Ledakan Hebat di Pelabuhan Shahid Rajaee Iran Tewaskan 25 Orang, Ribuan Luka-Luka

Jumlah korban jiwa akibat ledakan besar yang mengguncang Pelabuhan Shahid Rajaee di selatan Iran terus bertambah. Berdasarkan laporan dari sumber lokal pada Minggu (27/4), angka korban tewas kini mencapai 25 orang, meningkat dari laporan awal yang menyebutkan 14 orang meninggal dunia. Selain itu, menurut siaran dari Televisi Negara Iran, sedikitnya 1.139 orang mengalami luka-luka akibat peristiwa tragis ini.

Insiden bermula pada Sabtu siang, sekitar pukul 12 waktu setempat (08:30 GMT atau 15:30 WIB), di area dermaga kontainer Pelabuhan Shahid Rajaee. Media lokal melaporkan bahwa sebelum ledakan terjadi, sempat terlihat adanya kobaran api kecil di sekitar lokasi yang diperkirakan berasal dari bahan-bahan yang sangat mudah terbakar. Suhu udara yang mencapai 40 derajat Celsius turut memperburuk keadaan, mempercepat penyebaran api hingga akhirnya memicu ledakan dahsyat.

Sejumlah saksi mata mengungkapkan bahwa kebakaran kecil itu dengan cepat membesar akibat panas ekstrem, menjalar ke tumpukan material yang mudah terbakar di area pelabuhan. Situasi tersebut menyebabkan kobaran api tak terkendali dan akhirnya berujung pada ledakan besar yang merusak sebagian wilayah pelabuhan.

Pelabuhan Shahid Rajaee memiliki peran strategis di kawasan selatan Iran, terletak di Provinsi Hormozgan, sekitar 15 kilometer dari Pelabuhan Bandar Abbas, di pesisir utara Selat Hormuz. Tragedi ini menjadi pukulan berat bagi aktivitas ekonomi di kawasan tersebut yang sangat bergantung pada operasional pelabuhan.

Ledakan Besar di Pelabuhan Shahid Rajaee Iran, Tewaskan 14 Orang

Pada Sabtu, 26 April 2025, sebuah ledakan besar mengguncang Pelabuhan Shahid Rajaee yang terletak di Bandar Abbas, Iran bagian selatan. Menurut laporan dari The New York Times, insiden tersebut kemungkinan disebabkan oleh bahan bakar untuk rudal padat, lebih tepatnya natrium perklorat, yang digunakan dalam pembuatan bahan bakar rudal. Sumber yang terkait dengan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) mengonfirmasi bahwa bahan tersebut meledak setelah disimpan dalam kondisi yang tidak sesuai prosedur.

Setelah kejadian tersebut, kantor berita IRNA melaporkan bahwa ledakan dipicu oleh bahan kimia yang disimpan dalam keadaan yang sangat berisiko. Ledakan ini mengakibatkan 14 orang tewas dan sekitar 750 orang lainnya mengalami luka-luka, dengan sebagian besar korban berada dalam kondisi kritis. Kerusakan yang ditimbulkan juga sangat besar, mempengaruhi fasilitas pelabuhan serta infrastruktur yang ada di sekitar lokasi. Selain itu, ledakan ini juga memicu kebakaran yang meluas, semakin memperburuk situasi.

Penyelidikan lebih lanjut sedang dilakukan oleh pihak berwenang untuk mengetahui penyebab pasti dari insiden tersebut dan untuk memastikan bahwa langkah-langkah pencegahan dapat diterapkan untuk menghindari terulangnya kejadian serupa. Kejadian ini kembali menyoroti pentingnya pengelolaan bahan kimia berbahaya dengan lebih hati-hati di fasilitas-fasilitas strategis seperti pelabuhan, yang memiliki peran vital dalam sektor logistik dan perdagangan internasional. Selain itu, insiden ini juga semakin memperburuk ketegangan yang sudah ada di wilayah tersebut, yang sering menjadi sorotan internasional, terutama dalam konteks kebijakan militer dan keamanan regional.

AS Peringatkan Rusia Terkait Serangan Militer terhadap Houthi di Yaman

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, memberi tahu Menlu Rusia, Sergei Lavrov, mengenai operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan bahwa Rubio menegaskan serangan kelompok yang didukung Iran tersebut terhadap kapal-kapal militer dan komersial AS di Laut Merah tidak akan dibiarkan begitu saja.

Dalam percakapan tersebut, kedua menlu juga membahas langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Keduanya sepakat untuk terus berupaya memulihkan komunikasi antara Washington dan Moskow guna menghindari eskalasi lebih lanjut di kawasan tersebut.

Militer AS baru-baru ini melancarkan serangan udara ke posisi kelompok Houthi di Yaman, menewaskan sedikitnya 19 orang. Presiden AS, Donald Trump, memperingatkan bahwa serangan lanjutan akan dilakukan jika Houthi terus menyerang kapal-kapal dagang di Laut Merah. Kelompok Houthi sendiri telah menyerang kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Israel sejak akhir 2023 menggunakan rudal dan pesawat nirawak. Serangan ini mereka klaim sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.

Kelompok Houthi sempat menghentikan serangannya ketika gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan. Namun, mereka kembali mengancam akan melanjutkan serangan jika Israel tetap memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret. Situasi ini meningkatkan ketegangan di kawasan dan berpotensi memperumit hubungan internasional antara negara-negara yang terlibat.

Program Misil Iran Kian Gahar, Kiriman dari China Tiba

Sebuah kapal yang membawa 1.000 ton bahan kimia asal China, yang diyakini sebagai komponen utama dalam pembuatan bahan bakar rudal, telah tiba di perairan dekat Pelabuhan Bandar Abbas, Iran, pada Kamis (13/2/2025). Kedatangan kapal ini memunculkan spekulasi bahwa Iran mungkin akan segera memulai kembali produksi rudalnya setelah mengalami kemunduran akibat serangan Israel terhadap fasilitas militer utama mereka tahun lalu.

Kapal pertama, Golbon, meninggalkan Pelabuhan Taicang, China, sekitar tiga minggu lalu dengan membawa natrium perklorat, bahan baku utama dalam pembuatan propelan padat yang digunakan untuk rudal jarak menengah Iran. Jika produksi rudal kembali berjalan normal, ini bisa menjadi titik balik bagi Iran dalam konflik geopolitik di Timur Tengah.

Dampak Pengiriman Natrium Perklorat bagi Iran

Menurut sumber intelijen, jumlah natrium perklorat yang dikirim cukup untuk memproduksi sekitar 260 motor roket untuk misil Kheibar Shekan atau 200 misil balistik Haj Qasem. Ini menunjukkan bahwa Iran mungkin telah lebih cepat pulih dari perkiraan awal, di mana para pakar semula menduga butuh setidaknya satu tahun sebelum mereka bisa kembali memproduksi propelan rudal.

Iran sendiri saat ini sedang mengalami tekanan besar akibat serangkaian kekalahan strategis di Timur Tengah, seperti melemahnya posisi Hizbullah di Lebanon dan jatuhnya Bashar al-Assad di Suriah. Jika produksi rudal kembali berjalan, Iran bisa memperkuat posisi militernya di kawasan.

Kapal Kedua Masih di China, Apakah China Terlibat?

Selain Golbon, kapal lain bernama Jairan juga dijadwalkan membawa 1.000 ton natrium perklorat ke Iran. Namun, hingga saat ini, Jairan masih berada di China dan belum mengangkut muatannya. Kedua kapal tersebut diketahui dioperasikan oleh Islamic Republic of Iran Shipping Lines (IRISL).

Sementara itu, tidak ada indikasi bahwa pemerintah China mengetahui pengiriman ini sebelum media melaporkannya pada akhir Januari. Natrium perklorat sendiri bukan barang yang dilarang dalam sanksi Barat terhadap Iran, sehingga pengirimannya tidak dianggap ilegal.

Menanggapi laporan ini, Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui rincian spesifik kasus tersebut. Dalam pernyataan resminya, China menegaskan bahwa mereka menolak sanksi sepihak yang dianggap ilegal serta tuduhan yang tidak memiliki bukti kuat.

“China secara konsisten menerapkan kontrol ekspor terhadap barang-barang yang memiliki kegunaan ganda sesuai dengan hukum internasional serta regulasi domestik,” ujar pernyataan tersebut.

Selain itu, China juga menegaskan bahwa natrium perklorat tidak termasuk dalam daftar barang yang diawasi, sehingga ekspor bahan kimia tersebut dianggap sebagai bagian dari perdagangan biasa.

Kesimpulan: Akankah Iran Kembali Mengancam Stabilitas Kawasan?

Kedatangan bahan baku propelan ini menjadi sinyal kuat bahwa Iran mungkin sudah siap untuk kembali memproduksi rudal balistiknya. Dengan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, pengiriman ini bisa menjadi faktor penting yang mengubah dinamika politik dan keamanan di kawasan.

Kini, perhatian dunia tertuju pada langkah Iran selanjutnya—apakah mereka akan kembali meningkatkan produksi rudal, atau justru menghadapi tekanan baru dari komunitas internasional?

Hamas dan Iran Bahas Perkembangan Gencatan Senjata Gaza, Tekankan Dukungan Perjuangan Palestina

Delegasi senior Hamas yang dipimpin oleh Ketua Dewan Syura, Mohamed Darwish, mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, pada Kamis di Doha, Qatar. Pertemuan tersebut membahas perkembangan terbaru mengenai gencatan senjata di Gaza, pertukaran tahanan, serta tantangan politik dan kemanusiaan yang dihadapi rakyat Palestina.

Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan bahwa diskusi mencakup upaya Israel dalam menghambat rekonstruksi Gaza serta pentingnya bantuan kemanusiaan yang terus mengalir bagi warga terdampak. Darwish juga menyampaikan apresiasi terhadap dukungan Iran terhadap perjuangan Palestina, menyebut Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 sebagai momen krusial dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel.

“Upaya Israel untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka melalui kekerasan dan agresi tidak akan berhasil. Kami tetap teguh dalam mempertahankan hak kami atas Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa,” ujar Darwish.

Di sisi lain, Abbas Araghchi menegaskan kembali komitmen Iran dalam mendukung perjuangan Palestina, baik dalam aspek politik maupun kemanusiaan.

Perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku pada 19 Januari, dengan durasi awal 42 hari dan opsi perpanjangan melalui negosiasi lanjutan. Kesepakatan ini dimediasi oleh Mesir dan Qatar dengan dukungan Amerika Serikat.

Sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2023, lebih dari 47.400 warga Palestina—mayoritas perempuan dan anak-anak—tewas, sementara lebih dari 111.000 lainnya mengalami luka-luka. Selain itu, lebih dari 11.000 orang dinyatakan hilang, sementara infrastruktur Gaza mengalami kehancuran luas, memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang berlangsung di Gaza.