadap perempuan. Hal ini termasuk membangun kapasitas lembaga penegak hukum, memberikan pelatihan yang memadai kepada aparat penegak hukum dan petugas medis, serta memastikan akses yang mudah bagi korban untuk memperoleh keadilan dan dukungan.

Kedua, pengadilan internasional dan mekanisme peradilan hibrida memiliki peran krusial dalam menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Pengadilan Pidana Internasional (ICC), meskipun memiliki jurisdiksi terbatas, telah mengadili sejumlah kasus kejahatan perang, termasuk kekerasan seksual. Selain itu, pengadilan khusus atau mekanisme peradilan transisional dapat digunakan untuk mengadili pelanggaran di negara tertentu. Namun, akses ke pengadilan tersebut masih terbatas, dan proses peradilannya bisa sangat panjang.

Ketiga, diperlukan peningkatan kerjasama internasional untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan di zona konflik. Kerjasama ini mencakup pertukaran informasi, pengembangan kapasitas, serta penyediaan dukungan teknis dan keuangan bagi negara-negara yang membutuhkan. Organisasi internasional seperti PBB memegang peran penting dalam memfasilitasi kerjasama ini dan dalam mendorong negara-negara untuk memenuhi kewajiban hukum internasional mereka. Keterlibatan organisasi masyarakat sipil juga penting, karena mereka memiliki pengalaman dalam memberikan dukungan kepada korban dan dalam advokasi kebijakan yang dapat mengubah situasi.

Keempat, perubahan budaya dan sosial sangat penting untuk mengatasi akar penyebab kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat perlu diajak untuk mengubah norma-norma sosial yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan dan meningkatkan pemahaman tentang pentingnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Pendidikan, kampanye kesadaran publik, dan keterlibatan tokoh masyarakat dan agama memainkan peran penting dalam mendorong perubahan sikap dan perilaku.

Sebagai kesimpulan, meskipun hukum internasional memberikan landasan hukum yang jelas untuk melindungi perempuan dalam zona konflik, implementasinya memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan komprehensif. Tanpa adanya komitmen politik yang kuat, kapasitas lembaga penegak hukum yang memadai, kerjasama internasional yang erat, serta perubahan sosial yang mendalam, keadilan dan perlindungan bagi perempuan di zona konflik akan tetap menjadi tantangan besar. Melindungi perempuan adalah kewajiban moral dan hukum komunitas internasional, dan kegagalan untuk melindungi mereka adalah kegagalan kemanusiaan yang berdampak pada perdamaian, keamanan, dan pembangunan berkelanjutan.