Anak-Anak Palestina Terkorban dalam Serangan Israel di Gaza

Hampir 600 anak Palestina dilaporkan tewas akibat serangan terbaru yang dilancarkan oleh Israel di Jalur Gaza sejak bulan lalu, menurut Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Senin, 21 April 2025. Menurut data yang dirilis oleh Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), lebih dari 1.600 anak lainnya mengalami luka-luka sejak serangan dimulai pada 18 Maret 2025. UNRWA menyebutkan bahwa krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza saat ini berisiko mencapai titik terburuk sejak Oktober 2023, mengingat dampak yang semakin meluas terhadap masyarakat sipil, terutama anak-anak dan perempuan.

Serangan Israel di Gaza kembali meningkat sejak 18 Maret 2025, meskipun sebelumnya telah tercapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan pada Januari. Serangan yang terus berlanjut ini telah menewaskan lebih dari 1.860 orang Palestina dan melukai hampir 4.900 lainnya. Data keseluruhan menunjukkan bahwa lebih dari 51.200 warga Palestina telah kehilangan nyawa mereka sejak Israel melancarkan serangan brutalnya pada Oktober 2023, dengan mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak yang terjebak dalam konflik ini.

Pada November 2023, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin otoritas Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan kepala pertahanan, Yoav Gallant, dengan tuduhan kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel kini tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait agresi yang terus berlanjut di wilayah kantong Gaza tersebut, yang semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di daerah tersebut. Masyarakat internasional semakin mengkhawatirkan dampak dari serangan ini terhadap masa depan perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut.

Dunia Harus Bergerak: MER-C Soroti Tragedi Kemanusiaan di Gaza

Komite Penyelamatan Darurat Medis (MER-C) Indonesia mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Jalur Gaza. Ketua Presidium MER-C, Hadiki Habib, dalam siaran pers yang diterima pada Kamis di Jakarta, menegaskan bahwa situasi ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Ia menyebut, berdiam diri di tengah penderitaan warga Gaza hanya akan menjadi bentuk pembiaran terhadap kejahatan kemanusiaan yang sedang terjadi.

Hadiki menyatakan bahwa Israel telah berulang kali menyerang dan membunuh tenaga medis yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan. Tindakan tersebut, menurutnya, merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Di tengah upaya gencatan senjata, justru serangan terhadap tenaga kesehatan, pekerja bantuan, bahkan staf PBB terus berlangsung secara sistematis dan terencana.

Penutupan akses terhadap bantuan kemanusiaan juga memperparah kondisi di Gaza. Ancaman kelaparan kini menghantui, bahkan disebut-sebut sebagai bencana kelaparan terburuk yang pernah terjadi di wilayah tersebut. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya turut menjadi sasaran serangan, yang membuat pelayanan kesehatan nyaris lumpuh total.

Sejak 18 Maret 2025, MER-C telah mengirimkan delapan tim medis ke Gaza, dan enam relawan masih bertahan di Rumah Sakit Indonesia yang berada di Gaza Utara. Para relawan tersebut menyaksikan secara langsung dampak serangan yang menimpa warga sipil setiap harinya. Hadiki menutup pernyataannya dengan seruan tegas agar dunia internasional tidak hanya diam, melainkan bersuara dan bertindak nyata untuk menghentikan tragedi besar ini.

Hamas Apresiasi Pengusiran Dubes Israel dari Konferensi Uni Afrika

Kelompok Palestina Hamas menyambut baik keputusan Uni Afrika yang mengusir Duta Besar Israel untuk Ethiopia, Avraham Neguise, dari konferensi peringatan genosida Rwanda di Addis Ababa pada 7 April. Langkah ini disebut Hamas sebagai tindakan berani yang mencerminkan nilai-nilai serta prinsip Uni Afrika, yang sejak lama dikenal mendukung perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan dan kolonialisme Zionis.

Menurut laporan Anadolu, pengusiran tersebut terjadi setelah sejumlah negara anggota Uni Afrika menolak untuk menghadiri konferensi jika Israel tetap diwakili di dalamnya. Hamas menilai kehadiran Israel dalam forum yang membahas genosida sebagai bentuk keberanian yang keterlaluan, mengingat Israel sendiri tengah dituduh melakukan genosida terhadap warga Palestina, khususnya di Gaza.

Hamas menyerukan kepada berbagai organisasi regional dan internasional agar menerapkan boikot penuh terhadap Israel dan tidak memberikan ruang bagi negara tersebut untuk memanfaatkan forum internasional demi membenarkan tindakannya di wilayah Palestina. Insiden serupa juga pernah terjadi pada Februari 2023, ketika diplomat Israel diusir dari KTT Uni Afrika ke-36.

Sejak dimulainya serangan besar-besaran Israel di Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 50.700 warga Palestina telah terbunuh—kebanyakan merupakan perempuan dan anak-anak. Pengadilan Kriminal Internasional telah menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, terkait dugaan keterlibatan mereka dalam kejahatan perang dan pelanggaran serius terhadap kemanusiaan. Israel kini juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional.

OKI Kecam Serangan Israel ke Tenda Jurnalis di Gaza, Desak ICC dan UNESCO Bertindak

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyampaikan kecaman keras terhadap aksi militer Israel yang menyerang tenda jurnalis di Kota Khan Yunis, Gaza bagian selatan. Serangan tersebut menyebabkan satu jurnalis tewas dan melukai sejumlah lainnya. Dalam pernyataannya, OKI menilai tindakan itu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap kebebasan pers dan sebagai upaya sistematis untuk membungkam kebenaran serta menutupi kejahatan yang dilakukan oleh pendudukan Zionis terhadap rakyat Palestina.

OKI menyebut bahwa tindakan militer Israel ini merupakan kelanjutan dari kebijakan pendudukan yang kejam, dengan tujuan mencegah suara para jurnalis mencapai dunia internasional dan mengaburkan fakta-fakta pelanggaran HAM. Sejak dimulainya agresi di Gaza, lebih dari 210 jurnalis dan pekerja media dilaporkan telah kehilangan nyawa, dan OKI menyatakan Israel sebagai pihak yang harus bertanggung jawab penuh atas tragedi kemanusiaan ini.

OKI juga kembali menyerukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk segera menyelesaikan penyelidikan atas seluruh kejahatan yang dilakukan oleh pasukan Israel, termasuk serangan langsung terhadap jurnalis, penahanan sewenang-wenang, serta kekerasan fisik yang mereka alami saat menjalankan tugas. OKI mendesak UNESCO dan lembaga internasional lainnya agar mengambil langkah konkret dalam memastikan para pelaku kejahatan terhadap media diproses hukum serta memberikan perlindungan nyata bagi kebebasan pers di wilayah pendudukan Palestina. Semua tindakan ini harus dilakukan sesuai prinsip hukum humaniter internasional dan perjanjian global yang berlaku.

Serangan Israel di Jalur Gaza Tewaskan Lebih dari 1.000 Warga Palestina

Sejak dimulainya serangan intensif Israel pada 18 Maret, lebih dari 1.000 warga Palestina tewas, dan lebih dari 2.300 lainnya mengalami luka-luka, menurut laporan terbaru dari otoritas kesehatan Gaza pada Senin (31/3). Dalam 48 jam terakhir, sekitar 80 jenazah dan 305 korban luka telah dilarikan ke rumah sakit di Gaza. Namun, kondisi di lapangan semakin parah, dengan banyak korban yang masih terjebak di bawah reruntuhan akibat serangan udara dan artileri. Tim ambulans dan petugas pertahanan sipil kesulitan mencapai lokasi-lokasi ini karena medan yang sangat berbahaya dan terus-menerus dibombardir. Serangan Israel pada Senin menghancurkan Desa Al-Masdar di Gaza tengah dan wilayah timur Jabalia di Gaza utara, yang menewaskan sedikitnya lima orang. Selain itu, beberapa area di Khan Younis, Gaza selatan, juga dibombardir, menyebabkan jatuhnya korban jiwa lainnya.

Hingga saat ini, militer Israel belum memberikan komentar mengenai serangan-serangan tersebut. Otoritas kesehatan Gaza melaporkan bahwa jumlah korban tewas sejak dimulainya operasi militer Israel pada 7 Oktober 2023 telah meningkat menjadi 50.357 orang, dengan lebih dari 114.400 orang lainnya terluka. Keadaan ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza yang sudah sangat sulit, dengan banyak warga yang terus hidup dalam ketakutan dan keterbatasan. Sumber-sumber kemanusiaan mengungkapkan bahwa akses terhadap bantuan dan perawatan medis semakin terbatas, memperburuk penderitaan di wilayah tersebut.

Tragedi Kemanusiaan di Gaza, Serangan Israel Terus Meningkatkan Korban Jiwa

Serangan militer Israel di Jalur Gaza terus menimbulkan korban jiwa yang sangat besar. Menurut laporan dari Euro-Med Human Rights Monitor yang berbasis di Jenewa, sejak 18 Maret, sedikitnya 103 warga Palestina kehilangan nyawa setiap harinya, sementara 223 lainnya mengalami luka-luka. Israel juga terus menerapkan berbagai tindakan yang memperburuk kondisi kehidupan di Gaza, termasuk blokade ketat yang menghambat masuknya bantuan kemanusiaan serta suplai makanan. Sejak 7 Oktober 2023, wilayah dengan populasi sekitar 2,4 juta jiwa ini menghadapi ancaman kelaparan akibat pembatasan yang dilakukan Israel.

Operasi udara mendadak yang dilakukan tentara Israel pada 18 Maret menyebabkan lebih dari 855 korban jiwa dan hampir 1.900 orang mengalami luka-luka. Serangan ini juga menghancurkan perjanjian gencatan senjata serta pertukaran tahanan yang sebelumnya telah diberlakukan pada Januari. Di tengah ketegangan yang terus meningkat, pasukan Israel tidak hanya menutup perbatasan Gaza tetapi juga membombardir rumah-rumah warga tanpa peringatan, menyebabkan kematian massal bagi penghuni yang masih berada di dalamnya. Serangan ini dilakukan secara sistematis tanpa alasan militer yang jelas, menciptakan kondisi mengerikan yang mengancam keberlangsungan hidup warga Palestina di sana.

Saksi mata melaporkan bahwa pasukan Israel menembaki warga sipil yang mencoba melarikan diri dan membiarkan jasad mereka tergeletak di jalanan. Sementara itu, sekitar 50.000 warga sipil masih terjebak di Rafah di tengah aktivitas militer yang terus berlangsung. Dalam satu pekan terakhir, lebih dari 200.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, sementara ribuan lainnya mencari perlindungan di tempat-tempat yang lebih aman. Situasi kemanusiaan semakin memburuk karena minimnya layanan dasar dan ketidakamanan yang menyelimuti seluruh wilayah Gaza.

Kelompok hak asasi manusia ini juga menyoroti diamnya komunitas internasional yang justru semakin mendorong Israel untuk melanjutkan agresinya. Mereka menekankan pentingnya tindakan cepat untuk menghentikan genosida yang terus terjadi, termasuk pencabutan blokade, pembukaan akses perbatasan tanpa hambatan, serta perlindungan maksimal bagi warga Palestina yang terancam pembunuhan dan pengusiran paksa. Hingga kini, jumlah korban tewas akibat serangan Israel telah melebihi 50.200 orang, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak, sementara lebih dari 113.900 lainnya mengalami luka-luka dalam konflik yang brutal ini.

Krisis Kesehatan di Gaza Semakin Parah, Ribuan Pasien Kehilangan Akses Pengobatan

Situasi kesehatan di Jalur Gaza terus memburuk, dengan sebagian besar pasien tidak mendapatkan perawatan medis yang mereka perlukan akibat minimnya pasokan obat-obatan. Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza, Munir al-Barsh, menyatakan bahwa 80 persen pasien saat ini tidak bisa mengakses pengobatan yang seharusnya mereka terima. Kondisi rumah sakit semakin kritis karena kekurangan kebutuhan dasar, dan sistem kesehatan di wilayah tersebut diperkirakan akan semakin kolaps, dengan potensi korban jiwa yang terus meningkat setiap menitnya.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, al-Barsh juga menyoroti dampak serangan terbaru Israel yang telah mengakibatkan tewasnya 15 tenaga medis dan melukai puluhan lainnya. Selain itu, sedikitnya 15 rumah sakit mengalami kerusakan, sementara 23 ambulans dilaporkan tidak dapat beroperasi akibat serangan tersebut. Kondisi ini semakin memperburuk krisis kesehatan yang tengah melanda wilayah tersebut.

Israel melanjutkan operasi militernya di Gaza sejak Selasa pekan lalu sebagai respons terhadap penolakan Hamas untuk menyetujui rencana Amerika Serikat mengenai perpanjangan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Sebelumnya, gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang telah berlangsung sejak 19 Januari berakhir pada 1 Maret. Meskipun upaya mediasi sempat menunda pertempuran, pada 2 Maret Israel kembali memberlakukan larangan terhadap bantuan kemanusiaan ke Gaza serta mengancam akan meningkatkan tekanan terhadap Hamas. Ketegangan yang terus meningkat ini semakin memperburuk kondisi warga sipil, terutama dalam sektor kesehatan, yang kini berada di ambang kehancuran.

Sheikh Ahmed el-Tayeb: Serangan Israel di Gaza Cerminan Kebencian yang Menghancurkan

Imam Besar Al Azhar Mesir, Sheikh Ahmed el-Tayeb, mengecam keras tindakan brutal Israel di Gaza yang dinilainya sebagai wujud kebencian yang merusak dan hilangnya rasa kemanusiaan. Pernyataan ini disampaikannya dalam pertemuan dengan Paus Tawadros II, pemimpin Gereja Ortodoks Koptik Mesir, pada Selasa (25/3). Sheikh Ahmed menegaskan bahwa situasi di Gaza semakin memburuk, dengan penderitaan yang semakin meluas di kalangan warga sipil.

Menurutnya, serangan yang dilakukan oleh Israel bukan sekadar konflik bersenjata atau tindakan kekerasan terhadap warga tak berdosa, melainkan cerminan dari kebencian yang mendalam yang menunjukkan tidak adanya belas kasih dan nilai-nilai kemanusiaan. Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan mendalam atas kondisi di wilayah Palestina yang terus memburuk akibat agresi militer yang tiada henti.

Pada 18 Maret, Israel kembali melancarkan serangan udara di Jalur Gaza, yang menyebabkan hampir 800 korban jiwa dan lebih dari 1.600 orang mengalami luka-luka. Serangan ini menghancurkan kesepakatan gencatan senjata yang sebelumnya diberlakukan sejak Januari. Sejak konflik pecah pada Oktober 2023, lebih dari 50.100 warga Palestina, mayoritas wanita dan anak-anak, telah meninggal dunia, sementara lebih dari 113.700 orang lainnya terluka akibat serangan tanpa henti.

Tindakan Israel ini telah menarik perhatian komunitas internasional, termasuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga menghadapi tuntutan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) akibat agresi militernya di Gaza. Dengan semakin meningkatnya kecaman global, situasi ini menegaskan perlunya tindakan tegas untuk menghentikan kekerasan dan membawa para pelaku keadilan internasional.

UEA Serukan Penghentian Serangan Israel dan Perlindungan Warga Gaza

Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan keprihatinannya terhadap serangan udara Israel yang terus berlanjut di Gaza, memperingatkan potensi ketidakstabilan yang lebih luas di wilayah tersebut serta meningkatnya eskalasi kekerasan di kawasan. Dalam pernyataan yang dirilis pada 18 Maret 2025, UEA menegaskan pentingnya upaya internasional untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban jiwa serta memburuknya kondisi kemanusiaan. Mereka juga mendesak penghentian tindakan yang merugikan warga sipil serta mengajak komunitas global untuk segera mencari solusi damai.

Menurut laporan Emirates News Agency (WAM), UEA mendorong tercapainya kesepakatan gencatan senjata yang baru, pemulihan akses listrik, pembukaan kembali jalur perlintasan, serta distribusi bantuan kemanusiaan tanpa hambatan kepada warga Gaza yang membutuhkan. Pemerintah UEA menegaskan kembali komitmennya dalam mendukung segala upaya yang bertujuan menciptakan perdamaian serta melindungi warga sipil dari dampak serangan yang semakin memburuk. Pernyataan ini muncul di tengah serangan udara besar-besaran yang dilancarkan Israel di seluruh Gaza pada Selasa pagi, yang telah menyebabkan lebih dari 400 korban jiwa dan semakin melemahkan kesepakatan gencatan senjata yang sempat berlaku sejak 19 Januari lalu.

Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pernyataan terbarunya menegaskan bahwa negaranya akan meningkatkan intensitas serangan terhadap Gaza. Ia menegaskan bahwa negosiasi terkait gencatan senjata kini hanya akan berlangsung di bawah tekanan tembakan. Situasi yang terus memburuk ini menambah kekhawatiran banyak pihak, termasuk negara-negara di kawasan yang menginginkan stabilitas serta solusi jangka panjang atas konflik yang berkepanjangan.

Mahmoud Abbas Desak Sidang Darurat PBB, Kecam Serangan Israel di Palestina!

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, pada Minggu (2/2), menyerukan sidang darurat Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan serangan Israel terhadap rakyat Palestina. Seruan ini muncul setelah penghancuran besar-besaran terhadap permukiman di kamp pengungsi Jenin, yang berada di wilayah Tepi Barat utara yang diduduki Israel.

Sebelumnya, Bashir Matahen, Direktur Hubungan Masyarakat dan Media Kota Jenin, menyampaikan kepada Anadolu Agency bahwa tentara Israel telah meledakkan 21 rumah di tiga area permukiman kamp pengungsi. Ia juga memperingatkan bahwa penghancuran akan terus berlanjut sesuai pemberitahuan yang telah diberikan oleh pasukan Israel kepada otoritas Palestina.

Dalam pernyataannya, Abbas menegaskan bahwa tindakan ini adalah bagian dari agresi sistematis Israel terhadap Palestina. Menurut laporan kantor berita resmi Palestina, WAFA, Abbas menggarisbawahi penghancuran blok-blok permukiman di Jenin dan Tulkarm, pemboman puluhan rumah warga, serta pengusiran paksa di Tamoun dan kamp Far’a, Tubas. Serangan ini juga disertai dengan penghancuran sistematis terhadap infrastruktur penting di wilayah tersebut.

Selain itu, Abbas mengecam kebijakan kekerasan Israel, yang disebutnya telah menyebabkan kematian puluhan warga Palestina, melukai ratusan lainnya, serta menangkap ribuan orang. Ia juga menyoroti aksi teror yang dilakukan oleh pemukim Israel, termasuk pembakaran rumah dan properti warga Palestina, yang bertujuan mengusir mereka dari tanah airnya.

Pemerintah Palestina mendesak komunitas internasional untuk segera mengambil tindakan guna memberikan perlindungan bagi rakyat Palestina serta menekan Israel agar menghentikan serangan dan kebijakan pemindahan paksa. Abbas juga meminta pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk ikut serta dalam menghentikan penghancuran dan pengusiran ini, demi mencegah eskalasi konflik yang bisa berdampak pada stabilitas kawasan.

Kepresidenan Palestina menuduh bahwa Israel tengah menjalankan rencana pemindahan paksa warga Palestina, sebagaimana yang telah dilakukan di Jalur Gaza. Dengan taktik penghancuran rumah dan permukiman, mereka menilai Israel berusaha memaksakan agenda politik yang ditentang oleh masyarakat internasional.

Meskipun menghadapi tekanan berat, rakyat Palestina menegaskan bahwa mereka akan tetap bertahan di tanah air mereka, menjaga warisan sejarah dan tempat-tempat suci, serta berjuang melawan upaya pengusiran yang telah lama mereka hadapi. Palestina juga memperingatkan bahwa eskalasi militer yang terus berlangsung tidak akan membawa perdamaian atau keamanan bagi siapa pun.

Serangan terbaru Israel di Jenin pada 21 Januari telah menewaskan sedikitnya 25 warga Palestina, sementara di Tulkarm, tiga warga Palestina turut menjadi korban jiwa. Konflik ini semakin memanas setelah perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan mulai berlaku di Gaza pada 19 Januari, menyusul perang berkepanjangan selama 15 bulan yang telah menyebabkan lebih dari 47.400 warga Palestina terbunuh dan menghancurkan wilayah tersebut menjadi reruntuhan.

Sejak agresi Israel di Gaza yang dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 900 warga Palestina di Tepi Barat telah terbunuh, baik akibat serangan langsung pasukan Israel maupun aksi kekerasan oleh pemukim ilegal Yahudi.