Krisis Kemanusiaan Gaza Memburuk, Ratusan Ribu Warga Kembali Mengungsi

Sekitar 280.000 penduduk Gaza kembali mengalami pengungsian akibat eskalasi konflik yang terjadi dalam dua pekan terakhir. Data ini disampaikan oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) pada Kamis (3/4), yang mencatat banyak dari warga tersebut terpaksa berlindung di tempat penampungan yang padat dan tidak layak huni. Kondisi di lokasi pengungsian sangat memprihatinkan, dengan laporan adanya serangan kutu dan tungau yang menyebabkan iritasi kulit serta masalah kesehatan lainnya.

OCHA menjelaskan bahwa perintah evakuasi dari pihak Israel terus meningkat, memaksa warga sipil mencari perlindungan baru dalam situasi yang semakin genting. Tempat-tempat penampungan yang tersisa telah melebihi kapasitas, memperburuk kondisi kebersihan dan sanitasi. Akibat blokade yang berlangsung selama sebulan, pasokan bantuan kemanusiaan dan barang-barang esensial ke wilayah Gaza semakin terbatas, menyulitkan upaya peningkatan standar kebersihan di area pengungsian.

PBB dan mitra-mitra kemanusiaannya masih berupaya memberikan bantuan semaksimal mungkin, selama kondisi di lapangan memungkinkan. Meski begitu, keterbatasan logistik dan penutupan perlintasan perbatasan membuat distribusi bantuan menjadi sangat terbatas. Salah satu bentuk bantuan yang masih dapat diberikan adalah penyediaan lebih dari 900.000 porsi makanan hangat setiap hari oleh mitra keamanan pangan.

OCHA menyerukan kepada semua pihak agar perlintasan perbatasan segera dibuka kembali agar bantuan kemanusiaan dapat masuk dan memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat Gaza yang tengah menghadapi krisis besar.

Krisis Kemanusiaan di Suriah: Tantangan Besar Pasca Kejatuhan Rezim Assad

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis menegaskan bahwa situasi kemanusiaan di Suriah masih menjadi salah satu yang paling serius di dunia, dengan 16,5 juta orang memerlukan bantuan darurat. Meskipun ada harapan setelah kejatuhan rezim Assad pada Desember lalu, kondisi di negara itu terus memburuk. Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Suriah, Adam Abdelmoula, dalam konferensi pers melalui tautan video dari Damaskus, mengungkapkan bahwa ranjau darat dan sisa bahan peledak perang telah menyebabkan lebih dari 600 korban sejak Desember, di mana sepertiga di antaranya adalah anak-anak. Dalam periode yang sama, sekitar 1,2 juta orang telah kembali ke rumah mereka, termasuk 885.000 pengungsi internal serta 302.000 orang lainnya yang sebelumnya mencari perlindungan di luar negeri.

Badan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan bahwa hingga 3,5 juta orang akan kembali ke Suriah tahun ini, tetapi banyak di antara mereka menghadapi berbagai kendala seperti minimnya layanan dasar, ancaman keamanan, dan kurangnya dokumen hukum. Sementara itu, penghentian pendanaan kemanusiaan pada Januari berdampak buruk terhadap bantuan di wilayah timur laut, terutama di kamp-kamp pengungsi internal dan permukiman informal. Ketegangan terus berlanjut di berbagai wilayah, termasuk utara, selatan, dan pesisir, mengakibatkan ribuan orang kembali mengungsi dan menyulitkan distribusi bantuan. Eskalasi kekerasan di wilayah pesisir juga menyebabkan ratusan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur penting, termasuk fasilitas kesehatan.

Setelah kejatuhan Assad pada Desember, otoritas baru Suriah berusaha menyelesaikan status mantan anggota rezim dengan menawarkan amnesti bagi mereka yang menyerahkan senjata dan tidak terlibat dalam kejahatan perang. Meskipun banyak yang menerima tawaran tersebut, beberapa kelompok bersenjata yang masih loyal terhadap Assad menolak dan melarikan diri ke daerah pegunungan, menciptakan ketegangan baru serta melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah. Assad sendiri melarikan diri ke Rusia pada 8 Desember 2024, menandai akhir dari kekuasaan Partai Baath yang telah berlangsung sejak 1963. Pada Januari, Ahmed al-Sharaa, pemimpin pasukan anti-rezim, diumumkan sebagai presiden transisi Suriah, membawa harapan baru bagi negara yang telah lama dilanda konflik.