Perundingan di Arab Saudi Tuntas, AS Lanjutkan Dukungan untuk Ukraina

Amerika Serikat (AS) akhirnya kembali mengaktifkan sepenuhnya kerja sama intelijen dengan Ukraina, setelah sebelumnya sempat ditangguhkan. Selain itu, Washington juga melanjutkan pengiriman bantuan militer kepada Kyiv, yang sebelumnya dihentikan sementara sebagai bagian dari upaya mendorong perundingan damai.

Keputusan ini diungkapkan oleh seorang pejabat senior Ukraina dalam wawancara dengan Reuters, serta dikonfirmasi oleh seorang pejabat kepresidenan Ukraina. Namun, keduanya enggan disebutkan namanya.

Zelensky Setuju dengan Usulan Gencatan Senjata 30 Hari

Langkah AS ini diambil setelah Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menyetujui proposal AS untuk gencatan senjata selama 30 hari di Ukraina. Zelensky juga meminta Washington menekan Rusia agar menerima usulan tersebut demi membuka jalan bagi pembicaraan damai.

Perundingan membahas usulan ini dilakukan di Arab Saudi pada Selasa (11/3/2025) dan berlangsung selama delapan jam.

Menurut laporan Associated Press, pertemuan tersebut dihadiri oleh Penasihat Keamanan Nasional AS, Mike Waltz, yang menyatakan bahwa diskusi berjalan substantif. Para negosiator membahas langkah konkret untuk mengakhiri perang secara permanen, termasuk jaminan keamanan jangka panjang bagi Ukraina.

Trump Cabut Penangguhan Bantuan Militer

Dalam pertemuan itu, Presiden AS Donald Trump setuju untuk mencabut penangguhan miliaran dolar bantuan militer serta melanjutkan berbagi informasi intelijen dengan Ukraina.

“Delegasi Ukraina menyampaikan secara jelas bahwa mereka memiliki visi yang sama dengan Presiden Trump dalam mencapai perdamaian,” ujar Waltz.

Dalam pernyataan bersama yang dirilis setelah pertemuan, AS dan Ukraina sepakat bahwa sudah waktunya memulai proses menuju perdamaian yang berkelanjutan.

“Delegasi Ukraina kembali menyampaikan rasa terima kasih rakyatnya kepada Presiden Trump, Kongres AS, dan masyarakat Amerika atas dukungan mereka yang memungkinkan kemajuan nyata menuju perdamaian,” bunyi pernyataan itu.

Gencatan Senjata Bersyarat dan Peran Rusia

Sebagai bagian dari kesepakatan, Ukraina menyatakan kesediaannya menerima gencatan senjata sementara selama 30 hari, yang dapat diperpanjang jika kedua belah pihak menyetujuinya. Namun, perpanjangan ini bergantung pada komitmen Rusia untuk menerima dan menjalankan gencatan senjata secara bersamaan.

AS akan mengkomunikasikan hal ini kepada Rusia, menegaskan bahwa keterlibatan Moskow sangat penting dalam mencapai perdamaian yang nyata.

Selain itu, Washington berkomitmen untuk membahas perdamaian jangka panjang yang menjamin keamanan Ukraina, dengan melibatkan perwakilan dari Rusia serta mitra-mitra Eropa dalam prosesnya.

Kerja Sama Ekonomi Ukraina-AS

Di luar isu militer, AS dan Ukraina juga sepakat untuk mempercepat negosiasi mengenai pengembangan sumber daya mineral penting di Ukraina. Kesepakatan ini bertujuan untuk memperkuat ekonomi Ukraina, sekaligus menjamin keamanan dan stabilitas jangka panjang bagi negara tersebut.

Dengan langkah ini, perundingan di Arab Saudi menandai titik balik dalam hubungan AS-Ukraina. Kini, perhatian dunia tertuju pada respon Rusia terhadap usulan gencatan senjata serta bagaimana dinamika geopolitik di kawasan akan berkembang ke depannya.

Rusia Sambut Perubahan Kebijakan Luar Negeri AS di Bawah Kepemimpinan Trump

Kremlin menyatakan bahwa kebijakan luar negeri pemerintahan AS yang baru di bawah Presiden Donald Trump sebagian besar sejalan dengan visi Rusia. Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, dalam sebuah wawancara dengan saluran televisi pemerintah Rossiya-1 yang direkam pada Rabu dan dikutip oleh jurnalis Pavel Zarubin melalui Telegram. Peskov menyoroti bahwa perubahan cepat dalam kebijakan luar negeri AS mencerminkan pendekatan yang lebih selaras dengan Rusia.

Salah satu indikasi utama dari perubahan ini adalah hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB pada 24 Februari lalu terkait resolusi perdamaian di Ukraina, di mana baik Rusia maupun AS sama-sama memberikan suara menentang. Peskov menilai bahwa keputusan tersebut merupakan sesuatu yang sebelumnya sulit dibayangkan.

Mengenai prospek pemulihan hubungan antara Rusia dan AS, Peskov mengakui bahwa terdapat tantangan besar akibat kerusakan hubungan yang terjadi selama pemerintahan AS sebelumnya. Meskipun demikian, ia optimistis bahwa hubungan bilateral dapat dipulihkan dengan cepat jika ada kemauan politik dari kedua pemimpin, yakni Presiden Vladimir Putin dan Presiden Donald Trump.

Peskov juga menekankan bahwa meskipun ada banyak potensi kerja sama antara Moskow dan Washington, masyarakat tidak seharusnya mengharapkan hasil yang instan. Selain itu, Peskov mengomentari situasi dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang hingga saat ini belum mengambil langkah nyata untuk berkomunikasi dengan Putin. Pernyataannya merujuk pada wawancara Macron dengan media Prancis, di mana ia menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk berdialog dengan Rusia di masa mendatang.

JD Vance: Ukraina Sulit Menang, Trump Klaim Perang Bisa Dihindari

Wakil Presiden Amerika Serikat, JD Vance, menyatakan bahwa Ukraina tidak memiliki peluang untuk menang dalam konfliknya dengan Rusia, seperti yang telah terlihat sejak perang dimulai tiga tahun lalu. Menurutnya, situasi ini tidak akan terjadi jika Donald Trump masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada saat itu.

“Selama tiga tahun, Presiden Trump dan saya telah menyampaikan dua pandangan utama: pertama, perang ini tidak akan pecah jika Presiden Trump masih memimpin; kedua, baik Eropa, pemerintahan Biden, maupun Ukraina tidak memiliki jalan yang jelas menuju kemenangan,” tulis Vance melalui akun media sosial X pada Kamis.

Vance menekankan bahwa Washington sebenarnya memiliki pengaruh besar terhadap kedua pihak dalam konflik ini. Namun, ia menilai bahwa kebijakan pemerintahan Biden yang membiarkan perang terus berlanjut hanya akan berdampak negatif bagi semua pihak, termasuk Eropa dan Amerika Serikat sendiri.

Sementara itu, Donald Trump juga mengkritik Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, atas cara kepemimpinannya dalam menghadapi perang dengan Rusia.

“Saya menyayangi Ukraina, tetapi Zelenskyy telah melakukan pekerjaan yang buruk. Negaranya hancur, dan jutaan orang meninggal sia-sia. Anda tidak bisa mengakhiri perang tanpa berbicara dengan kedua belah pihak. Selama tiga tahun ini, mereka bahkan tidak mencoba untuk berbicara,” ujar Trump.

Trump juga menekankan pentingnya segera mencapai gencatan senjata demi mengembalikan stabilitas di Eropa dan Timur Tengah. Pernyataan ini ia sampaikan dalam sebuah pertemuan puncak investasi asing yang digelar di Miami.

Chernobyl Diserang? Rusia Sangkal & Tuding Ukraina Bermain Kotor

Pemerintah Rusia membantah tuduhan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang menyebut serangan drone Moskow telah menyebabkan kerusakan pada struktur pelindung di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Chernobyl. Rusia menilai pernyataan tersebut sebagai provokasi yang disengaja dari Kyiv.

“Insiden di confinement shelter PLTN Chernobyl jelas merupakan kelanjutan dari tindakan sembrono dan kriminal yang dilakukan oleh rezim Kyiv, yang sepenuhnya menyadari konsekuensi dari tindakannya,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, dalam pernyataan resmi yang dirilis Kedutaan Besar Rusia di Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Klaim Ukraina dan Rekaman CCTV

Pekan lalu, Zelensky menuding bahwa sebuah drone tempur Rusia dengan hulu ledak berkekuatan tinggi telah menghantam struktur pelindung beton dan baja di reaktor nomor 4 PLTN Chernobyl. Struktur tersebut dirancang untuk membatasi paparan radiasi dari bencana nuklir yang terjadi pada 1986.

“Kami telah berulang kali memperingatkan tentang kemungkinan provokasi dari Kyiv, dan sayangnya, kekhawatiran kami kembali terbukti,” tegas Zakharova.

Ia juga menambahkan bahwa serangkaian insiden seperti ini semakin menunjukkan bahwa teknologi nuklir yang berada dalam kendali pemerintahan Zelensky dapat menjadi ancaman besar bagi perdamaian dan keamanan internasional.

Zelensky sebelumnya mengunggah rekaman CCTV yang memperlihatkan ledakan terjadi di bagian samping struktur pelindung reaktor Chernobyl. Video yang tercatat pada Jumat (14/2) dini hari, sekitar pukul 02.00 waktu setempat, juga menunjukkan kobaran api kecil serta kerusakan berupa lubang di bagian atap. Dalam rekaman tersebut, terlihat pula petugas pemadam kebakaran yang berusaha mengendalikan api di lokasi kejadian.

Respon IAEA dan Situasi di PLTN Chernobyl

Meskipun mengalami kerusakan, Zelensky menegaskan bahwa tingkat radiasi di sekitar PLTN Chernobyl tetap stabil dan tidak mengalami peningkatan akibat serangan tersebut.

Sementara itu, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) juga mengonfirmasi adanya ledakan di sekitar lokasi, tetapi memastikan bahwa level radiasi di dalam maupun di luar area PLTN tetap berada dalam batas normal.

Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, IAEA telah menempatkan tim pemantau di Chernobyl untuk mengawasi kondisi keamanan fasilitas nuklir tersebut. Lembaga ini berkali-kali mengingatkan bahwa pertempuran di sekitar PLTN bisa memicu risiko besar, tidak hanya bagi Ukraina, tetapi juga bagi kawasan sekitarnya.

Hingga kini, ketegangan antara Rusia dan Ukraina terkait keamanan fasilitas nuklir masih menjadi perhatian dunia internasional. Moskow dan Kyiv terus saling tuduh terkait insiden terbaru ini, sementara IAEA berupaya memastikan bahwa keselamatan nuklir tetap menjadi prioritas utama di tengah konflik yang belum mereda.

Dua Tentara Korea Utara Ditangkap di Ukraina, Mengira Dikirim untuk Latihan Militer

Pada Sabtu (11/1), Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengungkapkan bahwa dua tentara Korea Utara yang terluka berhasil ditangkap oleh pasukan militer Ukraina di wilayah Kursk, Rusia. Penyelidikan terhadap keduanya sedang berlangsung, dengan Dinas Keamanan Ukraina (SBU) memimpin pemeriksaan. Salah satu tentara yang ditangkap mengaku mengira dirinya dikirim ke Ukraina untuk menjalani latihan militer, bukan untuk berperang.

Pemeriksaan terhadap kedua tentara tersebut dilakukan dengan bantuan Dinas Intelijen Nasional (NIS) Korea Selatan yang menyediakan penerjemah Bahasa Korea, karena kedua tentara tersebut tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Ukraina, Rusia, atau Inggris. Salah satu dari mereka ditemukan memegang kartu identitas militer Rusia yang terdaftar atas nama orang lain, yang ia terima setelah ikut serta dalam latihan militer bersama Rusia pada musim gugur lalu.

Salah satu tentara yang ditangkap, yang dilaporkan lahir pada 2005, mengklaim telah bertugas di militer Korea Utara sejak 2021. Sedangkan tentara lainnya, yang lahir pada 1999, adalah seorang penembak jitu pengintai yang sudah bertugas sejak 2016. Kedua tentara ini ditemukan dalam kondisi terluka, dengan beberapa bagian tubuh mereka diperban, dan segera mendapat pertolongan medis setelah penangkapan. SBU memastikan bahwa penahanan mereka dilakukan sesuai dengan hukum internasional.

Dinas intelijen Korea Selatan kemudian mengonfirmasi penangkapan tersebut dan menambahkan bahwa salah satu tentara yang ditangkap mengungkapkan bahwa banyak tentara Korea Utara yang menjadi korban dalam konflik di Ukraina. Berdasarkan laporan sebelumnya, diperkirakan Korea Utara telah mengirim sekitar 11.000 tentara untuk mendukung Rusia dalam perangnya melawan Ukraina, dengan sejumlah besar tentara dilaporkan tewas dan terluka di medan perang.

Olaf Scholz: Jangan Biarkan Ukraina Berjuang Sendiri Melawan Rusia!

Kanselir Jerman Olaf Scholz kembali menegaskan pentingnya mendukung Ukraina di tengah invasi Rusia yang terus berlangsung. Dalam wawancaranya pada Jumat, Scholz menyatakan bahwa dunia tidak boleh meninggalkan Ukraina dalam perjuangannya mempertahankan kedaulatan.

“Rusia telah memulai perang agresi yang brutal dan tanpa ampun terhadap Ukraina, menewaskan dan melukai ratusan ribu orang. Kita harus melakukan segala upaya untuk memastikan Ukraina tetap menjadi negara berdaulat,” ujar Scholz dalam wawancara dengan T-Online.

Scholz menekankan bahwa Jerman mendukung Ukraina secara maksimal, namun dengan tetap berhati-hati agar tidak memicu eskalasi yang dapat memicu konflik antara Rusia dan NATO. Scholz juga menegaskan keputusannya untuk tidak mengirimkan rudal jelajah Taurus ke Ukraina guna menjaga stabilitas kawasan.

Dukungan Militer dan Tantangan Politik
Scholz menyerukan kepada sekutu Barat untuk meningkatkan dukungan militer kepada Ukraina. Ia menekankan bahwa prioritas saat ini adalah memastikan Ukraina tidak ditinggalkan dan terus menerima bantuan persenjataan. Scholz menilai ini adalah waktu yang tepat untuk menciptakan landasan bagi perdamaian yang adil dan berkelanjutan, mengingat Presiden Rusia Vladimir Putin gagal mencapai tujuan perangnya.

Sebagai bentuk dukungan, Jerman baru-baru ini mengumumkan paket bantuan militer besar yang mencakup 15 tank Leopard 1 A5, dua tank antipesawat Gepard, satu howitzer bergerak sendiri, dua sistem antipesawat Iris-T, serta dua peluncur rudal Patriot. Langkah ini memperkuat posisi Jerman sebagai pendukung terbesar kedua Ukraina setelah Amerika Serikat.

Krisis Politik di Dalam Negeri
Scholz menghadapi tantangan politik setelah kalah dalam mosi tidak percaya pada 16 Desember 2024. Ia kini memimpin pemerintahan minoritas setelah koalisi tiga partai yang dipimpinnya runtuh akibat konflik internal. Pemilu Jerman yang dijadwalkan pada 23 Februari 2025 akan membahas sejumlah isu utama, termasuk imigrasi, ekonomi, dan dukungan terhadap Ukraina.

Sementara itu, kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat telah menimbulkan tanda tanya tentang kelanjutan bantuan militer dan keuangan untuk Ukraina. Trump, yang mengklaim mampu mengakhiri perang dengan cepat, mempertanyakan komitmen Amerika dalam mendukung Ukraina.

Di tengah dinamika ini, Scholz menegaskan pentingnya solidaritas internasional untuk memastikan Ukraina tidak ditinggalkan dan tetap mampu melawan agresi Rusia.