JD Vance: Ukraina Sulit Menang, Trump Klaim Perang Bisa Dihindari

Wakil Presiden Amerika Serikat, JD Vance, menyatakan bahwa Ukraina tidak memiliki peluang untuk menang dalam konfliknya dengan Rusia, seperti yang telah terlihat sejak perang dimulai tiga tahun lalu. Menurutnya, situasi ini tidak akan terjadi jika Donald Trump masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada saat itu.

“Selama tiga tahun, Presiden Trump dan saya telah menyampaikan dua pandangan utama: pertama, perang ini tidak akan pecah jika Presiden Trump masih memimpin; kedua, baik Eropa, pemerintahan Biden, maupun Ukraina tidak memiliki jalan yang jelas menuju kemenangan,” tulis Vance melalui akun media sosial X pada Kamis.

Vance menekankan bahwa Washington sebenarnya memiliki pengaruh besar terhadap kedua pihak dalam konflik ini. Namun, ia menilai bahwa kebijakan pemerintahan Biden yang membiarkan perang terus berlanjut hanya akan berdampak negatif bagi semua pihak, termasuk Eropa dan Amerika Serikat sendiri.

Sementara itu, Donald Trump juga mengkritik Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, atas cara kepemimpinannya dalam menghadapi perang dengan Rusia.

“Saya menyayangi Ukraina, tetapi Zelenskyy telah melakukan pekerjaan yang buruk. Negaranya hancur, dan jutaan orang meninggal sia-sia. Anda tidak bisa mengakhiri perang tanpa berbicara dengan kedua belah pihak. Selama tiga tahun ini, mereka bahkan tidak mencoba untuk berbicara,” ujar Trump.

Trump juga menekankan pentingnya segera mencapai gencatan senjata demi mengembalikan stabilitas di Eropa dan Timur Tengah. Pernyataan ini ia sampaikan dalam sebuah pertemuan puncak investasi asing yang digelar di Miami.

Dua Tentara Korea Utara Ditangkap di Ukraina, Mengira Dikirim untuk Latihan Militer

Pada Sabtu (11/1), Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengungkapkan bahwa dua tentara Korea Utara yang terluka berhasil ditangkap oleh pasukan militer Ukraina di wilayah Kursk, Rusia. Penyelidikan terhadap keduanya sedang berlangsung, dengan Dinas Keamanan Ukraina (SBU) memimpin pemeriksaan. Salah satu tentara yang ditangkap mengaku mengira dirinya dikirim ke Ukraina untuk menjalani latihan militer, bukan untuk berperang.

Pemeriksaan terhadap kedua tentara tersebut dilakukan dengan bantuan Dinas Intelijen Nasional (NIS) Korea Selatan yang menyediakan penerjemah Bahasa Korea, karena kedua tentara tersebut tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Ukraina, Rusia, atau Inggris. Salah satu dari mereka ditemukan memegang kartu identitas militer Rusia yang terdaftar atas nama orang lain, yang ia terima setelah ikut serta dalam latihan militer bersama Rusia pada musim gugur lalu.

Salah satu tentara yang ditangkap, yang dilaporkan lahir pada 2005, mengklaim telah bertugas di militer Korea Utara sejak 2021. Sedangkan tentara lainnya, yang lahir pada 1999, adalah seorang penembak jitu pengintai yang sudah bertugas sejak 2016. Kedua tentara ini ditemukan dalam kondisi terluka, dengan beberapa bagian tubuh mereka diperban, dan segera mendapat pertolongan medis setelah penangkapan. SBU memastikan bahwa penahanan mereka dilakukan sesuai dengan hukum internasional.

Dinas intelijen Korea Selatan kemudian mengonfirmasi penangkapan tersebut dan menambahkan bahwa salah satu tentara yang ditangkap mengungkapkan bahwa banyak tentara Korea Utara yang menjadi korban dalam konflik di Ukraina. Berdasarkan laporan sebelumnya, diperkirakan Korea Utara telah mengirim sekitar 11.000 tentara untuk mendukung Rusia dalam perangnya melawan Ukraina, dengan sejumlah besar tentara dilaporkan tewas dan terluka di medan perang.

Olaf Scholz: Jangan Biarkan Ukraina Berjuang Sendiri Melawan Rusia!

Kanselir Jerman Olaf Scholz kembali menegaskan pentingnya mendukung Ukraina di tengah invasi Rusia yang terus berlangsung. Dalam wawancaranya pada Jumat, Scholz menyatakan bahwa dunia tidak boleh meninggalkan Ukraina dalam perjuangannya mempertahankan kedaulatan.

“Rusia telah memulai perang agresi yang brutal dan tanpa ampun terhadap Ukraina, menewaskan dan melukai ratusan ribu orang. Kita harus melakukan segala upaya untuk memastikan Ukraina tetap menjadi negara berdaulat,” ujar Scholz dalam wawancara dengan T-Online.

Scholz menekankan bahwa Jerman mendukung Ukraina secara maksimal, namun dengan tetap berhati-hati agar tidak memicu eskalasi yang dapat memicu konflik antara Rusia dan NATO. Scholz juga menegaskan keputusannya untuk tidak mengirimkan rudal jelajah Taurus ke Ukraina guna menjaga stabilitas kawasan.

Dukungan Militer dan Tantangan Politik
Scholz menyerukan kepada sekutu Barat untuk meningkatkan dukungan militer kepada Ukraina. Ia menekankan bahwa prioritas saat ini adalah memastikan Ukraina tidak ditinggalkan dan terus menerima bantuan persenjataan. Scholz menilai ini adalah waktu yang tepat untuk menciptakan landasan bagi perdamaian yang adil dan berkelanjutan, mengingat Presiden Rusia Vladimir Putin gagal mencapai tujuan perangnya.

Sebagai bentuk dukungan, Jerman baru-baru ini mengumumkan paket bantuan militer besar yang mencakup 15 tank Leopard 1 A5, dua tank antipesawat Gepard, satu howitzer bergerak sendiri, dua sistem antipesawat Iris-T, serta dua peluncur rudal Patriot. Langkah ini memperkuat posisi Jerman sebagai pendukung terbesar kedua Ukraina setelah Amerika Serikat.

Krisis Politik di Dalam Negeri
Scholz menghadapi tantangan politik setelah kalah dalam mosi tidak percaya pada 16 Desember 2024. Ia kini memimpin pemerintahan minoritas setelah koalisi tiga partai yang dipimpinnya runtuh akibat konflik internal. Pemilu Jerman yang dijadwalkan pada 23 Februari 2025 akan membahas sejumlah isu utama, termasuk imigrasi, ekonomi, dan dukungan terhadap Ukraina.

Sementara itu, kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat telah menimbulkan tanda tanya tentang kelanjutan bantuan militer dan keuangan untuk Ukraina. Trump, yang mengklaim mampu mengakhiri perang dengan cepat, mempertanyakan komitmen Amerika dalam mendukung Ukraina.

Di tengah dinamika ini, Scholz menegaskan pentingnya solidaritas internasional untuk memastikan Ukraina tidak ditinggalkan dan tetap mampu melawan agresi Rusia.