AS Peringatkan Rusia Terkait Serangan Militer terhadap Houthi di Yaman

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, memberi tahu Menlu Rusia, Sergei Lavrov, mengenai operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan bahwa Rubio menegaskan serangan kelompok yang didukung Iran tersebut terhadap kapal-kapal militer dan komersial AS di Laut Merah tidak akan dibiarkan begitu saja.

Dalam percakapan tersebut, kedua menlu juga membahas langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Keduanya sepakat untuk terus berupaya memulihkan komunikasi antara Washington dan Moskow guna menghindari eskalasi lebih lanjut di kawasan tersebut.

Militer AS baru-baru ini melancarkan serangan udara ke posisi kelompok Houthi di Yaman, menewaskan sedikitnya 19 orang. Presiden AS, Donald Trump, memperingatkan bahwa serangan lanjutan akan dilakukan jika Houthi terus menyerang kapal-kapal dagang di Laut Merah. Kelompok Houthi sendiri telah menyerang kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Israel sejak akhir 2023 menggunakan rudal dan pesawat nirawak. Serangan ini mereka klaim sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.

Kelompok Houthi sempat menghentikan serangannya ketika gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan. Namun, mereka kembali mengancam akan melanjutkan serangan jika Israel tetap memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret. Situasi ini meningkatkan ketegangan di kawasan dan berpotensi memperumit hubungan internasional antara negara-negara yang terlibat.

Pemilu Jerman 2025 Resmi Berjalan, Isu Migrasi dan Keamanan Mengemuka

Jerman bersiap menghadapi momen penting dalam sejarah politiknya saat jutaan warga memberikan suara dalam Pemilu 2025 yang berlangsung pada Minggu (23/2/2025). Pemilu kali ini berlangsung di tengah meningkatnya kekhawatiran akan isu keamanan dan migrasi, setelah serangkaian serangan mematikan mengguncang negara tersebut.

Dalam kontestasi politik yang diawasi ketat oleh Eropa dan Amerika Serikat, Friedrich Merz, pemimpin konservatif berusia 69 tahun, berada di posisi terdepan untuk menjadi kanselir Jerman berikutnya. Jika menang, ia dihadapkan pada tugas besar untuk memulihkan ekonomi terbesar di Eropa dan memperbaiki infrastruktur negara dalam waktu empat tahun—sebuah janji yang tidak mudah diwujudkan.

Peta Koalisi: CDU Butuh Mitra Politik

Jika Partai Demokrat Kristen (CDU) yang dipimpin Merz keluar sebagai pemenang, mereka tetap harus mencari mitra koalisi untuk membentuk pemerintahan. Partai Sosial Demokrat (SPD) yang dipimpin Olaf Scholz, kanselir petahana yang pemerintahannya runtuh tahun lalu, disebut sebagai kandidat mitra utama.

Menjelang hari pemungutan suara, Merz menegaskan tidak akan bekerja sama dengan Alternatif untuk Jerman (AfD), partai sayap kanan yang kini berpotensi menjadi kekuatan politik terbesar kedua. Sementara itu, jumlah pemilih yang memenuhi syarat dalam pemilu ini mencapai 59,2 juta orang, dengan jutaan suara telah dikirim melalui pos.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa 20 persen pemilih masih ragu menentukan pilihan, meskipun waktu pemungutan suara semakin dekat. Tempat pemungutan suara akan dibuka pukul 08.00 dan ditutup pukul 18.00 waktu setempat, dengan hasil awal diperkirakan dapat diketahui pada malam harinya.

Dinamika Politik dan Tantangan Jerman ke Depan

Antusiasme tinggi terlihat dalam kampanye yang berlangsung hingga Sabtu malam, di mana debat terakhir—yang kesembilan dalam sembilan bulan terakhir—digelar di televisi nasional. Pemilu kali ini dianggap sebagai titik balik bagi Jerman dalam menentukan arah kebijakan domestik maupun global.

Merz berjanji akan membawa kepemimpinan yang kuat di Eropa, meskipun Jerman juga berada di bawah tekanan untuk menyesuaikan anggaran militernya. Sebagai penyedia bantuan militer terbesar kedua bagi Ukraina, pemerintahan baru Jerman harus menghadapi dinamika hubungan internasional, terutama dengan Presiden AS Donald Trump, yang secara terbuka mengecam Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan memperlemah solidaritas Barat terhadap Rusia.

Sementara itu, politik Jerman dikejutkan oleh pertemuan antara Wakil Presiden AS JD Vance dengan kandidat kanselir dari AfD, Alice Weidel. Dalam pertemuan itu, Vance menyuarakan keinginan untuk mengakhiri tabu politik Jerman yang melarang kerja sama dengan partai ekstrem kanan—sebuah prinsip yang dikenal sebagai firewall atau brandmauer di negara tersebut.

Hasil pemilu ini tidak hanya akan menentukan siapa yang memimpin Jerman ke depan, tetapi juga bagaimana negara tersebut menghadapi krisis geopolitik, tantangan ekonomi, dan dinamika politik global dalam beberapa tahun mendatang. 🚨🗳️

Kesepakatan Hak Mineral: AS dan Ukraina Hampir Capai Titik Temu, Zelenskyy Minta Kejelasan

Amerika Serikat dan Ukraina hampir menyelesaikan kesepakatan yang akan memberikan hak kepada AS atas mineral berharga Ukraina sebagai bentuk kompensasi atas bantuan militer yang diberikan dalam menghadapi invasi Rusia. Menurut laporan dari Wall Street Journal pada Jumat (21/2), perundingan masih berlangsung dan kesepakatan tersebut berpotensi disahkan secepatnya pada Sabtu, meskipun beberapa rincian masih perlu dirampungkan.

Awalnya, Ukraina menolak menandatangani perjanjian ini awal pekan lalu, yang memicu ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Penolakan ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait potensi renggangnya hubungan antara Washington dan Kiev.

Dalam pidato video pada Jumat malam, Zelenskyy mengonfirmasi adanya perkembangan positif dalam negosiasi tersebut. Ia menegaskan bahwa pembicaraan antara delegasi AS dan Ukraina bertujuan untuk merancang kesepakatan yang adil serta bermanfaat bagi kedua negara.

Usulan ini pertama kali diajukan oleh Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, saat berkunjung ke Kiev pekan lalu. Namun, pihak Ukraina enggan menyetujuinya secara langsung karena merasa perlu melakukan peninjauan lebih lanjut serta meminta jaminan keamanan tambahan. Para pejabat Ukraina mengungkapkan bahwa mereka hanya diberi waktu beberapa jam untuk memeriksa dokumen sebelum usulan itu disampaikan secara resmi.

Presiden Trump menanggapi penolakan awal dari Ukraina dengan pernyataan bahwa mereka “tertarik dengan kesepakatan ini” dan merasa optimis terhadap hasil akhirnya. Namun, ketegangan meningkat setelah Zelenskyy menuduh Trump terpengaruh oleh disinformasi Rusia, yang kemudian dibalas Trump dengan menyebut Zelenskyy sebagai “diktator.”

Sebagai langkah diplomasi, utusan khusus Trump untuk Ukraina, Letnan Jenderal (Purn.) Keith Kellogg, bertemu dengan Zelenskyy di Kiev pada Kamis. Setelah pertemuan itu, Zelenskyy menyatakan bahwa pembicaraan tersebut “membangkitkan harapan” dan memberikan arahan kepada timnya untuk menegosiasikan kesepakatan dengan cepat dan hati-hati.

Di sisi lain, ketegangan ini juga menimbulkan kekhawatiran di antara sekutu AS, yang khawatir bahwa Trump mungkin akan menarik dukungan militer dan finansial dari Ukraina. Padahal, selama tiga tahun terakhir, bantuan dari Washington menjadi faktor penting dalam upaya Ukraina melawan Rusia.

Sementara itu, Trump terus mendorong agar perang Rusia-Ukraina segera diakhiri. Pejabat senior dari AS dan Rusia bahkan telah mengadakan pertemuan di Arab Saudi pada Selasa untuk membahas kemungkinan penyelesaian konflik. Namun, Zelenskyy menanggapi dengan rasa frustrasi karena merasa Ukraina tidak dilibatkan dalam perundingan tersebut. Ia menegaskan bahwa negaranya tidak akan menerima kesepakatan apa pun yang tidak dinegosiasikan secara langsung oleh Kiev.

JD Vance: Ukraina Sulit Menang, Trump Klaim Perang Bisa Dihindari

Wakil Presiden Amerika Serikat, JD Vance, menyatakan bahwa Ukraina tidak memiliki peluang untuk menang dalam konfliknya dengan Rusia, seperti yang telah terlihat sejak perang dimulai tiga tahun lalu. Menurutnya, situasi ini tidak akan terjadi jika Donald Trump masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada saat itu.

“Selama tiga tahun, Presiden Trump dan saya telah menyampaikan dua pandangan utama: pertama, perang ini tidak akan pecah jika Presiden Trump masih memimpin; kedua, baik Eropa, pemerintahan Biden, maupun Ukraina tidak memiliki jalan yang jelas menuju kemenangan,” tulis Vance melalui akun media sosial X pada Kamis.

Vance menekankan bahwa Washington sebenarnya memiliki pengaruh besar terhadap kedua pihak dalam konflik ini. Namun, ia menilai bahwa kebijakan pemerintahan Biden yang membiarkan perang terus berlanjut hanya akan berdampak negatif bagi semua pihak, termasuk Eropa dan Amerika Serikat sendiri.

Sementara itu, Donald Trump juga mengkritik Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, atas cara kepemimpinannya dalam menghadapi perang dengan Rusia.

“Saya menyayangi Ukraina, tetapi Zelenskyy telah melakukan pekerjaan yang buruk. Negaranya hancur, dan jutaan orang meninggal sia-sia. Anda tidak bisa mengakhiri perang tanpa berbicara dengan kedua belah pihak. Selama tiga tahun ini, mereka bahkan tidak mencoba untuk berbicara,” ujar Trump.

Trump juga menekankan pentingnya segera mencapai gencatan senjata demi mengembalikan stabilitas di Eropa dan Timur Tengah. Pernyataan ini ia sampaikan dalam sebuah pertemuan puncak investasi asing yang digelar di Miami.

Raja Abdullah II Tegaskan Penolakan Pemindahan Warga Palestina, Serukan Solusi Dua Negara

Raja Yordania, Abdullah II, menegaskan penolakan tegas terhadap pemindahan paksa warga Palestina dalam sebuah pertemuan dengan pensiunan militer di Royal Hashemite Court pada Senin (17/2). Dalam pernyataannya, Raja Abdullah II menegaskan bahwa selama 25 tahun terakhir, ia telah secara konsisten menolak pemindahan paksa, pemukiman kembali, dan pencarian tanah air alternatif untuk Palestina. Ia mengkritik pihak-pihak yang meragukan sikapnya dalam isu ini.

Selain itu, Raja Yordania menekankan perlunya de-eskalasi di Tepi Barat dan menegaskan bahwa solusi dua negara merupakan jalan satu-satunya menuju perdamaian yang adil dan stabilitas kawasan. Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga kepentingan serta stabilitas Yordania dan melindungi rakyatnya. Dalam kesempatan tersebut, ia juga menekankan pentingnya pembangunan kembali Gaza tanpa mengusir warga Palestina yang berada di Gaza dan Tepi Barat.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengundang Raja Abdullah II ke Gedung Putih, di mana Trump kembali menyatakan rencananya untuk merelokasi warga Gaza dan menjadikan wilayah tersebut sebagai kawasan wisata yang dikelola oleh AS. Gencatan senjata di Gaza telah diberlakukan sejak 19 Januari, menghentikan sementara perang Israel yang telah menyebabkan hampir 48.300 korban jiwa dari pihak Palestina dan menghancurkan wilayah tersebut.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Kepala Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang di Gaza. Sementara itu, Israel juga menghadapi tuntutan kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait perangnya di Gaza.

Palestina Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza: Strategi Zionis yang Tak Akan Berhasil

Perwakilan Jihad Islam Palestina di Teheran, Nasser Abu Sharif, menegaskan bahwa rakyat Palestina tidak akan tinggal diam menghadapi rencana pemindahan paksa warga Gaza yang diusulkan oleh Amerika Serikat. Dalam wawancaranya dengan kantor berita Iran, IRNA, pada Kamis (13/2), Abu Sharif menyatakan bahwa kebijakan ini bukanlah hal baru, melainkan bagian dari strategi Zionis yang telah berlangsung dalam berbagai bentuk sejak Israel berdiri.

Ia mengungkapkan bahwa selama lebih dari satu abad, negara-negara Barat telah berupaya mengusir penduduk asli Palestina dari tanah mereka demi kepentingan pemukim Zionis. Meski demikian, ia menegaskan bahwa rencana semacam itu berulang kali gagal di masa lalu karena keteguhan rakyat Palestina dalam mempertahankan hak mereka atas tanah kelahiran mereka.

Hingga saat ini, penduduk Jalur Gaza tetap bertahan di tengah kehancuran akibat serangan militer Israel yang telah berlangsung lebih dari 15 bulan. Mereka menghadapi blokade ekonomi yang ketat serta kehilangan berbagai sumber mata pencaharian. Abu Sharif menyoroti bahwa kondisi ini tidak hanya menyebabkan penderitaan luar biasa, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus keberadaan warga Palestina melalui kekerasan dan pembunuhan massal.

Ia pun mengutuk rencana pemindahan paksa yang didorong oleh Presiden AS Donald Trump, yang menurutnya merupakan bentuk nyata dari pelanggaran hak asasi manusia dan praktik pembersihan etnis. Oleh sebab itu, ia menyerukan agar kebijakan ini ditentang di tingkat internasional guna mengungkap ketidakadilan yang terus dialami rakyat Palestina.

Trump Ungkap Rencana Masa Depan Gaza, Sebut AS Akan Pimpin Rekonstruksi!

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait masa depan Jalur Gaza pasca konflik yang tengah berlangsung. Dalam unggahan di platform Truth Social pada Kamis, Trump mengklaim bahwa setelah pertempuran berakhir, Gaza akan diserahkan kepada AS oleh Israel. Namun, ia menegaskan bahwa “tidak akan ada tentara AS yang dikerahkan” dalam proses tersebut.

Trump menyebut bahwa rencana tersebut mencakup relokasi warga Palestina ke komunitas yang lebih aman dan modern di wilayah lain. Ia bahkan menyebut nama Chuck Schumer dalam konteks ini, dengan menekankan bahwa warga Palestina akan mendapatkan “rumah baru yang lebih baik,” serta kehidupan yang lebih stabil dan bebas dari ancaman.

Lebih lanjut, Trump mengusulkan skema pemindahan warga Palestina ke Mesir dan Yordania sebagai bagian dari rencana besarnya. Ia mengklaim bahwa AS, bersama dengan tim pembangunan global, akan memimpin proyek rekonstruksi besar-besaran di Gaza. Ia menggambarkan proyek tersebut sebagai “salah satu pembangunan terbesar dan paling spektakuler di dunia,” yang akan membawa perubahan signifikan bagi kawasan tersebut.

Trump juga memastikan bahwa tidak akan ada keterlibatan militer AS dalam rencana ini. Ia berpendapat bahwa pendekatan berbasis pembangunan ekonomi akan lebih efektif dalam menciptakan stabilitas jangka panjang dibandingkan dengan intervensi militer.

Meskipun demikian, pernyataan ini menuai beragam respons dari komunitas internasional, terutama di Timur Tengah. Banyak pihak mempertanyakan realisme dan kelayakan rencana Trump, mengingat kompleksitas politik dan sejarah konflik di Gaza. Kritikus juga menyoroti bahwa rencana relokasi warga Palestina bisa menjadi isu yang sensitif dan sulit diterima oleh negara-negara di kawasan.

Sementara itu, para pendukung Trump menganggap rencana tersebut sebagai solusi alternatif untuk mencapai perdamaian yang lebih stabil tanpa harus melibatkan kekuatan militer. Namun, tanpa adanya kejelasan lebih lanjut mengenai implementasi dan penerimaan pihak terkait, gagasan ini masih menjadi perdebatan di tingkat global.

Netanyahu Berikan Pager Emas kepada Trump, Mengingat Serangan Pager Mematikan di Lebanon

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan dua buah pager kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat kunjungannya ke Gedung Putih pada 4 Februari 2025. Salah satu pager tersebut adalah pager emas, sementara yang lainnya adalah pager biasa. Pemberian tersebut diyakini terkait dengan serangan pager yang terjadi di Lebanon pada September 2024.

Saluran berita Israel, Channel 12 News, melaporkan bahwa sebagai balasan, Trump memberikan hadiah berupa foto bersama Netanyahu yang diambil selama kunjungannya, disertai pesan: “Untuk Bibi, seorang pemimpin hebat.” Bibi adalah julukan akrab untuk Netanyahu.

Trump menggambarkan serangan pager yang terjadi di Lebanon sebagai “operasi luar biasa.” Serangan tersebut, yang terjadi pada 17 September 2024, melibatkan ledakan ribuan pager di seluruh Lebanon, menewaskan 14 orang dan melukai sekitar 3.000 lainnya. Keesokan harinya, serangan lanjutan menggunakan walkie-talkie juga terjadi, dengan 20 orang tewas, termasuk beberapa korban yang berada di pemakaman setelah serangan pertama.

Serangan tersebut ditujukan kepada anggota Hizbullah, meskipun banyak orang yang tidak terafiliasi dengan kelompok tersebut juga menjadi korban. Mayoritas korban yang terluka mengalami cedera parah di kepala dan perut, dan beberapa kehilangan penglihatan atau anggota tubuh, termasuk jari. Seorang anak berusia 10 tahun yang tewas di Lembah Bekaa menjadi salah satu korban, ketika pager ayahnya, seorang anggota Hizbullah, meledak. Juga terdapat laporan tentang anak dari anggota parlemen Hizbullah yang termasuk di antara korban yang tewas.

Senat AS Setujui Scott Bessent Sebagai Menteri Keuangan dalam Suara Pemungutan

Senat Amerika Serikat pada Senin mengonfirmasi pencalonan Scott Bessent sebagai Menteri Keuangan, dengan hasil pemungutan suara yang cukup signifikan, yaitu 68 suara mendukung dan 29 suara menolak. Proses konfirmasi ini berlangsung setelah Bessent menjalani sidang yang intens pada 16 Januari, di mana dia menyampaikan visinya untuk perekonomian Amerika di masa depan.

Bessent, yang kini berusia 62 tahun, mengungkapkan bahwa tujuan utamanya adalah untuk memulai “zaman keemasan” bagi perekonomian negara tersebut. Dalam pidatonya, dia menekankan perlunya kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk pengurangan pajak yang lebih besar untuk sektor-sektor utama dan peningkatan produksi energi domestik. Bessent menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan ini akan membuka peluang ekonomi baru, menciptakan lapangan pekerjaan, serta memastikan ketahanan ekonomi Amerika di tengah persaingan global yang semakin ketat.

Sebagai Menteri Keuangan yang baru, Bessent berjanji untuk mengelola anggaran negara dengan hati-hati, mengurangi beban regulasi yang memberatkan dunia usaha, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Senat AS mengonfirmasi pencalonannya setelah dia berhasil meyakinkan banyak anggota Senat tentang kemampuan dan visinya untuk memimpin departemen yang sangat krusial ini.

Bessent kini menjadi pejabat kelima yang disetujui Senat dalam kabinet Presiden Donald Trump, setelah Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Direktur CIA John Ratcliffe, Menteri Pertahanan Pete Hegseth, dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem. Dengan persetujuan ini, Bessent siap menghadapi tantangan besar dalam memperkuat ekonomi Amerika di masa mendatang.

Tanggapi Sanksi AS, Presiden Kolombia Petro Tingkatkan Tarif Impor 25% dan Dorong Ekspor Lokal

Presiden Kolombia Gustavo Petro mengumumkan bahwa negaranya akan menaikkan tarif barang impor dari Amerika Serikat sebesar 25 persen, sebagai respons terhadap sanksi yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Sanksi tersebut diumumkan pada 26 Januari 2025, setelah Kolombia menolak untuk menerima pesawat yang mengangkut migran yang dideportasi dari AS.

Trump menegaskan bahwa kebijakan sanksi ini merupakan langkah pertama dan memperingatkan Kolombia bahwa AS tidak akan membiarkan negara tersebut mengabaikan kewajiban untuk menerima warganya yang dideportasi. Selain itu, Trump juga memberlakukan larangan bagi pejabat Kolombia untuk memasuki AS, serta pembatasan visa untuk keluarga dan rekan dekat mereka, bersama dengan peningkatan pemeriksaan terhadap warga Kolombia di perbatasan.

Sebagai balasan, Petro menginstruksikan Menteri Perdagangan Luar Negeri untuk menaikkan tarif impor barang dari AS dan berfokus pada perluasan pasar ekspor Kolombia ke negara lain. Dia juga mendorong penggantian barang-barang impor dari AS dengan produk-produk lokal. Dalam sebuah pernyataan, Petro mengajak komunitas internasional di Kolombia untuk mempromosikan produk dalam negeri sebagai pengganti barang-barang Amerika yang akan mengalami kenaikan harga akibat tarif baru.

Sementara itu, dalam pidatonya sebagai Presiden ke-47 AS, Trump berjanji akan menghentikan imigrasi ilegal ke AS dan memulai proses ekstradisi migran yang tidak berdokumen ke negara asal mereka. Trump juga mengumumkan keadaan darurat nasional terkait situasi di perbatasan selatan AS.