Bangkit dari Reruntuhan: Warga Gaza Mulai Membangun Kehidupan Pasca-Gencatan Senjata

Setelah gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang mulai berlaku pada 19 Januari, warga Palestina di Jalur Gaza menghadapi tantangan berat dalam proses pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan mereka. Meskipun penghentian pertempuran memberikan sedikit kelegaan, dampak yang ditinggalkan oleh konflik berbulan-bulan itu sangat menghancurkan. Infrastruktur yang rusak parah di Gaza—termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, dan jalan—menciptakan tantangan besar bagi masyarakat yang mencoba untuk memulai kembali kehidupan mereka.

Pembangunan kembali menjadi sangat rumit karena adanya kekurangan sumber daya yang diperlukan, serta tingginya jumlah pengungsi yang tinggal di kamp-kamp darurat yang penuh sesak. Ratusan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi setelah kehilangan rumah mereka, dan banyak yang harus bertahan hidup di tenda-tenda sementara. Kehidupan di kamp-kamp tersebut sangat sulit, dengan keterbatasan dalam akses terhadap pangan, air bersih, dan perawatan medis.

Pemerintah Palestina, bersama dengan organisasi internasional, berusaha memberikan bantuan, tetapi tantangan logistik dan ketidakstabilan situasi di lapangan membuat upaya tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Masyarakat Gaza juga menghadapi masalah tambahan terkait infrastruktur yang rusak parah, sehingga akses terhadap listrik dan layanan dasar lainnya semakin terbatas.

Pemerintah dan lembaga bantuan internasional berusaha keras untuk memastikan bantuan sampai ke tangan yang membutuhkan, namun hambatan keamanan dan logistik menjadi tantangan besar. Warga Gaza menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, dan pemulihan ekonomi serta sosial diperkirakan akan memakan waktu yang sangat lama. Meskipun ada harapan, langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kondisi kehidupan dan membangun kembali Gaza masih jauh dari kenyataan.

Serangan Israel di Gaza: Warga yang Kembali ke Rumah Diserang, 10 Jenazah Ditemukan

Pada Selasa pagi, tank-tank militer Israel kembali melepaskan tembakan kepada warga Gaza yang berusaha kembali ke rumah mereka di lingkungan Zeitoun, yang terletak di selatan Kota Gaza. Berdasarkan laporan dari Kantor Berita Palestina WAFA, pasukan pendudukan menembaki warga saat mereka mencoba pulang ke rumah mereka di sekitar Sekolah Khalil al-Nubani.

Selain itu, pasukan Israel juga melakukan tembakan di sekitar perbatasan timur laut Kota Khan Yunis, yang terletak di Jalur Gaza selatan. Serangan ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan yang semakin genting di Gaza.

Di sisi lain, Bulan Sabit Merah Palestina melaporkan bahwa pada Senin (27/1), mereka berhasil mengevakuasi 10 jenazah yang sudah membusuk dari berbagai lokasi di sepanjang Jalan Rashid di Gaza. Pada hari yang sama, sejumlah pengungsi mulai kembali ke wilayah utara Gaza dengan berjalan kaki setelah menghabiskan dua malam di luar di Jalan Rashid dan Jalan Salah al-Din. Mereka berharap pasukan Israel akan mengizinkan mereka kembali ke rumah setelah dipaksa untuk mengungsi ke wilayah selatan.

Akibat agresi Israel sejak 7 Oktober 2023 hingga 19 Januari 2025, lebih dari 158.000 warga Gaza tewas atau terluka, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. Lebih dari 14.000 orang masih dilaporkan hilang, sementara 85 persen penduduk Gaza, yang berjumlah lebih dari 1,93 juta, terpaksa meninggalkan rumah mereka yang hancur. Sekitar 100.000 orang juga telah melarikan diri dari Gaza sejak awal agresi. Saat ini, hampir 1,6 juta orang Gaza tinggal di tempat pengungsian yang tidak memadai, sementara infrastruktur dan properti warga hancur parah.

Pemimpin Baru Suriah Optimis 14 Juta Pengungsi Akan Kembali dalam Dua Tahun Pasca Jatuhnya Rezim Assad

Ahmed al-Sharaa, pemimpin pemerintahan baru Suriah, menyampaikan optimisme tinggi mengenai kembalinya 14 juta warga Suriah yang mengungsi setelah jatuhnya rezim Bashar Assad. Dalam sebuah wawancara dengan pembuat film dokumenter Joe HaTTab yang disiarkan pada Minggu (12/1), al-Sharaa menyatakan bahwa ia yakin sebagian besar pengungsi akan kembali dalam dua tahun ke depan, dengan hanya sekitar satu hingga 1,5 juta yang kemungkinan tetap tinggal di luar negeri.

Mengkritik keras rezim Baath yang digulingkan, al-Sharaa menggambarkan bagaimana institusi negara telah disalahgunakan untuk menekan rakyat melalui penyiksaan dan kekerasan. Dia menegaskan komitmen pemerintahannya untuk membawa Suriah ke arah rekonstruksi melalui keadilan sebagai landasan dasar pembangunan negara.

Al-Sharaa juga menekankan pentingnya perencanaan yang terstruktur untuk memperkuat negara. Ia percaya bahwa melalui perencanaan yang matang dan pendidikan publik yang konsisten, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Suriah dapat diatasi, meskipun memerlukan waktu.

Dalam wawancara tersebut, al-Sharaa menyatakan bahwa revolusi telah berhasil mengangkat martabat rakyat Suriah, dan saat ini mereka melihat masa depan dengan harapan. Ia menegaskan pentingnya membangun keharmonisan di antara semua lapisan masyarakat, yang kini memiliki konsensus sosial yang kuat.

Setelah jatuhnya rezim, pemerintahan baru Suriah berfokus pada rekonsiliasi, dengan kebijakan amnesti bagi mereka yang beralih kesetiaan setelah perubahan rezim. Namun, ia menegaskan bahwa individu yang terlibat dalam kejahatan perang, seperti penyiksaan dan pembantaian, tidak akan mendapat pengampunan.

Kekuasaan al-Sharaa menjadi simbol dari perubahan besar di Suriah setelah hampir 25 tahun rezim Assad, yang berakhir setelah kelompok anti-rezim berhasil menguasai Damaskus pada Desember 2024. Pemerintahan baru yang kini berada di bawah kendali al-Sharaa diharapkan dapat membawa Suriah ke arah yang lebih stabil dan damai setelah bertahun-tahun konflik.