Penolakan Gaza terhadap Mekanisme Bantuan Israel yang Dinilai Berbahaya

Pemerintah Gaza melalui Kantor Media resminya menolak rencana baru Israel dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina. Penolakan ini ditegaskan pada Selasa, 8 April, dengan alasan bahwa rencana tersebut memberi ruang kepada tentara Israel atau perusahaan yang terafiliasi militer untuk mendistribusikan bantuan secara langsung. Mereka menilai hal ini sebagai bentuk manipulasi yang membahayakan nasib kemanusiaan di Jalur Gaza dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan internasional.

Menurut pernyataan tersebut, Israel diduga menggunakan skema bantuan sebagai alat untuk memperkuat kontrol dan melakukan tekanan politik terhadap warga sipil. Kantor Media Gaza memperingatkan bahwa warga akan terpapar risiko tinggi karena berkumpul di titik distribusi yang bisa menjadi sasaran serangan. Sejak awal Maret, Israel menutup jalur perbatasan, memblokir pasokan makanan, air, dan obat-obatan, memperparah situasi kelaparan dan krisis kesehatan yang sudah mengkhawatirkan.

Sementara itu, laporan dari surat kabar Israel Yedioth Ahronoth menyebut bahwa militer Israel sedang mempertimbangkan peluncuran program bantuan percontohan, terutama di wilayah Rafah. Namun, rencana ini tidak akan melibatkan pihak Palestina seperti Hamas, melainkan dilakukan bersama organisasi internasional. Kantor Media Gaza menyebut langkah tersebut sebagai upaya untuk melegitimasi pendudukan ilegal dan menghindari tanggung jawab hukum.

Situasi semakin genting setelah militer Israel kembali melancarkan serangan sejak pertengahan Maret, menyebabkan ribuan korban jiwa dan luka-luka. Lebih dari 50.000 warga Palestina telah meninggal dunia sejak Oktober 2023. Komunitas internasional dan PBB pun didesak untuk menolak rencana distribusi Israel dan menemukan jalur kemanusiaan yang adil serta aman.

Menlu UEA dan Israel Bahas Gencatan Senjata dan Krisis Kemanusiaan di Gaza

Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan, melakukan pertemuan penting dengan Menlu Israel, Gideon Saar, di Abu Dhabi. Pertemuan ini difokuskan pada pembaruan gencatan senjata di Jalur Gaza serta pembebasan para sandera yang ditahan oleh kelompok Hamas. Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri UEA menyampaikan bahwa Sheikh Abdullah menekankan pentingnya mengutamakan upaya penghentian kekerasan dan pembebasan sandera sebagai langkah awal menuju stabilitas kawasan.

Ia juga menyoroti pentingnya memastikan aliran bantuan kemanusiaan yang aman dan tidak terhambat menuju Gaza, mengingat kondisi warga sipil yang semakin memprihatinkan. Selain itu, Sheikh Abdullah mendesak dibukanya kembali jalur diplomatik untuk mencapai solusi politik yang realistis, berdasarkan konsep dua negara sebagai landasan perdamaian jangka panjang. Ia pun menyerukan pengakhiran terhadap ekstremisme, meningkatnya ketegangan, dan aksi kekerasan yang terus berlangsung.

Sementara itu, situasi di Gaza kembali memanas setelah Israel melancarkan serangan pada malam 18 Maret lalu. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena Hamas menolak usulan dari Amerika Serikat terkait perpanjangan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Padahal, gencatan senjata resmi telah berakhir sejak 1 Maret 2025 dan berbagai pihak tengah berupaya memediasi kedua belah pihak agar mau kembali ke meja perundingan.

Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan pengetatan blokade. Israel dilaporkan telah memutus pasokan listrik ke fasilitas penting seperti pabrik desalinasi dan menghentikan akses masuk bantuan kemanusiaan, memperburuk krisis yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.

Israel Perintahkan Evakuasi Massal di Gaza Selatan, Serangan Mematikan Kembali Terjadi

Militer Israel kembali mengeluarkan perintah evakuasi bagi warga sipil Palestina di Gaza Selatan, tepatnya di tiga wilayah di kota Khan Younis, pada Sabtu. Juru bicara militer, Avichay Adraee, menyatakan bahwa warga di Abasan, al-Qarara, dan Khuza’a harus segera meninggalkan rumah mereka karena daerah tersebut dikategorikan sebagai “zona tempur berbahaya.” Ia menginstruksikan agar warga bergerak menuju pusat penampungan di al-Mawasi, dengan alasan bahwa serangan roket berasal dari wilayah yang menjadi target tersebut.

Dalam pernyataan terpisah, militer Israel mengklaim telah menyerang lokasi peluncuran mortir di Khan Younis, meskipun tidak memberikan rincian lebih lanjut. Pasukan Israel menyebut bahwa tiga tembakan mortir dilepaskan dari Gaza Selatan menuju posisi mereka di timur Khan Younis, namun tidak ada laporan mengenai korban dari pihak mereka.

Serangan terbaru ini terjadi setelah militer Israel melancarkan serangan udara mendadak di Jalur Gaza pada 18 Maret, yang menewaskan lebih dari 920 orang dan melukai lebih dari 2.000 lainnya. Serangan tersebut secara efektif menghancurkan gencatan senjata serta kesepakatan pertukaran tahanan yang sempat berlangsung pada Januari lalu.

Sejak Oktober 2023, konflik di Gaza telah menelan korban jiwa lebih dari 50.200 warga Palestina, dengan mayoritas korban adalah wanita dan anak-anak. Selain itu, lebih dari 114.000 orang mengalami luka-luka akibat serangan militer Israel yang terus berlanjut di wilayah tersebut. Situasi di Gaza semakin memburuk, dengan eskalasi kekerasan yang terus meningkat dan korban sipil yang semakin bertambah setiap harinya.

Tragedi Kemanusiaan di Gaza, Serangan Israel Terus Meningkatkan Korban Jiwa

Serangan militer Israel di Jalur Gaza terus menimbulkan korban jiwa yang sangat besar. Menurut laporan dari Euro-Med Human Rights Monitor yang berbasis di Jenewa, sejak 18 Maret, sedikitnya 103 warga Palestina kehilangan nyawa setiap harinya, sementara 223 lainnya mengalami luka-luka. Israel juga terus menerapkan berbagai tindakan yang memperburuk kondisi kehidupan di Gaza, termasuk blokade ketat yang menghambat masuknya bantuan kemanusiaan serta suplai makanan. Sejak 7 Oktober 2023, wilayah dengan populasi sekitar 2,4 juta jiwa ini menghadapi ancaman kelaparan akibat pembatasan yang dilakukan Israel.

Operasi udara mendadak yang dilakukan tentara Israel pada 18 Maret menyebabkan lebih dari 855 korban jiwa dan hampir 1.900 orang mengalami luka-luka. Serangan ini juga menghancurkan perjanjian gencatan senjata serta pertukaran tahanan yang sebelumnya telah diberlakukan pada Januari. Di tengah ketegangan yang terus meningkat, pasukan Israel tidak hanya menutup perbatasan Gaza tetapi juga membombardir rumah-rumah warga tanpa peringatan, menyebabkan kematian massal bagi penghuni yang masih berada di dalamnya. Serangan ini dilakukan secara sistematis tanpa alasan militer yang jelas, menciptakan kondisi mengerikan yang mengancam keberlangsungan hidup warga Palestina di sana.

Saksi mata melaporkan bahwa pasukan Israel menembaki warga sipil yang mencoba melarikan diri dan membiarkan jasad mereka tergeletak di jalanan. Sementara itu, sekitar 50.000 warga sipil masih terjebak di Rafah di tengah aktivitas militer yang terus berlangsung. Dalam satu pekan terakhir, lebih dari 200.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, sementara ribuan lainnya mencari perlindungan di tempat-tempat yang lebih aman. Situasi kemanusiaan semakin memburuk karena minimnya layanan dasar dan ketidakamanan yang menyelimuti seluruh wilayah Gaza.

Kelompok hak asasi manusia ini juga menyoroti diamnya komunitas internasional yang justru semakin mendorong Israel untuk melanjutkan agresinya. Mereka menekankan pentingnya tindakan cepat untuk menghentikan genosida yang terus terjadi, termasuk pencabutan blokade, pembukaan akses perbatasan tanpa hambatan, serta perlindungan maksimal bagi warga Palestina yang terancam pembunuhan dan pengusiran paksa. Hingga kini, jumlah korban tewas akibat serangan Israel telah melebihi 50.200 orang, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak, sementara lebih dari 113.900 lainnya mengalami luka-luka dalam konflik yang brutal ini.

Sheikh Ahmed el-Tayeb: Serangan Israel di Gaza Cerminan Kebencian yang Menghancurkan

Imam Besar Al Azhar Mesir, Sheikh Ahmed el-Tayeb, mengecam keras tindakan brutal Israel di Gaza yang dinilainya sebagai wujud kebencian yang merusak dan hilangnya rasa kemanusiaan. Pernyataan ini disampaikannya dalam pertemuan dengan Paus Tawadros II, pemimpin Gereja Ortodoks Koptik Mesir, pada Selasa (25/3). Sheikh Ahmed menegaskan bahwa situasi di Gaza semakin memburuk, dengan penderitaan yang semakin meluas di kalangan warga sipil.

Menurutnya, serangan yang dilakukan oleh Israel bukan sekadar konflik bersenjata atau tindakan kekerasan terhadap warga tak berdosa, melainkan cerminan dari kebencian yang mendalam yang menunjukkan tidak adanya belas kasih dan nilai-nilai kemanusiaan. Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan mendalam atas kondisi di wilayah Palestina yang terus memburuk akibat agresi militer yang tiada henti.

Pada 18 Maret, Israel kembali melancarkan serangan udara di Jalur Gaza, yang menyebabkan hampir 800 korban jiwa dan lebih dari 1.600 orang mengalami luka-luka. Serangan ini menghancurkan kesepakatan gencatan senjata yang sebelumnya diberlakukan sejak Januari. Sejak konflik pecah pada Oktober 2023, lebih dari 50.100 warga Palestina, mayoritas wanita dan anak-anak, telah meninggal dunia, sementara lebih dari 113.700 orang lainnya terluka akibat serangan tanpa henti.

Tindakan Israel ini telah menarik perhatian komunitas internasional, termasuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga menghadapi tuntutan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) akibat agresi militernya di Gaza. Dengan semakin meningkatnya kecaman global, situasi ini menegaskan perlunya tindakan tegas untuk menghentikan kekerasan dan membawa para pelaku keadilan internasional.

Seruan Uni Eropa: Konflik Israel-Hamas Harus Diselesaikan Melalui Diplomasi

Uni Eropa kembali menyerukan agar konflik antara Israel dan Hamas diselesaikan melalui jalur negosiasi. Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, dalam konferensi pers bersama Kepala Otoritas Luar Negeri Israel, Gideon Saar, pada Senin (24/3). Uni Eropa menegaskan bahwa meskipun Israel memiliki hak untuk membela diri, setiap tindakan militer harus tetap “proporsional” dan menghindari korban dari kalangan sipil.

Gideon Saar dalam pertemuan tersebut menegaskan bahwa Israel terbuka untuk mengakhiri konflik melalui diplomasi, namun menurutnya pihak Palestina tidak menunjukkan kerja sama yang diperlukan, sehingga memaksa Israel untuk mengambil tindakan militer. Saar juga menyebutkan bahwa perang dapat segera berakhir jika Hamas bersedia membebaskan semua sandera Israel dan meninggalkan Jalur Gaza.

Di tengah upaya diplomasi, pasukan Israel kembali melancarkan serangan ke Jalur Gaza sejak Selasa (18/3). Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa serangan ini merupakan tanggapan terhadap penolakan Hamas terhadap proposal Amerika Serikat yang bertujuan memperpanjang gencatan senjata serta melanjutkan pembebasan sandera.

Sebelumnya, gencatan senjata antara kedua pihak telah berlangsung sejak 19 Januari, tetapi berakhir pada 1 Maret. Meski ada upaya mediasi untuk mempertahankan ketenangan, pertempuran kembali berkobar pada 2 Maret setelah Israel melarang masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza dan meningkatkan tekanan terhadap Hamas karena menolak rencana perdamaian baru yang diusulkan oleh AS.

Ketegangan di Gaza: Hamas Tegaskan Negosiasi Gencatan Senjata Terus Berlangsung

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menegaskan bahwa komunikasi dengan para mediator mengenai gencatan senjata dan pertukaran tawanan di Jalur Gaza terus berlangsung tanpa henti. Juru bicara Hamas, Abdul Latif al-Qanoua, menyatakan bahwa berbagai proposal, termasuk yang diajukan oleh utusan Presiden AS, Steve Witkoff, masih dalam pembahasan. Proposal ini mencakup pembebasan lima warga Israel yang ditawan dengan imbalan gencatan senjata selama 50 hari, pembebasan tahanan Palestina, masuknya bantuan kemanusiaan, serta dimulainya tahap kedua negosiasi.

Hamas telah menyetujui usulan mediator yang melibatkan pembebasan seorang tentara Israel-Amerika dan pengembalian empat jenazah berkewarganegaraan ganda sebagai bagian dari proses negosiasi lanjutan. Namun, al-Qanoua menyebut Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebagai penghalang utama dalam tercapainya kesepakatan, menudingnya lebih mementingkan stabilitas pemerintahannya dibandingkan keselamatan para tawanan di Gaza.

Lebih lanjut, Hamas menyatakan kesiapannya untuk mendukung segala pengaturan pemerintahan Gaza, asalkan berdasarkan konsensus nasional. Mereka menegaskan tidak memiliki ambisi untuk mendominasi wilayah tersebut dan sebelumnya telah menyetujui pembentukan komite dukungan masyarakat yang tidak melibatkan Hamas secara langsung.

Hamas juga mengutuk agresi militer Israel di Gaza, menyebutnya sebagai “perang genosida” dengan dukungan dari Amerika Serikat. Mereka menyerukan agar AS menekan Israel untuk kembali ke perjanjian gencatan senjata dan tidak memperkeruh konflik. Serangan udara Israel sejak 18 Maret telah menewaskan lebih dari 700 warga Palestina dan melukai lebih dari 1.000 orang, menggagalkan kesepakatan gencatan senjata yang telah berlangsung sejak Januari.

Sejak Oktober 2023, hampir 50.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas dalam serangan Israel, sementara lebih dari 113.000 lainnya mengalami luka-luka. Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait serangan militernya di wilayah tersebut.

Krisis Kemanusiaan di Suriah: Tantangan Besar Pasca Kejatuhan Rezim Assad

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis menegaskan bahwa situasi kemanusiaan di Suriah masih menjadi salah satu yang paling serius di dunia, dengan 16,5 juta orang memerlukan bantuan darurat. Meskipun ada harapan setelah kejatuhan rezim Assad pada Desember lalu, kondisi di negara itu terus memburuk. Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Suriah, Adam Abdelmoula, dalam konferensi pers melalui tautan video dari Damaskus, mengungkapkan bahwa ranjau darat dan sisa bahan peledak perang telah menyebabkan lebih dari 600 korban sejak Desember, di mana sepertiga di antaranya adalah anak-anak. Dalam periode yang sama, sekitar 1,2 juta orang telah kembali ke rumah mereka, termasuk 885.000 pengungsi internal serta 302.000 orang lainnya yang sebelumnya mencari perlindungan di luar negeri.

Badan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan bahwa hingga 3,5 juta orang akan kembali ke Suriah tahun ini, tetapi banyak di antara mereka menghadapi berbagai kendala seperti minimnya layanan dasar, ancaman keamanan, dan kurangnya dokumen hukum. Sementara itu, penghentian pendanaan kemanusiaan pada Januari berdampak buruk terhadap bantuan di wilayah timur laut, terutama di kamp-kamp pengungsi internal dan permukiman informal. Ketegangan terus berlanjut di berbagai wilayah, termasuk utara, selatan, dan pesisir, mengakibatkan ribuan orang kembali mengungsi dan menyulitkan distribusi bantuan. Eskalasi kekerasan di wilayah pesisir juga menyebabkan ratusan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur penting, termasuk fasilitas kesehatan.

Setelah kejatuhan Assad pada Desember, otoritas baru Suriah berusaha menyelesaikan status mantan anggota rezim dengan menawarkan amnesti bagi mereka yang menyerahkan senjata dan tidak terlibat dalam kejahatan perang. Meskipun banyak yang menerima tawaran tersebut, beberapa kelompok bersenjata yang masih loyal terhadap Assad menolak dan melarikan diri ke daerah pegunungan, menciptakan ketegangan baru serta melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah. Assad sendiri melarikan diri ke Rusia pada 8 Desember 2024, menandai akhir dari kekuasaan Partai Baath yang telah berlangsung sejak 1963. Pada Januari, Ahmed al-Sharaa, pemimpin pasukan anti-rezim, diumumkan sebagai presiden transisi Suriah, membawa harapan baru bagi negara yang telah lama dilanda konflik.

Ketegangan di Laut Merah: AS Beri Peringatan kepada Rusia terkait Serangan Houthi

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, memberitahu Menlu Rusia, Sergei Lavrov, tentang operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa serangan terhadap kelompok yang didukung Iran itu merupakan langkah pencegahan untuk melindungi kapal-kapal militer dan komersial Amerika yang berlayar di Laut Merah. Juru bicara Deplu AS, Tammy Bruce, menegaskan bahwa Washington tidak akan mentoleransi serangan Houthi yang terus berlanjut di jalur perdagangan strategis tersebut.

Selain membahas tindakan militer AS, kedua menteri juga mendiskusikan langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Mereka sepakat untuk terus menjaga komunikasi antara Washington dan Moskow guna menghindari eskalasi ketegangan lebih lanjut.

AS baru-baru ini melancarkan serangan udara ke Yaman yang menargetkan kelompok Houthi, menyebabkan sedikitnya 19 korban jiwa. Presiden AS, Donald Trump, memperingatkan bahwa tindakan lebih lanjut akan diambil jika kelompok tersebut tetap menyerang kapal-kapal dagang di Laut Merah. Sejak akhir 2023, Houthi telah melancarkan serangan rudal dan drone ke kapal-kapal yang dikaitkan dengan Israel, sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina di Gaza.

Houthi sempat menghentikan serangannya ketika gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan. Namun, setelah Israel kembali memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret, kelompok tersebut mengancam akan melanjutkan aksinya, meningkatkan risiko ketidakstabilan di kawasan.

AS Peringatkan Rusia Terkait Serangan Militer terhadap Houthi di Yaman

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, memberi tahu Menlu Rusia, Sergei Lavrov, mengenai operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan bahwa Rubio menegaskan serangan kelompok yang didukung Iran tersebut terhadap kapal-kapal militer dan komersial AS di Laut Merah tidak akan dibiarkan begitu saja.

Dalam percakapan tersebut, kedua menlu juga membahas langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Keduanya sepakat untuk terus berupaya memulihkan komunikasi antara Washington dan Moskow guna menghindari eskalasi lebih lanjut di kawasan tersebut.

Militer AS baru-baru ini melancarkan serangan udara ke posisi kelompok Houthi di Yaman, menewaskan sedikitnya 19 orang. Presiden AS, Donald Trump, memperingatkan bahwa serangan lanjutan akan dilakukan jika Houthi terus menyerang kapal-kapal dagang di Laut Merah. Kelompok Houthi sendiri telah menyerang kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Israel sejak akhir 2023 menggunakan rudal dan pesawat nirawak. Serangan ini mereka klaim sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.

Kelompok Houthi sempat menghentikan serangannya ketika gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan. Namun, mereka kembali mengancam akan melanjutkan serangan jika Israel tetap memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret. Situasi ini meningkatkan ketegangan di kawasan dan berpotensi memperumit hubungan internasional antara negara-negara yang terlibat.