Hamas Tegaskan Tidak Akan Terlibat dalam Administrasi Gaza Pascaperang

Hamas menegaskan bahwa mereka tidak akan ikut serta dalam pengaturan administratif di Jalur Gaza setelah perang, dengan syarat bahwa pengaturan tersebut didasarkan pada kesepakatan nasional. Juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menekankan bahwa masa depan Gaza harus ditentukan melalui konsensus internal, bukan campur tangan pihak eksternal. Hamas, katanya, tidak memiliki kepentingan untuk terlibat dalam pemerintahan pascaperang dan akan mendukung setiap kesepakatan yang memungkinkan rekonstruksi Gaza secara serius.

Qassem juga menyoroti pentingnya rekonstruksi guna menyelamatkan rakyat Gaza dari kehancuran akibat perang berkepanjangan dengan Israel. Hamas, menurutnya, tidak akan menjadi hambatan bagi kesepakatan yang dicapai melalui konsensus nasional untuk membangun kembali wilayah tersebut. Sebelumnya, pada Desember, Hamas telah menerima usulan dari Mesir terkait pembentukan komite komunitas yang akan bertugas mengelola Gaza setelah perang berakhir.

Mesir sendiri akan menggelar KTT darurat negara-negara Arab untuk membahas sikap bersama mengenai Palestina serta menyusun respons terhadap rencana Amerika Serikat terkait pemindahan penduduk Gaza. Presiden AS, Donald Trump, sebelumnya telah mengusulkan agar Gaza diambil alih dan dijadikan destinasi wisata, sebuah gagasan yang mendapat kecaman luas dari dunia Arab dan komunitas internasional karena dinilai sebagai upaya pembersihan etnis.

Sejak Oktober 2023, konflik brutal di Gaza telah menewaskan hampir 48.400 warga Palestina, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, sementara lebih dari 111.000 orang mengalami luka-luka. Gempuran Israel sempat terhenti sementara melalui kesepakatan gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari, tetapi kembali berlanjut setelah Tel Aviv menolak negosiasi tahap kedua dengan Hamas. Israel juga menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret, semakin memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah tersebut.

Trump Ungkap Rencana Masa Depan Gaza, Sebut AS Akan Pimpin Rekonstruksi!

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait masa depan Jalur Gaza pasca konflik yang tengah berlangsung. Dalam unggahan di platform Truth Social pada Kamis, Trump mengklaim bahwa setelah pertempuran berakhir, Gaza akan diserahkan kepada AS oleh Israel. Namun, ia menegaskan bahwa “tidak akan ada tentara AS yang dikerahkan” dalam proses tersebut.

Trump menyebut bahwa rencana tersebut mencakup relokasi warga Palestina ke komunitas yang lebih aman dan modern di wilayah lain. Ia bahkan menyebut nama Chuck Schumer dalam konteks ini, dengan menekankan bahwa warga Palestina akan mendapatkan “rumah baru yang lebih baik,” serta kehidupan yang lebih stabil dan bebas dari ancaman.

Lebih lanjut, Trump mengusulkan skema pemindahan warga Palestina ke Mesir dan Yordania sebagai bagian dari rencana besarnya. Ia mengklaim bahwa AS, bersama dengan tim pembangunan global, akan memimpin proyek rekonstruksi besar-besaran di Gaza. Ia menggambarkan proyek tersebut sebagai “salah satu pembangunan terbesar dan paling spektakuler di dunia,” yang akan membawa perubahan signifikan bagi kawasan tersebut.

Trump juga memastikan bahwa tidak akan ada keterlibatan militer AS dalam rencana ini. Ia berpendapat bahwa pendekatan berbasis pembangunan ekonomi akan lebih efektif dalam menciptakan stabilitas jangka panjang dibandingkan dengan intervensi militer.

Meskipun demikian, pernyataan ini menuai beragam respons dari komunitas internasional, terutama di Timur Tengah. Banyak pihak mempertanyakan realisme dan kelayakan rencana Trump, mengingat kompleksitas politik dan sejarah konflik di Gaza. Kritikus juga menyoroti bahwa rencana relokasi warga Palestina bisa menjadi isu yang sensitif dan sulit diterima oleh negara-negara di kawasan.

Sementara itu, para pendukung Trump menganggap rencana tersebut sebagai solusi alternatif untuk mencapai perdamaian yang lebih stabil tanpa harus melibatkan kekuatan militer. Namun, tanpa adanya kejelasan lebih lanjut mengenai implementasi dan penerimaan pihak terkait, gagasan ini masih menjadi perdebatan di tingkat global.