Diplomasi Sulit: AS, Hamas, dan Negosiasi Pembebasan Sandera

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, menegaskan bahwa pertemuan utusan Presiden Donald Trump, Adam Boehler, dengan kelompok Palestina Hamas hanyalah insiden sekali terjadi. Rubio menjelaskan bahwa pertemuan tersebut dilakukan dalam konteks upaya pembebasan sandera, di mana Boehler diberi izin serta dorongan untuk berbicara langsung dengan pihak yang memiliki kendali atas para tawanan. Namun, hingga kini, negosiasi tersebut belum membuahkan hasil yang diharapkan. Rubio menegaskan bahwa jalur utama diplomasi AS dalam isu ini tetap melalui utusan khusus Timur Tengah, Steve Witkoff, yang bekerja sama dengan Qatar.

Sementara itu, Boehler mengungkapkan bahwa ia telah melakukan komunikasi langsung dengan Hamas mengenai pemulangan semua sandera Israel, termasuk mereka yang berkewarganegaraan Amerika Serikat. Rubio memuji Boehler atas dedikasinya dalam membebaskan banyak sandera di berbagai belahan dunia. Pernyataan tersebut disampaikan dalam perjalanan menuju Arab Saudi, di mana pejabat AS dan Ukraina akan bertemu untuk membahas penyelesaian konflik Rusia-Ukraina.

Di sisi lain, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berupaya memperpanjang fase awal pertukaran tahanan guna membebaskan lebih banyak sandera Israel tanpa memenuhi kewajiban militer maupun kemanusiaan yang tercantum dalam perjanjian sebelumnya. Namun, Hamas menolak pendekatan tersebut dan tetap menuntut Israel untuk sepenuhnya mematuhi kesepakatan gencatan senjata. Hamas juga meminta para mediator untuk mempercepat negosiasi tahap kedua yang mencakup penarikan penuh pasukan Israel serta penghentian perang.

Sejak Januari, perjanjian gencatan senjata telah diberlakukan untuk menghentikan perang di Gaza yang telah menyebabkan lebih dari 48.500 korban jiwa, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Konflik berkepanjangan ini telah menghancurkan wilayah Gaza secara menyeluruh, menimbulkan krisis kemanusiaan yang semakin parah.

Israel Putus Aliran Listrik ke Gaza, Hamas Kecam Pelanggaran Gencatan Senjata

Israel kembali menuai kecaman setelah memutus pasokan listrik ke Jalur Gaza, yang dinilai sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata. Izzat Al-Risheq, anggota biro politik Hamas, menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk hukuman kolektif terhadap rakyat Palestina dan sebuah kejahatan kemanusiaan. Melalui pernyataannya di Telegram, Al-Risheq menegaskan bahwa kebijakan tersebut mencakup pemblokiran lalu lintas perbatasan, penghentian bantuan kemanusiaan serta bahan bakar, yang bertujuan menekan rakyat Gaza melalui strategi pemerasan.

Pemutusan listrik ini dilakukan setelah otoritas energi Israel, di bawah perintah pejabat tinggi Eli Cohen, menginstruksikan penghentian total pasokan tenaga listrik ke Gaza. Langkah ini diklaim sebagai upaya menekan Hamas agar segera membebaskan sandera yang masih berada di wilayah tersebut. Sebelumnya, sempat ada pemulihan sementara pasokan listrik untuk mengoperasikan sistem pembuangan limbah di Gaza, namun kini aliran listrik telah dihentikan sepenuhnya.

Israel juga memperketat blokade sejak 2 Maret 2025 dengan melarang masuknya bantuan kemanusiaan. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap sikap Hamas yang menolak memperpanjang gencatan senjata sesuai rencana yang diajukan oleh Amerika Serikat. Sejak gencatan senjata berlangsung antara 19 Januari hingga 1 Maret, telah terjadi pertukaran sandera. Hamas membebaskan 30 sandera yang masih hidup dan menyerahkan delapan jenazah, sementara Israel membebaskan sekitar 1.700 tahanan Palestina serta menarik sebagian pasukannya dari Gaza.

Saat ini, masih terdapat 59 sandera Israel yang dilaporkan berada di Gaza, dengan sekitar separuhnya dinyatakan telah meninggal. Situasi semakin tegang karena Israel berencana meningkatkan tekanan jika Hamas tetap menolak negosiasi. Di tengah krisis yang semakin memburuk, komunitas internasional pun mulai mempertanyakan kelangsungan perdamaian di wilayah tersebut.