Raja Yordania Desak Dunia Segera Bertindak untuk Akhiri Krisis Kemanusiaan Gaza

Raja Abdullah II dari Yordania mendesak komunitas internasional untuk segera mengambil langkah nyata menghentikan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz di Berlin, usai pembicaraan resmi mereka. Ia menekankan bahwa serangan militer Israel harus segera dihentikan, gencatan senjata perlu diberlakukan kembali, dan bantuan kemanusiaan mesti terus disalurkan kepada warga Gaza yang menderita.

Abdullah II juga menyoroti kondisi kritis di Tepi Barat, di mana puluhan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah dan desa mereka. Ia memperingatkan bahwa terus berlangsungnya kekerasan dan pengusiran ini bisa memperburuk instabilitas di kawasan. Ia menegaskan, Yordania berkomitmen memberikan bantuan semaksimal mungkin untuk meringankan penderitaan warga Gaza, dan mengapresiasi dukungan kemanusiaan dari pemerintah Jerman.

Sang Raja juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pelanggaran terhadap situs suci umat Islam dan Kristen di Yerusalem, yang menurutnya dapat memicu ketegangan baru dan menghambat peluang perdamaian. Menurutnya, satu-satunya solusi yang masuk akal adalah solusi politik dua negara yang bisa menjamin keamanan dan kedamaian bagi Palestina, Israel, serta kawasan secara luas.

Ia juga menekankan pentingnya stabilitas Suriah, termasuk dukungan terhadap pengungsi yang ingin kembali membangun negaranya. Abdullah II menutup dengan harapan agar semua pihak mendukung rencana rekonstruksi Gaza. Sementara itu, Kanselir Scholz menyatakan bahwa Jerman dan Yordania telah menjalin kemitraan erat selama lebih dari tujuh dekade, dan menegaskan pentingnya segera memulihkan gencatan senjata serta mempercepat pengiriman bantuan bagi korban konflik.

Tegas dan Kontroversial: Trump Ancam Hamas dengan Peringatan Keras

Kantor Informasi Pemerintah di Gaza merespons pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengancam Hamas, dengan menegaskan bahwa akar permasalahan sebenarnya adalah pendudukan Israel atas Palestina, bukan kelompok perlawanan di Gaza. Selame Maruf, dalam pernyataannya di platform X, menyatakan bahwa rakyat Palestina dan kelompok perlawanan tidak pernah menjadi masalah utama, melainkan pendudukan Israel yang terus berlangsung.

Maruf juga mengecam pernyataan Trump yang dianggapnya memberikan dukungan mutlak kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Ia menuduh Trump memberi wewenang kepada Netanyahu untuk terus melakukan kekerasan terhadap 2,4 juta warga Palestina. Menurutnya, situasi yang terjadi di Tepi Barat dan Yerusalem merupakan bukti nyata dari kebijakan yang didukung oleh mantan presiden AS tersebut.

Sebelumnya, Trump mengeluarkan ultimatum keras kepada Hamas, menuntut pembebasan semua sandera yang ditahan di Gaza. Melalui unggahan di Truth Social, ia memperingatkan bahwa Hamas akan menghadapi konsekuensi besar jika tidak segera memenuhi tuntutannya. Ia juga berjanji akan memberikan dukungan penuh kepada Israel, memastikan bahwa negara tersebut memiliki segala yang dibutuhkan untuk menyelesaikan misinya.

Trump bahkan mengancam para pemimpin Hamas agar segera meninggalkan Gaza sebelum terlambat, menyebut peringatannya sebagai kesempatan terakhir bagi mereka. Ia juga mengaitkan masa depan rakyat Gaza dengan nasib para sandera, memperingatkan bahwa tidak akan ada masa depan cerah bagi mereka jika sandera tetap ditahan. Trump menutup pernyataannya dengan pesan keras, menegaskan bahwa jika tuntutannya tidak dipenuhi, akan ada konsekuensi berat yang menanti Hamas.

Gelombang Ketujuh Pertukaran Tahanan: Israel Bebaskan Puluhan Warga Palestina

Israel membebaskan puluhan warga Palestina dari Penjara Ofer pada Kamis pagi waktu setempat. Bus yang mengangkut para tahanan tiba di kota Beitunia, sebelah barat Ramallah, dan melanjutkan perjalanan menuju Istana Kebudayaan di Ramallah, di mana keluarga mereka telah menunggu dengan penuh harapan. Proses pembebasan ini berlangsung di bawah pengawalan ketat dari tim Palang Merah Internasional untuk memastikan keamanan para tahanan yang dibebaskan.

Menurut laporan Kantor Informasi Tahanan Hamas, dari total 620 tahanan yang dijadwalkan akan dibebaskan, sebanyak 43 orang di antaranya akan kembali ke wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem. Pembebasan ini merupakan bagian dari gelombang ketujuh dalam kesepakatan pertukaran tahanan yang sebelumnya tertunda antara Hamas dan Israel. Kesepakatan ini diharapkan dapat mengurangi ketegangan yang terus meningkat di wilayah konflik, meskipun situasi di lapangan masih jauh dari stabil.

Sementara itu, seorang sumber keamanan Israel mengungkapkan bahwa pada Rabu malam, kendaraan Palang Merah Internasional telah bergerak menuju titik penjemputan guna menerima jenazah empat sandera Israel dari Jalur Gaza. Informasi ini dikonfirmasi oleh otoritas penyiaran publik Israel, KAN, yang mengutip sumber anonim tanpa memberikan rincian lebih lanjut mengenai proses pemulangan jenazah tersebut.

Pertukaran tahanan ini menjadi bagian dari langkah diplomasi yang telah lama diupayakan oleh berbagai pihak untuk meredakan ketegangan di kawasan tersebut. Meskipun demikian, konflik antara Israel dan Palestina masih jauh dari kata usai, dengan perundingan yang terus berlanjut guna mencapai solusi yang lebih permanen.

Palestina Desak Amerika Serikat Tinjau Serangan di Tepi Barat di Tengah Gencatan Senjata Israel-Hamas

Palestina menyerukan pemerintahan baru Amerika Serikat untuk meninjau situasi keamanan di Tepi Barat setelah serangan yang dilakukan pemukim Israel terhadap sejumlah desa Palestina. Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara kepresidenan Palestina, Nabil Abu Rudeineh, pada Selasa (21/1), seperti dilaporkan oleh kantor berita Palestina WAFA.

Menurut laporan tersebut, serangan terbaru menargetkan desa al-Funduq, Jinsafut, dan Amatin. Abu Rudeineh menegaskan bahwa tindakan tersebut mengancam perdamaian dan keamanan di kawasan. Ia juga meminta Amerika Serikat untuk segera menghentikan kebijakan Israel yang dianggap memperburuk situasi. Palestina menekankan bahwa solusi atas konflik ini hanya dapat dicapai melalui implementasi resolusi internasional dan Inisiatif Perdamaian Arab, termasuk pembentukan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Pada Desember 2024, pemukim Israel juga menyerang desa Marda di Tepi Barat, bahkan membakar sebuah masjid setempat. Insiden ini terjadi di tengah gencatan senjata antara Israel dan Hamas, yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat. Gencatan senjata yang dimulai pada 15 Januari 2025 ini bertujuan menghentikan konflik 15 bulan yang telah menewaskan lebih dari 47.000 warga Palestina dan 1.500 warga Israel.

Tahap awal perjanjian mencakup pertukaran tahanan parsial, penarikan pasukan Israel dari perbatasan Gaza, dan pengiriman bantuan kemanusiaan. Selanjutnya, Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat akan mendirikan pusat koordinasi di Kairo untuk menjamin pelaksanaan perjanjian tersebut.