Perempuan-perempuan di Kenya kini turun ke jalan, menyerukan Presiden Ruto untuk menyatakan femisida sebagai krisis nasional, setelah 97 perempuan dibunuh dalam waktu tiga bulan terakhir. Sabrina Karim, profesor pemerintahan yang juga direktur Gender and Security Sector Lab, menjelaskan bahwa meski peningkatan femisida di Kenya mengejutkan, hal ini sejalan dengan tren global yang belum juga mereda.
Karim mengungkapkan bahwa secara global, satu dari tiga perempuan (30%) mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual oleh pasangan intim atau kekerasan seksual oleh non-pasangan selama hidup mereka. Bahkan, laporan terbaru dari PBB menyatakan bahwa rumah menjadi tempat paling berbahaya bagi perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan di Kenya seringkali dikaitkan dengan sikap patriarkal yang sudah mengakar dan ketimpangan ekonomi. Namun, Karim menilai penjelasan tersebut belum sepenuhnya menjelaskan mengapa angka kekerasan terhadap perempuan justru meningkat akhir-akhir ini. Salah satu kemungkinan adalah karena perempuan di Kenya telah meraih kemajuan politik, dengan perempuan kini memegang 23% kursi di parlemen, serta adanya komitmen besar terhadap hak-hak perempuan. Hal ini bisa memicu reaksi balik dari sebagian pria.
Menurut Karim, sebagian pria mungkin merasa cemburu dengan pencapaian yang diraih oleh perempuan, terutama jika mereka melihatnya sebagai permainan yang saling menguntungkan. Mereka merasa bahwa status mereka menurun, baik di dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat secara lebih luas. Beberapa pria kemudian merespons hal ini dengan kekerasan terhadap perempuan, yang mereka anggap sebagai cara untuk mempertahankan status mereka.