Tragedi di Gaza: Serangan Udara Lumpuhkan Rumah Sakit Baptis Al-Ahli

Pada Ahad dini hari, pesawat tempur Israel melancarkan serangan ke Rumah Sakit Baptis Al-Ahli yang terletak di Kota Gaza. Dua rudal dilaporkan menghantam bagian resepsionis rumah sakit tersebut, mengakibatkan kehancuran besar serta kebakaran hebat yang merusak unit-unit penting seperti layanan darurat, laboratorium, dan apotek. Akibatnya, rumah sakit itu terpaksa menghentikan seluruh operasional medisnya.

Sumber lokal menyebutkan bahwa militer Israel sempat memberikan peringatan langsung sebelum serangan, memberi waktu hanya 18 menit kepada pasien, korban luka, dan tenaga medis untuk meninggalkan gedung. Evakuasi mendadak tersebut menimbulkan kekacauan karena banyak pasien tak sempat dipindahkan, dan sejumlah korban terlihat tergeletak di jalanan dalam kondisi cuaca yang buruk.

Rumah Sakit Baptis Al-Ahli merupakan institusi vital yang selama ini melayani lebih dari satu juta warga di Gaza dan wilayah utaranya. Kehancuran fasilitas ini menjadi tamparan keras bagi sistem kesehatan yang telah tertekan sejak dimulainya agresi Israel pada 7 Oktober 2023. Sejauh ini, sedikitnya 34 rumah sakit serta puluhan klinik telah dihancurkan dalam serangan-serangan sebelumnya.

Serangan terhadap fasilitas medis ini dinilai oleh kelompok hak asasi manusia sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional, khususnya Konvensi Jenewa. Rumah Sakit Baptis Al-Ahli sebelumnya juga menjadi lokasi tragedi pada 17 Oktober 2023, di mana ratusan warga sipil meninggal dunia akibat serangan udara. Dengan hancurnya rumah sakit ini, Gaza utara kini kehilangan salah satu fasilitas medis terakhir yang tersisa di tengah konflik yang terus berkecamuk.

Penolakan Gaza terhadap Mekanisme Bantuan Israel yang Dinilai Berbahaya

Pemerintah Gaza melalui Kantor Media resminya menolak rencana baru Israel dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina. Penolakan ini ditegaskan pada Selasa, 8 April, dengan alasan bahwa rencana tersebut memberi ruang kepada tentara Israel atau perusahaan yang terafiliasi militer untuk mendistribusikan bantuan secara langsung. Mereka menilai hal ini sebagai bentuk manipulasi yang membahayakan nasib kemanusiaan di Jalur Gaza dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan internasional.

Menurut pernyataan tersebut, Israel diduga menggunakan skema bantuan sebagai alat untuk memperkuat kontrol dan melakukan tekanan politik terhadap warga sipil. Kantor Media Gaza memperingatkan bahwa warga akan terpapar risiko tinggi karena berkumpul di titik distribusi yang bisa menjadi sasaran serangan. Sejak awal Maret, Israel menutup jalur perbatasan, memblokir pasokan makanan, air, dan obat-obatan, memperparah situasi kelaparan dan krisis kesehatan yang sudah mengkhawatirkan.

Sementara itu, laporan dari surat kabar Israel Yedioth Ahronoth menyebut bahwa militer Israel sedang mempertimbangkan peluncuran program bantuan percontohan, terutama di wilayah Rafah. Namun, rencana ini tidak akan melibatkan pihak Palestina seperti Hamas, melainkan dilakukan bersama organisasi internasional. Kantor Media Gaza menyebut langkah tersebut sebagai upaya untuk melegitimasi pendudukan ilegal dan menghindari tanggung jawab hukum.

Situasi semakin genting setelah militer Israel kembali melancarkan serangan sejak pertengahan Maret, menyebabkan ribuan korban jiwa dan luka-luka. Lebih dari 50.000 warga Palestina telah meninggal dunia sejak Oktober 2023. Komunitas internasional dan PBB pun didesak untuk menolak rencana distribusi Israel dan menemukan jalur kemanusiaan yang adil serta aman.

OKI Kecam Serangan Israel ke Tenda Jurnalis di Gaza, Desak ICC dan UNESCO Bertindak

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyampaikan kecaman keras terhadap aksi militer Israel yang menyerang tenda jurnalis di Kota Khan Yunis, Gaza bagian selatan. Serangan tersebut menyebabkan satu jurnalis tewas dan melukai sejumlah lainnya. Dalam pernyataannya, OKI menilai tindakan itu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap kebebasan pers dan sebagai upaya sistematis untuk membungkam kebenaran serta menutupi kejahatan yang dilakukan oleh pendudukan Zionis terhadap rakyat Palestina.

OKI menyebut bahwa tindakan militer Israel ini merupakan kelanjutan dari kebijakan pendudukan yang kejam, dengan tujuan mencegah suara para jurnalis mencapai dunia internasional dan mengaburkan fakta-fakta pelanggaran HAM. Sejak dimulainya agresi di Gaza, lebih dari 210 jurnalis dan pekerja media dilaporkan telah kehilangan nyawa, dan OKI menyatakan Israel sebagai pihak yang harus bertanggung jawab penuh atas tragedi kemanusiaan ini.

OKI juga kembali menyerukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk segera menyelesaikan penyelidikan atas seluruh kejahatan yang dilakukan oleh pasukan Israel, termasuk serangan langsung terhadap jurnalis, penahanan sewenang-wenang, serta kekerasan fisik yang mereka alami saat menjalankan tugas. OKI mendesak UNESCO dan lembaga internasional lainnya agar mengambil langkah konkret dalam memastikan para pelaku kejahatan terhadap media diproses hukum serta memberikan perlindungan nyata bagi kebebasan pers di wilayah pendudukan Palestina. Semua tindakan ini harus dilakukan sesuai prinsip hukum humaniter internasional dan perjanjian global yang berlaku.

Derita Tanpa Akhir: Genosida di Gaza Terus Berlangsung

Dalam kurun waktu 24 jam terakhir, kekerasan yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza kembali merenggut nyawa puluhan warga sipil. Setidaknya 60 warga Palestina dilaporkan tewas dan 162 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan brutal yang terus berlanjut. Data medis terbaru menunjukkan bahwa jumlah korban tewas sejak awal agresi pada 7 Oktober 2023 kini mencapai 50.669 jiwa, sementara korban luka telah menembus angka 115.225 orang. Tragisnya, sebagian besar dari para korban tersebut merupakan perempuan dan anak-anak yang tak berdaya.

Situasi di lapangan semakin memburuk lantaran tim penyelamat kesulitan menjangkau korban yang terjebak di bawah reruntuhan atau tergeletak di jalan-jalan. Pergerakan ambulans dan petugas pertahanan sipil terus dihalangi oleh pasukan Israel, memperparah kondisi kemanusiaan yang sudah sangat genting. Banyak jasad yang belum bisa dievakuasi karena akses bantuan terhambat, memperlihatkan betapa tidak amannya kondisi kemanusiaan di wilayah yang terus digempur tanpa jeda.

Meskipun Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan seruan tegas agar segera dilakukan gencatan senjata, serta Mahkamah Internasional juga mendesak diterapkannya langkah nyata untuk menghentikan potensi genosida, serangan terhadap warga sipil masih terus terjadi. Krisis kemanusiaan di Gaza tampak belum akan berakhir, dengan penderitaan rakyat Palestina yang kian mendalam di tengah diamnya sebagian besar komunitas internasional. Seruan dunia tampaknya belum cukup kuat untuk menghentikan laju kekerasan yang mengoyak kemanusiaan, sementara rakyat Gaza terus berjuang bertahan hidup di tengah reruntuhan dan kepedihan.

Ribuan Warga Palestina Ditahan dalam Eskalasi Militer Israel di Tepi Barat

Sepanjang Februari, pasukan Israel menangkap 762 warga Palestina dalam serangkaian operasi militer di berbagai wilayah pendudukan Tepi Barat. Komisi Urusan Tahanan dan Masyarakat Tahanan Palestina melaporkan bahwa di antara mereka yang ditahan terdapat 19 perempuan dan 90 anak-anak. Selain itu, pasukan Israel juga meningkatkan interogasi langsung di lapangan dengan memeriksa ratusan warga Palestina di lokasi penangkapan. Tindakan ini semakin memperburuk kondisi keamanan dan menambah ketakutan di kalangan warga yang telah lama hidup di bawah tekanan militer.

Penangkapan ini terjadi di tengah operasi militer besar-besaran Israel di bagian utara Tepi Barat sejak 21 Januari 2025, yang telah menyebabkan kematian sedikitnya 65 warga Palestina serta memaksa ribuan lainnya meninggalkan rumah mereka. Banyak dari mereka yang mengungsi menghadapi kondisi sulit, dengan akses terbatas terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan. Serangan ini semakin memperparah situasi kemanusiaan di wilayah tersebut, yang telah lama dilanda ketidakstabilan akibat kebijakan pendudukan Israel.

Data dari otoritas Palestina menunjukkan bahwa Israel kini menahan lebih dari 9.500 warga Palestina di berbagai penjara, termasuk 1.555 tahanan dari Jalur Gaza. Para tahanan ini menghadapi kondisi yang buruk, dengan laporan tentang penyiksaan, kurangnya akses ke pengacara, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Organisasi hak asasi manusia terus mengecam tindakan Israel, menekankan bahwa penahanan massal ini merupakan bagian dari kebijakan represif terhadap warga Palestina.

Situasi di Tepi Barat semakin memanas sejak Israel memulai agresinya terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023. Serangan yang terus berlanjut menyebabkan penderitaan besar bagi penduduk sipil, dengan ribuan rumah hancur dan banyak keluarga kehilangan tempat tinggal. Kementerian Kesehatan Palestina mencatat bahwa hingga kini sedikitnya 930 warga Palestina tewas dan hampir 7.000 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan tentara dan pemukim ilegal Israel. Kekerasan terhadap warga sipil ini mendapat kecaman dari berbagai pihak internasional, tetapi respons dunia terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi masih dinilai lemah.

Pada Juli 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina merupakan tindakan ilegal dan mendesak Israel untuk mengosongkan seluruh permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Namun, hingga saat ini, Israel terus mengabaikan putusan tersebut dan tetap melakukan ekspansi permukiman ilegalnya. Sikap ini semakin meningkatkan ketegangan, dengan Palestina dan komunitas internasional terus mendesak adanya intervensi yang lebih tegas untuk menghentikan kebijakan pendudukan dan agresi militer yang dilakukan oleh Israel.

Di tengah situasi yang memburuk, warga Palestina terus berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka meski menghadapi tekanan yang semakin besar. Solidaritas internasional pun terus berkembang, dengan berbagai aksi protes dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran global terhadap penderitaan rakyat Palestina. Namun, tanpa langkah nyata dari komunitas internasional, konflik ini diperkirakan akan terus berlanjut dan semakin memperburuk krisis kemanusiaan di kawasan tersebut.

Eskalasi Konflik: Tentara Israel Gerebek Nablus, Bentrokan Bersenjata Pecah di Tepi Barat

Pasukan Israel melancarkan operasi penggerebekan di rumah-rumah warga Palestina di Kota Nablus, wilayah pendudukan Tepi Barat bagian utara, pada Jumat dini hari. Aksi ini memicu pertempuran sengit antara pejuang Palestina dan militer Israel, terutama di sekitar kamp pengungsi Askar dan Balata di timur kota.

Menurut keterangan saksi mata yang dikutip oleh Anadolu, pasukan Israel memasuki Nablus dari berbagai arah, melakukan penggeledahan di sejumlah rumah warga Palestina. Konfrontasi bersenjata pun tak terhindarkan, dengan kelompok-kelompok perlawanan Palestina seperti Saraya al-Quds (sayap militer Jihad Islam) dan Brigade Martir Al-Aqsa (berafiliasi dengan Fatah) mengklaim keterlibatan dalam baku tembak serta penggunaan bahan peledak terhadap pasukan Israel.

Setelah melakukan operasi militer selama enam jam, tentara Israel akhirnya menarik diri dari Nablus. Namun, serangan di wilayah Tepi Barat utara, terutama di Jenin dan Tulkarem, terus berlangsung sejak 21 Januari. Eskalasi ini telah menyebabkan lebih dari 30 warga Palestina tewas, ribuan orang mengungsi, serta kehancuran infrastruktur yang meluas.

Gelombang kekerasan di Tepi Barat meningkat setelah perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Gaza pada 19 Januari. Hingga kini, lebih dari 48.200 warga Palestina dilaporkan tewas akibat agresi Israel di wilayah tersebut. Sementara itu, di seluruh Tepi Barat, sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023, lebih dari 912 warga Palestina telah kehilangan nyawa akibat tindakan militer dan serangan pemukim ilegal Israel.

Pada Juli 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) menegaskan bahwa pendudukan Israel di tanah Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun dinyatakan ilegal. ICJ juga menuntut agar semua pemukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur segera dievakuasi, memperkuat desakan internasional untuk mengakhiri penjajahan Israel di wilayah Palestina.

Palestina Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza: Strategi Zionis yang Tak Akan Berhasil

Perwakilan Jihad Islam Palestina di Teheran, Nasser Abu Sharif, menegaskan bahwa rakyat Palestina tidak akan tinggal diam menghadapi rencana pemindahan paksa warga Gaza yang diusulkan oleh Amerika Serikat. Dalam wawancaranya dengan kantor berita Iran, IRNA, pada Kamis (13/2), Abu Sharif menyatakan bahwa kebijakan ini bukanlah hal baru, melainkan bagian dari strategi Zionis yang telah berlangsung dalam berbagai bentuk sejak Israel berdiri.

Ia mengungkapkan bahwa selama lebih dari satu abad, negara-negara Barat telah berupaya mengusir penduduk asli Palestina dari tanah mereka demi kepentingan pemukim Zionis. Meski demikian, ia menegaskan bahwa rencana semacam itu berulang kali gagal di masa lalu karena keteguhan rakyat Palestina dalam mempertahankan hak mereka atas tanah kelahiran mereka.

Hingga saat ini, penduduk Jalur Gaza tetap bertahan di tengah kehancuran akibat serangan militer Israel yang telah berlangsung lebih dari 15 bulan. Mereka menghadapi blokade ekonomi yang ketat serta kehilangan berbagai sumber mata pencaharian. Abu Sharif menyoroti bahwa kondisi ini tidak hanya menyebabkan penderitaan luar biasa, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus keberadaan warga Palestina melalui kekerasan dan pembunuhan massal.

Ia pun mengutuk rencana pemindahan paksa yang didorong oleh Presiden AS Donald Trump, yang menurutnya merupakan bentuk nyata dari pelanggaran hak asasi manusia dan praktik pembersihan etnis. Oleh sebab itu, ia menyerukan agar kebijakan ini ditentang di tingkat internasional guna mengungkap ketidakadilan yang terus dialami rakyat Palestina.

Lebanon Gugat Israel ke DK PBB: Pelanggaran Gencatan Senjata dan Resolusi 1701 Makin Parah

Pemerintah Lebanon resmi mengajukan keluhan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada Selasa terkait pelanggaran yang terus-menerus dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata dan Resolusi PBB 1701.

Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Lebanon, keluhan tersebut disampaikan melalui misi tetap Lebanon di New York sebagai bentuk respons atas serangkaian tindakan Israel yang melanggar Resolusi 1701 serta deklarasi penghentian permusuhan. Selain itu, Israel juga dinilai mengabaikan seluruh perjanjian keamanan yang telah disepakati.

Resolusi 1701, yang diadopsi pada 11 Agustus 2006, menetapkan penghentian total permusuhan antara Israel dan Hizbullah. Resolusi ini juga mengatur pembentukan zona bebas senjata di antara Garis Biru (Blue Line) dan Sungai Litani di Lebanon selatan, kecuali bagi tentara Lebanon dan pasukan perdamaian UNIFIL.

Kementerian Luar Negeri Lebanon merinci berbagai pelanggaran yang dilakukan Israel di wilayah selatan negara itu. Beberapa di antaranya mencakup serangan udara dan darat, penghancuran rumah serta pemukiman, penculikan warga Lebanon termasuk anggota militer, serta serangan terhadap warga sipil yang tengah berusaha kembali ke desa-desa mereka di perbatasan.

Lebanon juga menuduh Israel menyerang patroli militer mereka dan para jurnalis, serta menghapus lima penanda perbatasan di sepanjang Garis Biru yang merupakan batas de facto kedua negara.

Keluhan tersebut menegaskan bahwa tindakan Israel adalah pelanggaran serius terhadap Resolusi 1701 serta bentuk nyata dari pelanggaran kedaulatan Lebanon. Oleh karena itu, Lebanon meminta Dewan Keamanan PBB dan pihak-pihak yang mendukung gencatan senjata untuk mengambil tindakan tegas guna menghentikan agresi Israel, serta memperkuat peran militer Lebanon dan pasukan UNIFIL di wilayah konflik.

Gencatan senjata yang rapuh telah berlaku sejak 27 November 2024, setelah ketegangan antara Israel dan Hizbullah memuncak sejak 8 Oktober 2023 dan berkembang menjadi konflik berskala besar pada 23 September 2024.

Media Lebanon melaporkan bahwa sejak kesepakatan gencatan senjata diberlakukan, Israel telah melakukan lebih dari 830 pelanggaran. Sementara itu, Israel seharusnya menyelesaikan penarikan pasukannya dari Lebanon pada 26 Januari 2025 sesuai dengan kesepakatan, tetapi menolak untuk mematuhi tenggat waktu. Akibatnya, proses penarikan diperpanjang hingga 18 Februari 2025, menurut keterangan dari Gedung Putih.

Sejak 26 Januari 2025, setidaknya 26 orang tewas dan 221 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan Israel terhadap warga yang berusaha kembali ke rumah mereka di Lebanon selatan.

Mahmoud Abbas Desak Sidang Darurat PBB, Kecam Serangan Israel di Palestina!

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, pada Minggu (2/2), menyerukan sidang darurat Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan serangan Israel terhadap rakyat Palestina. Seruan ini muncul setelah penghancuran besar-besaran terhadap permukiman di kamp pengungsi Jenin, yang berada di wilayah Tepi Barat utara yang diduduki Israel.

Sebelumnya, Bashir Matahen, Direktur Hubungan Masyarakat dan Media Kota Jenin, menyampaikan kepada Anadolu Agency bahwa tentara Israel telah meledakkan 21 rumah di tiga area permukiman kamp pengungsi. Ia juga memperingatkan bahwa penghancuran akan terus berlanjut sesuai pemberitahuan yang telah diberikan oleh pasukan Israel kepada otoritas Palestina.

Dalam pernyataannya, Abbas menegaskan bahwa tindakan ini adalah bagian dari agresi sistematis Israel terhadap Palestina. Menurut laporan kantor berita resmi Palestina, WAFA, Abbas menggarisbawahi penghancuran blok-blok permukiman di Jenin dan Tulkarm, pemboman puluhan rumah warga, serta pengusiran paksa di Tamoun dan kamp Far’a, Tubas. Serangan ini juga disertai dengan penghancuran sistematis terhadap infrastruktur penting di wilayah tersebut.

Selain itu, Abbas mengecam kebijakan kekerasan Israel, yang disebutnya telah menyebabkan kematian puluhan warga Palestina, melukai ratusan lainnya, serta menangkap ribuan orang. Ia juga menyoroti aksi teror yang dilakukan oleh pemukim Israel, termasuk pembakaran rumah dan properti warga Palestina, yang bertujuan mengusir mereka dari tanah airnya.

Pemerintah Palestina mendesak komunitas internasional untuk segera mengambil tindakan guna memberikan perlindungan bagi rakyat Palestina serta menekan Israel agar menghentikan serangan dan kebijakan pemindahan paksa. Abbas juga meminta pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk ikut serta dalam menghentikan penghancuran dan pengusiran ini, demi mencegah eskalasi konflik yang bisa berdampak pada stabilitas kawasan.

Kepresidenan Palestina menuduh bahwa Israel tengah menjalankan rencana pemindahan paksa warga Palestina, sebagaimana yang telah dilakukan di Jalur Gaza. Dengan taktik penghancuran rumah dan permukiman, mereka menilai Israel berusaha memaksakan agenda politik yang ditentang oleh masyarakat internasional.

Meskipun menghadapi tekanan berat, rakyat Palestina menegaskan bahwa mereka akan tetap bertahan di tanah air mereka, menjaga warisan sejarah dan tempat-tempat suci, serta berjuang melawan upaya pengusiran yang telah lama mereka hadapi. Palestina juga memperingatkan bahwa eskalasi militer yang terus berlangsung tidak akan membawa perdamaian atau keamanan bagi siapa pun.

Serangan terbaru Israel di Jenin pada 21 Januari telah menewaskan sedikitnya 25 warga Palestina, sementara di Tulkarm, tiga warga Palestina turut menjadi korban jiwa. Konflik ini semakin memanas setelah perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan mulai berlaku di Gaza pada 19 Januari, menyusul perang berkepanjangan selama 15 bulan yang telah menyebabkan lebih dari 47.400 warga Palestina terbunuh dan menghancurkan wilayah tersebut menjadi reruntuhan.

Sejak agresi Israel di Gaza yang dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 900 warga Palestina di Tepi Barat telah terbunuh, baik akibat serangan langsung pasukan Israel maupun aksi kekerasan oleh pemukim ilegal Yahudi.

Hamas Dukung Pembentukan The Hague Group untuk Perjuangan Palestina

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pembentukan The Hague Group sebagai langkah strategis penting di tingkat internasional untuk mengakhiri pendudukan Israel di Gaza. Kelompok ini, yang terdiri dari negara-negara seperti Afrika Selatan, Malaysia, Namibia, Kolombia, Bolivia, Chili, Senegal, Honduras, dan Belize, bertujuan mengoordinasikan langkah-langkah hukum, diplomatik, dan ekonomi terhadap Israel yang dianggap telah melakukan pelanggaran hukum internasional.

Hamas dalam pernyataan resminya mengungkapkan rasa terima kasih terhadap inisiatif negara-negara tersebut dan menegaskan bahwa pembentukan The Hague Group merupakan bagian dari upaya mengakhiri pendudukan Zionis di Palestina serta mendukung hak rakyat Palestina untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri. Hamas juga menekankan bahwa agar sistem pendudukan Zionis bisa berakhir, biaya dari pendudukan tersebut harus diperberat dan Israel harus diisolasi secara global, mengingatkan pada apa yang terjadi dengan rezim apartheid Afrika Selatan.

Kelompok ini juga menegaskan bahwa keadilan internasional harus ditegakkan terhadap para pelaku kejahatan perang Zionis, serupa dengan apa yang dilakukan terhadap para pemimpin Nazi. Hamas mengajak negara-negara di dunia untuk bergabung dengan The Hague Group, mendukung perjuangan kemanusiaan di Palestina, dan mengembalikan kredibilitas hukum internasional yang telah dilanggar.

Pada pertemuan di Den Haag, Belanda, yang diselenggarakan oleh Progressive International, negara-negara ini mengecam tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza dan wilayah Palestina yang diduduki. Negara-negara tersebut juga menegaskan komitmennya untuk menentang kejahatan internasional tersebut dan memastikan keadilan tercapai.