Tragedi di Gaza: Lima Staf UNRWA Tewas dalam Serangan Udara Israel

Lima anggota staf badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) dilaporkan tewas akibat serangan udara Israel di Jalur Gaza. Insiden tragis ini dikonfirmasi langsung oleh Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, pada Kamis (20/3). Dengan tambahan korban ini, jumlah staf UNRWA yang tewas sejak konflik berlangsung telah mencapai 284 orang. Para korban terdiri dari tenaga pengajar, tenaga medis, serta perawat yang selama ini berdedikasi melayani masyarakat rentan di wilayah tersebut.

Lazzarini mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi yang semakin memburuk, terutama karena serangan darat Israel yang terus berlanjut. Situasi ini semakin mempersulit pergerakan warga Gaza, mengingat militer Israel juga telah menutup akses di Jalan Salah al-Din, yang sebelumnya ditetapkan sebagai jalur evakuasi aman bagi penduduk Gaza yang ingin berpindah dari utara ke selatan.

Selain serangan yang menewaskan banyak orang, perintah evakuasi yang diberlakukan oleh Israel semakin memperparah penderitaan masyarakat Palestina. Puluhan ribu warga dipaksa untuk terus berpindah, banyak di antaranya telah mengalami pengungsian berulang kali sejak awal konflik. Lazzarini menggambarkan situasi ini sebagai mimpi buruk yang tak berkesudahan bagi warga Gaza.

Dengan meningkatnya jumlah korban, ia menegaskan bahwa waktu untuk bertindak semakin menipis. Ia menyerukan perlunya perpanjangan gencatan senjata, pembebasan seluruh sandera secara bermartabat, serta akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan bagi masyarakat yang terdampak. Sejak Selasa, lebih dari 700 warga Palestina telah menjadi korban jiwa akibat serangan udara Israel, sementara lebih dari 900 lainnya mengalami luka-luka.

UEA Serukan Penghentian Serangan Israel dan Perlindungan Warga Gaza

Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan keprihatinannya terhadap serangan udara Israel yang terus berlanjut di Gaza, memperingatkan potensi ketidakstabilan yang lebih luas di wilayah tersebut serta meningkatnya eskalasi kekerasan di kawasan. Dalam pernyataan yang dirilis pada 18 Maret 2025, UEA menegaskan pentingnya upaya internasional untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban jiwa serta memburuknya kondisi kemanusiaan. Mereka juga mendesak penghentian tindakan yang merugikan warga sipil serta mengajak komunitas global untuk segera mencari solusi damai.

Menurut laporan Emirates News Agency (WAM), UEA mendorong tercapainya kesepakatan gencatan senjata yang baru, pemulihan akses listrik, pembukaan kembali jalur perlintasan, serta distribusi bantuan kemanusiaan tanpa hambatan kepada warga Gaza yang membutuhkan. Pemerintah UEA menegaskan kembali komitmennya dalam mendukung segala upaya yang bertujuan menciptakan perdamaian serta melindungi warga sipil dari dampak serangan yang semakin memburuk. Pernyataan ini muncul di tengah serangan udara besar-besaran yang dilancarkan Israel di seluruh Gaza pada Selasa pagi, yang telah menyebabkan lebih dari 400 korban jiwa dan semakin melemahkan kesepakatan gencatan senjata yang sempat berlaku sejak 19 Januari lalu.

Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pernyataan terbarunya menegaskan bahwa negaranya akan meningkatkan intensitas serangan terhadap Gaza. Ia menegaskan bahwa negosiasi terkait gencatan senjata kini hanya akan berlangsung di bawah tekanan tembakan. Situasi yang terus memburuk ini menambah kekhawatiran banyak pihak, termasuk negara-negara di kawasan yang menginginkan stabilitas serta solusi jangka panjang atas konflik yang berkepanjangan.

Palestina Desak PBB Hentikan Blokade Israel yang Sebabkan Kelaparan di Gaza

Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza semakin memburuk seiring dengan berlanjutnya blokade yang diterapkan oleh Israel. Warga Palestina menghadapi kesulitan ekstrem dalam memperoleh kebutuhan dasar, sementara fasilitas kesehatan di wilayah tersebut semakin kewalahan akibat terbatasnya pasokan medis dan tenaga medis yang terus berkurang. Banyak rumah sakit dilaporkan tidak dapat beroperasi dengan maksimal karena kurangnya listrik dan bahan bakar untuk menjalankan peralatan medis.

Pemerintah Palestina menyoroti bagaimana blokade ini tidak hanya berdampak pada kebutuhan pokok, tetapi juga mengancam keselamatan ribuan anak-anak dan perempuan yang menjadi kelompok paling rentan dalam konflik ini. Organisasi kemanusiaan yang berusaha menyalurkan bantuan ke Gaza menghadapi berbagai kendala akibat ketatnya pembatasan yang diberlakukan Israel.

Sementara itu, berbagai negara dan lembaga internasional telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap krisis yang terjadi. PBB dan beberapa organisasi kemanusiaan mendesak Israel untuk membuka jalur bantuan dan memberikan akses bagi lembaga medis guna mengurangi penderitaan warga Gaza. Namun, hingga saat ini, belum ada langkah nyata yang diambil untuk mengakhiri blokade tersebut.

Dengan semakin mendesaknya situasi, Palestina terus meminta komunitas internasional untuk menekan Israel agar menghormati hukum humaniter internasional dan mengizinkan distribusi bantuan tanpa hambatan. Mereka juga mengingatkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, dampak jangka panjangnya dapat semakin memperburuk stabilitas di kawasan dan mengancam kehidupan lebih banyak warga sipil yang tidak bersalah.

Hamas Lanjutkan Negosiasi Gencatan Senjata di Gaza, Israel Enggan Kompromi

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, kembali melanjutkan pembicaraan dengan mediator di Doha, Qatar, untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Israel. Juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menyatakan bahwa pihaknya mengikuti perundingan dengan sikap yang positif dan bertanggung jawab, bertujuan mengakhiri perang, menarik pasukan Israel, serta membangun kembali Gaza yang hancur akibat konflik berkepanjangan.

Sumber dari media Israel melaporkan bahwa negosiasi berlangsung dalam suasana optimis. Bahkan, tim perunding Israel di Doha memperpanjang masa tinggal mereka guna melanjutkan pembahasan terkait kesepakatan Gaza. Utusan Amerika Serikat untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Namun, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menolak inisiatif gencatan senjata tahap kedua, memilih untuk mempertahankan kebijakan yang telah diterapkan sebelumnya.

Israel terus melakukan tekanan terhadap Hamas dengan memutus pasokan listrik dan menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, demi memaksa kelompok tersebut menerima syarat-syarat mereka. Namun, Hamas tetap menolak bernegosiasi dalam kondisi demikian dan menuntut Israel agar menghormati perjanjian yang telah dibuat, termasuk penarikan penuh pasukan dari Gaza serta penghentian total agresi militer.

Sebelumnya, kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang berlaku pada Januari sempat menghentikan sementara serangan Israel. Namun, pertempuran kembali berlanjut, menyebabkan korban jiwa terus bertambah. Lebih dari 48.500 warga Gaza telah tewas, mayoritas di antaranya perempuan dan anak-anak.

Sementara itu, Israel menghadapi tekanan hukum internasional. Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga digugat atas tuduhan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait aksi militernya di Gaza.

Israel Putus Aliran Listrik ke Gaza, Hamas Kecam Pelanggaran Gencatan Senjata

Israel kembali menuai kecaman setelah memutus pasokan listrik ke Jalur Gaza, yang dinilai sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata. Izzat Al-Risheq, anggota biro politik Hamas, menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk hukuman kolektif terhadap rakyat Palestina dan sebuah kejahatan kemanusiaan. Melalui pernyataannya di Telegram, Al-Risheq menegaskan bahwa kebijakan tersebut mencakup pemblokiran lalu lintas perbatasan, penghentian bantuan kemanusiaan serta bahan bakar, yang bertujuan menekan rakyat Gaza melalui strategi pemerasan.

Pemutusan listrik ini dilakukan setelah otoritas energi Israel, di bawah perintah pejabat tinggi Eli Cohen, menginstruksikan penghentian total pasokan tenaga listrik ke Gaza. Langkah ini diklaim sebagai upaya menekan Hamas agar segera membebaskan sandera yang masih berada di wilayah tersebut. Sebelumnya, sempat ada pemulihan sementara pasokan listrik untuk mengoperasikan sistem pembuangan limbah di Gaza, namun kini aliran listrik telah dihentikan sepenuhnya.

Israel juga memperketat blokade sejak 2 Maret 2025 dengan melarang masuknya bantuan kemanusiaan. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap sikap Hamas yang menolak memperpanjang gencatan senjata sesuai rencana yang diajukan oleh Amerika Serikat. Sejak gencatan senjata berlangsung antara 19 Januari hingga 1 Maret, telah terjadi pertukaran sandera. Hamas membebaskan 30 sandera yang masih hidup dan menyerahkan delapan jenazah, sementara Israel membebaskan sekitar 1.700 tahanan Palestina serta menarik sebagian pasukannya dari Gaza.

Saat ini, masih terdapat 59 sandera Israel yang dilaporkan berada di Gaza, dengan sekitar separuhnya dinyatakan telah meninggal. Situasi semakin tegang karena Israel berencana meningkatkan tekanan jika Hamas tetap menolak negosiasi. Di tengah krisis yang semakin memburuk, komunitas internasional pun mulai mempertanyakan kelangsungan perdamaian di wilayah tersebut.

Hamas Tegaskan Tidak Akan Terlibat dalam Administrasi Gaza Pascaperang

Hamas menegaskan bahwa mereka tidak akan ikut serta dalam pengaturan administratif di Jalur Gaza setelah perang, dengan syarat bahwa pengaturan tersebut didasarkan pada kesepakatan nasional. Juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menekankan bahwa masa depan Gaza harus ditentukan melalui konsensus internal, bukan campur tangan pihak eksternal. Hamas, katanya, tidak memiliki kepentingan untuk terlibat dalam pemerintahan pascaperang dan akan mendukung setiap kesepakatan yang memungkinkan rekonstruksi Gaza secara serius.

Qassem juga menyoroti pentingnya rekonstruksi guna menyelamatkan rakyat Gaza dari kehancuran akibat perang berkepanjangan dengan Israel. Hamas, menurutnya, tidak akan menjadi hambatan bagi kesepakatan yang dicapai melalui konsensus nasional untuk membangun kembali wilayah tersebut. Sebelumnya, pada Desember, Hamas telah menerima usulan dari Mesir terkait pembentukan komite komunitas yang akan bertugas mengelola Gaza setelah perang berakhir.

Mesir sendiri akan menggelar KTT darurat negara-negara Arab untuk membahas sikap bersama mengenai Palestina serta menyusun respons terhadap rencana Amerika Serikat terkait pemindahan penduduk Gaza. Presiden AS, Donald Trump, sebelumnya telah mengusulkan agar Gaza diambil alih dan dijadikan destinasi wisata, sebuah gagasan yang mendapat kecaman luas dari dunia Arab dan komunitas internasional karena dinilai sebagai upaya pembersihan etnis.

Sejak Oktober 2023, konflik brutal di Gaza telah menewaskan hampir 48.400 warga Palestina, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, sementara lebih dari 111.000 orang mengalami luka-luka. Gempuran Israel sempat terhenti sementara melalui kesepakatan gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari, tetapi kembali berlanjut setelah Tel Aviv menolak negosiasi tahap kedua dengan Hamas. Israel juga menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret, semakin memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah tersebut.

Netanyahu Menolak Bantuan Kemanusiaan Masuk Gaza Meski Ada Gencatan Senjata

Benjamin Netanyahu, Pemimpin Israel, menolak memberikan izin untuk memasukkan bantuan berupa rumah mobil dan alat berat ke Jalur Gaza meskipun telah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Laporan media pada Minggu, yang dikutip dari penyiaran publik KAN, mengungkapkan bahwa Netanyahu menahan izin bagi alat berat untuk membersihkan reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan militer Israel di Gaza. Keputusan ini menambah ketegangan dalam situasi kemanusiaan yang semakin memprihatinkan di wilayah tersebut.

Sebelumnya, Palestina menuding Israel telah melanggar protokol kemanusiaan yang disepakati dalam gencatan senjata. Israel dianggap menahan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, seperti tenda, rumah mobil, dan alat berat untuk membersihkan reruntuhan yang mengancam keselamatan warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal akibat agresi militer Israel.

Gaza saat ini berada dalam kondisi yang sangat hancur setelah serangan Israel, yang menyebabkan ribuan warga Palestina kehilangan rumah mereka. Pada Sabtu lalu, kelompok perlawanan Palestina, Hamas, melepaskan tiga sandera Israel setelah memperoleh jaminan dari mediator bahwa bantuan kemanusiaan, termasuk rumah mobil dan alat berat, akan diizinkan masuk ke Gaza.

Selama tahap pertama gencatan senjata yang dimediasi, sebanyak 19 warga Israel dan lima pekerja Thailand yang disandera oleh Hamas dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan tersebut. Sebagai imbalannya, Israel juga melepaskan 1.135 warga Palestina yang ditahan di penjara Israel. Konflik yang berlangsung telah memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, dan keputusan Netanyahu semakin mempersulit upaya bantuan bagi para korban.

Krisis Kemanusiaan di Gaza Memburuk, Kantor Media Gaza Desak Israel Patuhi Kesepakatan Gencatan Senjata

Kantor Media Pemerintah Gaza mendesak komunitas internasional untuk menekan Israel agar mematuhi protokol kemanusiaan dalam perjanjian gencatan senjata dengan Hamas. Mereka memperingatkan bahwa keterlambatan dalam implementasi perjanjian ini berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan yang semakin parah.

Direktur Kantor Media Gaza, Ismail Al-Thawabta, menyoroti bahwa meskipun terdapat kesepakatan yang jelas mengenai bantuan kemanusiaan, Israel terus gagal memenuhi komitmennya. Akibatnya, terjadi kelangkaan pangan, air bersih, dan pasokan medis yang mengancam keselamatan ribuan warga Palestina.

Al-Thawabta menegaskan bahwa keterlambatan pengiriman bantuan telah meningkatkan angka malnutrisi, terutama di kalangan anak-anak. Selain itu, persediaan medis yang semakin menipis memperburuk situasi di rumah sakit, mengancam nyawa ribuan pasien. Dalam kesepakatan yang disepakati, seharusnya terdapat pengiriman 60.000 karavan, 200.000 tenda, serta 600 truk bantuan setiap hari, tetapi penundaan telah menyebabkan puluhan ribu warga Palestina kehilangan tempat tinggal.

Selain itu, infrastruktur di Gaza semakin memburuk akibat keterbatasan pengiriman peralatan kemanusiaan, medis, serta alat pertahanan sipil. Al-Thawabta juga mengungkapkan bahwa pasokan bahan bakar yang terhambat telah menyebabkan pembangkit listrik berhenti beroperasi, mengakibatkan pemadaman listrik yang berkepanjangan serta memengaruhi layanan penting seperti rumah sakit dan pompa air.

Lebih lanjut, ia menyoroti dampak buruk dari pengungsian massal akibat serangan udara Israel serta penghancuran fasilitas pendidikan. Hal ini tidak hanya menyebabkan kehilangan tempat tinggal, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan mental warga sipil, terutama wanita, anak-anak, dan lansia.

Al-Thawabta menegaskan bahwa tindakan Israel melanggar hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa, yang mengatur perlindungan warga sipil serta menjamin pengiriman bantuan selama konflik. Ia mendesak komunitas internasional untuk bertindak lebih tegas dalam menekan Israel agar menjalankan kewajibannya, sekaligus meminta pertanggungjawaban Amerika Serikat atas konsekuensi dari ketidakpatuhan Israel terhadap kesepakatan gencatan senjata.

Pernyataan ini muncul setelah Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan penundaan pembebasan tahanan Israel yang semula dijadwalkan pada Sabtu. Keputusan tersebut diambil sebagai bentuk respons atas pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata.

Bangkit dari Reruntuhan: Warga Gaza Mulai Membangun Kehidupan Pasca-Gencatan Senjata

Setelah gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang mulai berlaku pada 19 Januari, warga Palestina di Jalur Gaza menghadapi tantangan berat dalam proses pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan mereka. Meskipun penghentian pertempuran memberikan sedikit kelegaan, dampak yang ditinggalkan oleh konflik berbulan-bulan itu sangat menghancurkan. Infrastruktur yang rusak parah di Gaza—termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, dan jalan—menciptakan tantangan besar bagi masyarakat yang mencoba untuk memulai kembali kehidupan mereka.

Pembangunan kembali menjadi sangat rumit karena adanya kekurangan sumber daya yang diperlukan, serta tingginya jumlah pengungsi yang tinggal di kamp-kamp darurat yang penuh sesak. Ratusan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi setelah kehilangan rumah mereka, dan banyak yang harus bertahan hidup di tenda-tenda sementara. Kehidupan di kamp-kamp tersebut sangat sulit, dengan keterbatasan dalam akses terhadap pangan, air bersih, dan perawatan medis.

Pemerintah Palestina, bersama dengan organisasi internasional, berusaha memberikan bantuan, tetapi tantangan logistik dan ketidakstabilan situasi di lapangan membuat upaya tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Masyarakat Gaza juga menghadapi masalah tambahan terkait infrastruktur yang rusak parah, sehingga akses terhadap listrik dan layanan dasar lainnya semakin terbatas.

Pemerintah dan lembaga bantuan internasional berusaha keras untuk memastikan bantuan sampai ke tangan yang membutuhkan, namun hambatan keamanan dan logistik menjadi tantangan besar. Warga Gaza menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, dan pemulihan ekonomi serta sosial diperkirakan akan memakan waktu yang sangat lama. Meskipun ada harapan, langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kondisi kehidupan dan membangun kembali Gaza masih jauh dari kenyataan.

Hamas dan Iran Bahas Perkembangan Gencatan Senjata Gaza, Tekankan Dukungan Perjuangan Palestina

Delegasi senior Hamas yang dipimpin oleh Ketua Dewan Syura, Mohamed Darwish, mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, pada Kamis di Doha, Qatar. Pertemuan tersebut membahas perkembangan terbaru mengenai gencatan senjata di Gaza, pertukaran tahanan, serta tantangan politik dan kemanusiaan yang dihadapi rakyat Palestina.

Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan bahwa diskusi mencakup upaya Israel dalam menghambat rekonstruksi Gaza serta pentingnya bantuan kemanusiaan yang terus mengalir bagi warga terdampak. Darwish juga menyampaikan apresiasi terhadap dukungan Iran terhadap perjuangan Palestina, menyebut Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 sebagai momen krusial dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel.

“Upaya Israel untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka melalui kekerasan dan agresi tidak akan berhasil. Kami tetap teguh dalam mempertahankan hak kami atas Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa,” ujar Darwish.

Di sisi lain, Abbas Araghchi menegaskan kembali komitmen Iran dalam mendukung perjuangan Palestina, baik dalam aspek politik maupun kemanusiaan.

Perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku pada 19 Januari, dengan durasi awal 42 hari dan opsi perpanjangan melalui negosiasi lanjutan. Kesepakatan ini dimediasi oleh Mesir dan Qatar dengan dukungan Amerika Serikat.

Sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2023, lebih dari 47.400 warga Palestina—mayoritas perempuan dan anak-anak—tewas, sementara lebih dari 111.000 lainnya mengalami luka-luka. Selain itu, lebih dari 11.000 orang dinyatakan hilang, sementara infrastruktur Gaza mengalami kehancuran luas, memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang berlangsung di Gaza.