JD Vance: Ukraina Sulit Menang, Trump Klaim Perang Bisa Dihindari

Wakil Presiden Amerika Serikat, JD Vance, menyatakan bahwa Ukraina tidak memiliki peluang untuk menang dalam konfliknya dengan Rusia, seperti yang telah terlihat sejak perang dimulai tiga tahun lalu. Menurutnya, situasi ini tidak akan terjadi jika Donald Trump masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada saat itu.

“Selama tiga tahun, Presiden Trump dan saya telah menyampaikan dua pandangan utama: pertama, perang ini tidak akan pecah jika Presiden Trump masih memimpin; kedua, baik Eropa, pemerintahan Biden, maupun Ukraina tidak memiliki jalan yang jelas menuju kemenangan,” tulis Vance melalui akun media sosial X pada Kamis.

Vance menekankan bahwa Washington sebenarnya memiliki pengaruh besar terhadap kedua pihak dalam konflik ini. Namun, ia menilai bahwa kebijakan pemerintahan Biden yang membiarkan perang terus berlanjut hanya akan berdampak negatif bagi semua pihak, termasuk Eropa dan Amerika Serikat sendiri.

Sementara itu, Donald Trump juga mengkritik Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, atas cara kepemimpinannya dalam menghadapi perang dengan Rusia.

“Saya menyayangi Ukraina, tetapi Zelenskyy telah melakukan pekerjaan yang buruk. Negaranya hancur, dan jutaan orang meninggal sia-sia. Anda tidak bisa mengakhiri perang tanpa berbicara dengan kedua belah pihak. Selama tiga tahun ini, mereka bahkan tidak mencoba untuk berbicara,” ujar Trump.

Trump juga menekankan pentingnya segera mencapai gencatan senjata demi mengembalikan stabilitas di Eropa dan Timur Tengah. Pernyataan ini ia sampaikan dalam sebuah pertemuan puncak investasi asing yang digelar di Miami.

Krisis Kemanusiaan Gaza: Israel Batasi Alat Berat, Evakuasi dan Pemulihan Terhambat

Israel hanya mengizinkan enam unit alat berat berukuran kecil untuk membersihkan reruntuhan di Jalur Gaza, sementara ratusan alat berat lain yang sangat dibutuhkan masih dilarang masuk. Akibatnya, upaya pemulihan di wilayah yang hancur akibat serangan Israel mengalami hambatan serius.

Ismail Thawabteh, Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, menyatakan bahwa beberapa alat berat yang diizinkan masuk bahkan dalam kondisi rusak dan memerlukan perbaikan serta suku cadang. Sementara itu, kebutuhan di lapangan jauh lebih besar, dengan perkiraan 500 unit alat berat diperlukan, termasuk buldoser, ekskavator, dan derek untuk membersihkan puing-puing, membuka jalan, serta mengevakuasi ribuan jenazah yang masih tertimbun.

Thawabteh menyoroti bahwa keterbatasan ini memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza. Ia juga mengkritik keputusan Israel, yang dianggapnya sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap penderitaan warga sipil di wilayah tersebut.

Di sisi lain, Hamas tengah berupaya menekan Israel melalui mediator dari Qatar dan Mesir agar mematuhi komitmen gencatan senjata yang telah disepakati. Gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari itu sejenak menghentikan konflik yang telah merenggut lebih dari 48.300 nyawa warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur di Gaza.

Sementara itu, pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga sedang menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait agresinya di wilayah tersebut.

Hamas Sepakati Pembebasan Sandera Israel dan Pertukaran Tahanan Palestina

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, mengumumkan akan membebaskan enam sandera Israel dan menyerahkan empat jenazah sandera dalam pekan ini. Langkah ini merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata di Gaza dan pertukaran tahanan dengan Israel yang telah disepakati kedua belah pihak.

Pemimpin Hamas di Gaza, Khalil Al-Hayya, menyatakan bahwa enam sandera tersebut akan dibebaskan pada Sabtu mendatang, sedangkan empat jenazah sandera, termasuk anggota keluarga Bibas, akan diserahkan pada Kamis.

“Sesuai perjanjian tahap pertama kesepakatan Gaza, enam sandera Israel akan dibebaskan pada Sabtu,” ujar Al-Hayya dalam pidatonya.

Dua di antara sandera yang akan dibebaskan adalah Hisham al-Sayed dan Avera Mengistu. Hamas juga berencana menyerahkan jenazah sandera lainnya dalam pekan berikutnya sebagai bagian dari perjanjian tersebut.

Menurut Al-Hayya, jumlah total sandera Israel yang akan dibebaskan dalam fase pertama kesepakatan ini mencapai 33 orang, yang terdiri dari 25 sandera hidup serta delapan jenazah sandera.

Ia menegaskan bahwa langkah ini merupakan upaya berkelanjutan Hamas dalam memastikan keberhasilan gencatan senjata serta membuka peluang negosiasi tahap kedua melalui mediasi.

Sementara itu, Israel telah membebaskan 1.135 tahanan Palestina sebagai bagian dari kesepakatan. Pekan depan, pemerintah Israel juga dijadwalkan akan membebaskan tambahan 502 tahanan Palestina untuk melanjutkan proses pertukaran tahanan yang telah disepakati.

Kesepakatan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan di Gaza serta menjadi langkah awal menuju solusi damai yang lebih berkelanjutan di kawasan tersebut.

Netanyahu Menolak Bantuan Kemanusiaan Masuk Gaza Meski Ada Gencatan Senjata

Benjamin Netanyahu, Pemimpin Israel, menolak memberikan izin untuk memasukkan bantuan berupa rumah mobil dan alat berat ke Jalur Gaza meskipun telah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Laporan media pada Minggu, yang dikutip dari penyiaran publik KAN, mengungkapkan bahwa Netanyahu menahan izin bagi alat berat untuk membersihkan reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan militer Israel di Gaza. Keputusan ini menambah ketegangan dalam situasi kemanusiaan yang semakin memprihatinkan di wilayah tersebut.

Sebelumnya, Palestina menuding Israel telah melanggar protokol kemanusiaan yang disepakati dalam gencatan senjata. Israel dianggap menahan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, seperti tenda, rumah mobil, dan alat berat untuk membersihkan reruntuhan yang mengancam keselamatan warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal akibat agresi militer Israel.

Gaza saat ini berada dalam kondisi yang sangat hancur setelah serangan Israel, yang menyebabkan ribuan warga Palestina kehilangan rumah mereka. Pada Sabtu lalu, kelompok perlawanan Palestina, Hamas, melepaskan tiga sandera Israel setelah memperoleh jaminan dari mediator bahwa bantuan kemanusiaan, termasuk rumah mobil dan alat berat, akan diizinkan masuk ke Gaza.

Selama tahap pertama gencatan senjata yang dimediasi, sebanyak 19 warga Israel dan lima pekerja Thailand yang disandera oleh Hamas dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan tersebut. Sebagai imbalannya, Israel juga melepaskan 1.135 warga Palestina yang ditahan di penjara Israel. Konflik yang berlangsung telah memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, dan keputusan Netanyahu semakin mempersulit upaya bantuan bagi para korban.

Krisis Kemanusiaan di Gaza Memburuk, Kantor Media Gaza Desak Israel Patuhi Kesepakatan Gencatan Senjata

Kantor Media Pemerintah Gaza mendesak komunitas internasional untuk menekan Israel agar mematuhi protokol kemanusiaan dalam perjanjian gencatan senjata dengan Hamas. Mereka memperingatkan bahwa keterlambatan dalam implementasi perjanjian ini berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan yang semakin parah.

Direktur Kantor Media Gaza, Ismail Al-Thawabta, menyoroti bahwa meskipun terdapat kesepakatan yang jelas mengenai bantuan kemanusiaan, Israel terus gagal memenuhi komitmennya. Akibatnya, terjadi kelangkaan pangan, air bersih, dan pasokan medis yang mengancam keselamatan ribuan warga Palestina.

Al-Thawabta menegaskan bahwa keterlambatan pengiriman bantuan telah meningkatkan angka malnutrisi, terutama di kalangan anak-anak. Selain itu, persediaan medis yang semakin menipis memperburuk situasi di rumah sakit, mengancam nyawa ribuan pasien. Dalam kesepakatan yang disepakati, seharusnya terdapat pengiriman 60.000 karavan, 200.000 tenda, serta 600 truk bantuan setiap hari, tetapi penundaan telah menyebabkan puluhan ribu warga Palestina kehilangan tempat tinggal.

Selain itu, infrastruktur di Gaza semakin memburuk akibat keterbatasan pengiriman peralatan kemanusiaan, medis, serta alat pertahanan sipil. Al-Thawabta juga mengungkapkan bahwa pasokan bahan bakar yang terhambat telah menyebabkan pembangkit listrik berhenti beroperasi, mengakibatkan pemadaman listrik yang berkepanjangan serta memengaruhi layanan penting seperti rumah sakit dan pompa air.

Lebih lanjut, ia menyoroti dampak buruk dari pengungsian massal akibat serangan udara Israel serta penghancuran fasilitas pendidikan. Hal ini tidak hanya menyebabkan kehilangan tempat tinggal, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan mental warga sipil, terutama wanita, anak-anak, dan lansia.

Al-Thawabta menegaskan bahwa tindakan Israel melanggar hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa, yang mengatur perlindungan warga sipil serta menjamin pengiriman bantuan selama konflik. Ia mendesak komunitas internasional untuk bertindak lebih tegas dalam menekan Israel agar menjalankan kewajibannya, sekaligus meminta pertanggungjawaban Amerika Serikat atas konsekuensi dari ketidakpatuhan Israel terhadap kesepakatan gencatan senjata.

Pernyataan ini muncul setelah Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan penundaan pembebasan tahanan Israel yang semula dijadwalkan pada Sabtu. Keputusan tersebut diambil sebagai bentuk respons atas pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata.

Bangkit dari Reruntuhan: Warga Gaza Mulai Membangun Kehidupan Pasca-Gencatan Senjata

Setelah gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang mulai berlaku pada 19 Januari, warga Palestina di Jalur Gaza menghadapi tantangan berat dalam proses pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan mereka. Meskipun penghentian pertempuran memberikan sedikit kelegaan, dampak yang ditinggalkan oleh konflik berbulan-bulan itu sangat menghancurkan. Infrastruktur yang rusak parah di Gaza—termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, dan jalan—menciptakan tantangan besar bagi masyarakat yang mencoba untuk memulai kembali kehidupan mereka.

Pembangunan kembali menjadi sangat rumit karena adanya kekurangan sumber daya yang diperlukan, serta tingginya jumlah pengungsi yang tinggal di kamp-kamp darurat yang penuh sesak. Ratusan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi setelah kehilangan rumah mereka, dan banyak yang harus bertahan hidup di tenda-tenda sementara. Kehidupan di kamp-kamp tersebut sangat sulit, dengan keterbatasan dalam akses terhadap pangan, air bersih, dan perawatan medis.

Pemerintah Palestina, bersama dengan organisasi internasional, berusaha memberikan bantuan, tetapi tantangan logistik dan ketidakstabilan situasi di lapangan membuat upaya tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Masyarakat Gaza juga menghadapi masalah tambahan terkait infrastruktur yang rusak parah, sehingga akses terhadap listrik dan layanan dasar lainnya semakin terbatas.

Pemerintah dan lembaga bantuan internasional berusaha keras untuk memastikan bantuan sampai ke tangan yang membutuhkan, namun hambatan keamanan dan logistik menjadi tantangan besar. Warga Gaza menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, dan pemulihan ekonomi serta sosial diperkirakan akan memakan waktu yang sangat lama. Meskipun ada harapan, langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kondisi kehidupan dan membangun kembali Gaza masih jauh dari kenyataan.

Lebanon Gugat Israel ke DK PBB: Pelanggaran Gencatan Senjata dan Resolusi 1701 Makin Parah

Pemerintah Lebanon resmi mengajukan keluhan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada Selasa terkait pelanggaran yang terus-menerus dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata dan Resolusi PBB 1701.

Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Lebanon, keluhan tersebut disampaikan melalui misi tetap Lebanon di New York sebagai bentuk respons atas serangkaian tindakan Israel yang melanggar Resolusi 1701 serta deklarasi penghentian permusuhan. Selain itu, Israel juga dinilai mengabaikan seluruh perjanjian keamanan yang telah disepakati.

Resolusi 1701, yang diadopsi pada 11 Agustus 2006, menetapkan penghentian total permusuhan antara Israel dan Hizbullah. Resolusi ini juga mengatur pembentukan zona bebas senjata di antara Garis Biru (Blue Line) dan Sungai Litani di Lebanon selatan, kecuali bagi tentara Lebanon dan pasukan perdamaian UNIFIL.

Kementerian Luar Negeri Lebanon merinci berbagai pelanggaran yang dilakukan Israel di wilayah selatan negara itu. Beberapa di antaranya mencakup serangan udara dan darat, penghancuran rumah serta pemukiman, penculikan warga Lebanon termasuk anggota militer, serta serangan terhadap warga sipil yang tengah berusaha kembali ke desa-desa mereka di perbatasan.

Lebanon juga menuduh Israel menyerang patroli militer mereka dan para jurnalis, serta menghapus lima penanda perbatasan di sepanjang Garis Biru yang merupakan batas de facto kedua negara.

Keluhan tersebut menegaskan bahwa tindakan Israel adalah pelanggaran serius terhadap Resolusi 1701 serta bentuk nyata dari pelanggaran kedaulatan Lebanon. Oleh karena itu, Lebanon meminta Dewan Keamanan PBB dan pihak-pihak yang mendukung gencatan senjata untuk mengambil tindakan tegas guna menghentikan agresi Israel, serta memperkuat peran militer Lebanon dan pasukan UNIFIL di wilayah konflik.

Gencatan senjata yang rapuh telah berlaku sejak 27 November 2024, setelah ketegangan antara Israel dan Hizbullah memuncak sejak 8 Oktober 2023 dan berkembang menjadi konflik berskala besar pada 23 September 2024.

Media Lebanon melaporkan bahwa sejak kesepakatan gencatan senjata diberlakukan, Israel telah melakukan lebih dari 830 pelanggaran. Sementara itu, Israel seharusnya menyelesaikan penarikan pasukannya dari Lebanon pada 26 Januari 2025 sesuai dengan kesepakatan, tetapi menolak untuk mematuhi tenggat waktu. Akibatnya, proses penarikan diperpanjang hingga 18 Februari 2025, menurut keterangan dari Gedung Putih.

Sejak 26 Januari 2025, setidaknya 26 orang tewas dan 221 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan Israel terhadap warga yang berusaha kembali ke rumah mereka di Lebanon selatan.

Lebanon Kerahkan Pasukan ke Selatan sebagai Tanggapan atas Serangan Israel yang Meningkat

Pada Sabtu (1/2), Lebanon mengumumkan bahwa mereka telah mengerahkan pasukan ke wilayah selatan negara tersebut sebagai respons terhadap serangan Israel yang semakin meningkat. Keputusan ini diambil setelah koordinasi dengan Komite Kuartet yang bertugas mengawasi perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya.

Menurut pernyataan militer Lebanon, pengerahan pasukan tersebut merupakan langkah yang diambil untuk menanggapi “agresi Israel yang terus berlanjut.” Laporan militer juga menyebutkan bahwa Israel telah membakar sejumlah rumah di beberapa kota dan melancarkan dua serangan udara yang menargetkan “kendaraan pengangkut jenazah para syuhada.”

Pihak militer Lebanon mengimbau masyarakat untuk mengikuti instruksi dari pasukan yang dikerahkan dan bekerja sama dengan otoritas setempat demi menjaga keselamatan mereka di tengah ketegangan yang sedang berlangsung.

Sesuai dengan kesepakatan gencatan senjata, Israel seharusnya sudah menarik pasukannya dari Lebanon pada 26 Januari. Namun, mereka menolak untuk memenuhi kewajiban tersebut. Sebagai hasilnya, batas waktu penarikan pasukan Israel diperpanjang hingga 18 Februari, seperti yang diumumkan oleh pemerintah AS.

Sejak 26 Januari, lebih dari 26 orang dilaporkan tewas dan 221 lainnya terluka akibat serangan Israel, sementara banyak penduduk yang berusaha kembali ke desa mereka di Lebanon selatan. Gencatan senjata yang disepakati sebelumnya mengakhiri perang yang berlangsung sejak Oktober 2023 antara Israel dan kelompok perlawanan Hizbullah, yang telah merenggut lebih dari 4.000 nyawa warga Lebanon.

Hamas dan Iran Bahas Perkembangan Gencatan Senjata Gaza, Tekankan Dukungan Perjuangan Palestina

Delegasi senior Hamas yang dipimpin oleh Ketua Dewan Syura, Mohamed Darwish, mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, pada Kamis di Doha, Qatar. Pertemuan tersebut membahas perkembangan terbaru mengenai gencatan senjata di Gaza, pertukaran tahanan, serta tantangan politik dan kemanusiaan yang dihadapi rakyat Palestina.

Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan bahwa diskusi mencakup upaya Israel dalam menghambat rekonstruksi Gaza serta pentingnya bantuan kemanusiaan yang terus mengalir bagi warga terdampak. Darwish juga menyampaikan apresiasi terhadap dukungan Iran terhadap perjuangan Palestina, menyebut Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 sebagai momen krusial dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel.

“Upaya Israel untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka melalui kekerasan dan agresi tidak akan berhasil. Kami tetap teguh dalam mempertahankan hak kami atas Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa,” ujar Darwish.

Di sisi lain, Abbas Araghchi menegaskan kembali komitmen Iran dalam mendukung perjuangan Palestina, baik dalam aspek politik maupun kemanusiaan.

Perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku pada 19 Januari, dengan durasi awal 42 hari dan opsi perpanjangan melalui negosiasi lanjutan. Kesepakatan ini dimediasi oleh Mesir dan Qatar dengan dukungan Amerika Serikat.

Sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2023, lebih dari 47.400 warga Palestina—mayoritas perempuan dan anak-anak—tewas, sementara lebih dari 111.000 lainnya mengalami luka-luka. Selain itu, lebih dari 11.000 orang dinyatakan hilang, sementara infrastruktur Gaza mengalami kehancuran luas, memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang berlangsung di Gaza.

Pembebasan Lima Sandera Thailand di Gaza: Terima Kasih Kepada Mediator dan Dukungan Internasional

Pada hari Kamis, pemerintah Thailand mengonfirmasi pembebasan lima warganya yang telah disandera sejak Oktober 2023 di Gaza. Kementerian Luar Negeri Thailand mengungkapkan rasa terima kasih mendalam kepada para mediator yang telah berperan penting dalam membebaskan sandera-sandera tersebut, dengan menyatakan apresiasi atas upaya mereka yang luar biasa. Konfirmasi pembebasan ini diterima melalui Kedutaan Besar Thailand di Tel Aviv.

Menurut kementerian, kelima sandera tersebut saat ini sedang dipindahkan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Pejabat dari Kedutaan Besar dan Kementerian Luar Negeri Thailand juga akan segera melakukan perjalanan untuk mendampingi mereka dan menghubungi keluarga mereka di Thailand. Operasi pembebasan ini dilaksanakan oleh Organisasi Intelijen Nasional Turki (MIT), yang bekerja atas instruksi langsung dari Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang terlibat aktif dalam upaya diplomatik untuk meredakan konflik di Gaza.

Pemerintah Thailand juga mengucapkan terima kasih kepada negara-negara seperti Qatar, Mesir, Iran, Turki, AS, dan negara-negara sahabat lainnya, serta kepada Komite Internasional Palang Merah yang telah memainkan peran kunci dalam pembebasan para sandera. Selain itu, Thailand menyampaikan apresiasi kepada Israel yang merawat para sandera dan memfasilitasi kembalinya mereka. Pemerintah Thailand juga menyerukan pembebasan segera sandera-sandera lainnya, termasuk seorang warga negara Thailand yang masih tertahan di Gaza.

Dalam perkembangan terpisah, Hamas juga membebaskan tiga sandera Israel dalam pertukaran ketiga yang dilakukan di bawah gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari. Gencatan senjata ini telah menghentikan kekerasan yang telah merenggut lebih dari 47.000 nyawa warga Palestina, sebagian besar di antaranya adalah wanita dan anak-anak, dan menyebabkan kehancuran besar di Gaza.