Netanyahu Menolak Bantuan Kemanusiaan Masuk Gaza Meski Ada Gencatan Senjata

Benjamin Netanyahu, Pemimpin Israel, menolak memberikan izin untuk memasukkan bantuan berupa rumah mobil dan alat berat ke Jalur Gaza meskipun telah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Laporan media pada Minggu, yang dikutip dari penyiaran publik KAN, mengungkapkan bahwa Netanyahu menahan izin bagi alat berat untuk membersihkan reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan militer Israel di Gaza. Keputusan ini menambah ketegangan dalam situasi kemanusiaan yang semakin memprihatinkan di wilayah tersebut.

Sebelumnya, Palestina menuding Israel telah melanggar protokol kemanusiaan yang disepakati dalam gencatan senjata. Israel dianggap menahan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, seperti tenda, rumah mobil, dan alat berat untuk membersihkan reruntuhan yang mengancam keselamatan warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal akibat agresi militer Israel.

Gaza saat ini berada dalam kondisi yang sangat hancur setelah serangan Israel, yang menyebabkan ribuan warga Palestina kehilangan rumah mereka. Pada Sabtu lalu, kelompok perlawanan Palestina, Hamas, melepaskan tiga sandera Israel setelah memperoleh jaminan dari mediator bahwa bantuan kemanusiaan, termasuk rumah mobil dan alat berat, akan diizinkan masuk ke Gaza.

Selama tahap pertama gencatan senjata yang dimediasi, sebanyak 19 warga Israel dan lima pekerja Thailand yang disandera oleh Hamas dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan tersebut. Sebagai imbalannya, Israel juga melepaskan 1.135 warga Palestina yang ditahan di penjara Israel. Konflik yang berlangsung telah memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, dan keputusan Netanyahu semakin mempersulit upaya bantuan bagi para korban.

Pembebasan Lima Sandera Thailand di Gaza: Terima Kasih Kepada Mediator dan Dukungan Internasional

Pada hari Kamis, pemerintah Thailand mengonfirmasi pembebasan lima warganya yang telah disandera sejak Oktober 2023 di Gaza. Kementerian Luar Negeri Thailand mengungkapkan rasa terima kasih mendalam kepada para mediator yang telah berperan penting dalam membebaskan sandera-sandera tersebut, dengan menyatakan apresiasi atas upaya mereka yang luar biasa. Konfirmasi pembebasan ini diterima melalui Kedutaan Besar Thailand di Tel Aviv.

Menurut kementerian, kelima sandera tersebut saat ini sedang dipindahkan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Pejabat dari Kedutaan Besar dan Kementerian Luar Negeri Thailand juga akan segera melakukan perjalanan untuk mendampingi mereka dan menghubungi keluarga mereka di Thailand. Operasi pembebasan ini dilaksanakan oleh Organisasi Intelijen Nasional Turki (MIT), yang bekerja atas instruksi langsung dari Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang terlibat aktif dalam upaya diplomatik untuk meredakan konflik di Gaza.

Pemerintah Thailand juga mengucapkan terima kasih kepada negara-negara seperti Qatar, Mesir, Iran, Turki, AS, dan negara-negara sahabat lainnya, serta kepada Komite Internasional Palang Merah yang telah memainkan peran kunci dalam pembebasan para sandera. Selain itu, Thailand menyampaikan apresiasi kepada Israel yang merawat para sandera dan memfasilitasi kembalinya mereka. Pemerintah Thailand juga menyerukan pembebasan segera sandera-sandera lainnya, termasuk seorang warga negara Thailand yang masih tertahan di Gaza.

Dalam perkembangan terpisah, Hamas juga membebaskan tiga sandera Israel dalam pertukaran ketiga yang dilakukan di bawah gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari. Gencatan senjata ini telah menghentikan kekerasan yang telah merenggut lebih dari 47.000 nyawa warga Palestina, sebagian besar di antaranya adalah wanita dan anak-anak, dan menyebabkan kehancuran besar di Gaza.

Judul: Israel Ultimatum Gaza: Jika Negosiasi Gagal, Perang Akan Berlanjut

Israel memberikan ultimatum kepada Hamas terkait kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Jumat (17/1) menyatakan bahwa jika negosiasi fase kedua gagal, Israel siap kembali melancarkan serangan militer di Gaza.

Kesepakatan tersebut mencakup negosiasi fase kedua yang dijadwalkan dimulai pada hari ke-16 dari fase pertama, yaitu Minggu (19/1), dengan durasi hingga 42 hari. Dalam tahap ini, pasukan Israel akan mundur dari wilayah permukiman di Gaza, sementara 33 sandera Israel akan dibebaskan sebagai imbalan sejumlah tahanan Palestina.

Kabinet keamanan Israel telah menyetujui kesepakatan ini pada Jumat, tetapi Netanyahu menegaskan bahwa dukungan dari Amerika Serikat telah diperoleh jika Hamas tidak memenuhi tuntutan keamanan Israel. Pernyataan Netanyahu ini juga bertujuan meredam ancaman Menteri Keuangan Bezalel Smotrich yang mengancam menarik dukungan dari pemerintah jika kesepakatan tersebut tidak disertai tindakan tegas terhadap Hamas.

Sementara itu, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir menyatakan bahwa partainya akan meninggalkan pemerintahan jika kabinet menyetujui kesepakatan tersebut.

Qatar, sebagai mediator, mengumumkan kesepakatan tiga fase pada Rabu sebelumnya untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih dari 15 bulan di Gaza. Konflik ini telah menewaskan lebih dari 46.000 orang dan meninggalkan Gaza dalam kehancuran.

Di sisi lain, Netanyahu menghadapi tekanan internasional, termasuk surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait operasi militernya di wilayah tersebut.