Perempuan yang berada dalam zona konflik bersenjata menghadapi berbagai bentuk kekerasan yang tidak hanya ekstrem tetapi juga sangat luas, melebihi dampak langsung dari peperangan itu sendiri. Mereka sering kali menjadi korban perkosaan, kekerasan seksual lainnya, perbudakan seksual, perkawinan paksa, serta berbagai bentuk penyiksaan dan eksploitasi. Kekerasan ini tidak hanya merusak martabat dan hak asasi manusia mereka, tetapi juga menghambat upaya perdamaian dan pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, penegakan hukum internasional sangat penting untuk melindungi perempuan dan menjamin tercapainya keadilan serta keamanan di tengah kekacauan yang ditimbulkan oleh perang.
Hukum internasional, khususnya hukum humaniter internasional (IHL) dan hak asasi manusia (HAM), telah menetapkan aturan yang jelas untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender dalam kondisi konflik. Dalam Konvensi Jenewa 1949, Pasal 27, dinyatakan bahwa perempuan harus dilindungi dari segala bentuk serangan terhadap kehormatan mereka, termasuk perkosaan, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual lainnya. Protokol Tambahan II 1977, Pasal 75 Ayat (2), melarang keras kekerasan terhadap warga sipil, termasuk kekerasan seksual, dan menjamin perlindungan korban dalam situasi apapun.
Di samping itu, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang disahkan pada tahun 1979 dan Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan juga berfungsi sebagai instrumen utama yang memberikan dasar hukum bagi perempuan untuk menuntut perlindungan dan keadilan dalam menghadapi kekerasan, terutama dalam konteks konflik. Instrumen-instrumen ini penting untuk memastikan bahwa pelaku pelanggaran hukum internasional bertanggung jawab atas tindakannya dan mencegah terjadinya kekerasan lebih lanjut terhadap perempuan.
Meski demikian, penerapan hukum internasional di lapangan sering kali menghadapi berbagai hambatan serius. Kelemahan kapasitas institusi penegak hukum, kurangnya kemauan politik negara-negara yang terlibat dalam konflik, serta impunitas yang meluas, seringkali menghalangi pencapaian keadilan bagi korban kekerasan seksual. Banyak pelaku kekerasan seksual yang tidak dihukum, sehingga menciptakan siklus kekerasan yang terus berlanjut. Selain itu, perempuan korban kekerasan seksual sering kali kesulitan untuk mengakses keadilan, baik melalui jalur peradilan domestik maupun internasional, akibat stigma sosial, ketakutan akan balas dendam, dan kurangnya dukungan dari komunitas.
Karena itu, penegakan hukum internasional membutuhkan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Pertama, negara-negara anggota harus menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk meratifikasi dan mengimplementasikan instrumen hukum internasional yang relevan. Sekadar meratifikasi tidaklah cukup; negara-negara harus memastikan mekanisme yang efektif untuk menyelidiki, mengadili, dan menghukum para pelaku kekerasan terhadap perempuan. Hal ini termasuk membangun kapasitas lembaga penegak hukum, memberikan pelatihan yang memadai kepada aparat penegak hukum dan petugas medis, serta memastikan akses yang mudah bagi korban untuk memperoleh keadilan dan dukungan.
Kedua, pengadilan internasional dan mekanisme peradilan hibrida memiliki peran krusial dalam menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Pengadilan Pidana Internasional (ICC), meskipun memiliki jurisdiksi terbatas, telah mengadili sejumlah kasus kejahatan perang, termasuk kekerasan seksual. Selain itu, pengadilan khusus atau mekanisme peradilan transisional dapat digunakan untuk mengadili pelanggaran di negara tertentu. Namun, akses ke pengadilan tersebut masih terbatas, dan proses peradilannya bisa sangat panjang.
Ketiga, diperlukan peningkatan kerjasama internasional untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan di zona konflik. Kerjasama ini mencakup pertukaran informasi, pengembangan kapasitas, serta penyediaan dukungan teknis dan keuangan bagi negara-negara yang membutuhkan. Organisasi internasional seperti PBB memegang peran penting dalam memfasilitasi kerjasama ini dan dalam mendorong negara-negara untuk memenuhi kewajiban hukum internasional mereka. Keterlibatan organisasi masyarakat sipil juga penting, karena mereka memiliki pengalaman dalam memberikan dukungan kepada korban dan dalam advokasi kebijakan yang dapat mengubah situasi.
Keempat, perubahan budaya dan sosial sangat penting untuk mengatasi akar penyebab kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat perlu diajak untuk mengubah norma-norma sosial yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan dan meningkatkan pemahaman tentang pentingnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Pendidikan, kampanye kesadaran publik, dan keterlibatan tokoh masyarakat dan agama memainkan peran penting dalam mendorong perubahan sikap dan perilaku.
Sebagai kesimpulan, meskipun hukum internasional memberikan landasan hukum yang jelas untuk melindungi perempuan dalam zona konflik, implementasinya memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan komprehensif. Tanpa adanya komitmen politik yang kuat, kapasitas lembaga penegak hukum yang memadai, kerjasama internasional yang erat, serta perubahan sosial yang mendalam, keadilan dan perlindungan bagi perempuan di zona konflik akan tetap menjadi tantangan besar. Melindungi perempuan adalah kewajiban moral dan hukum komunitas internasional, dan kegagalan untuk melindungi mereka adalah kegagalan kemanusiaan yang berdampak pada perdamaian, keamanan, dan pembangunan berkelanjutan.