Hamas Sepakati Pembebasan Sandera Israel dan Pertukaran Tahanan Palestina

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, mengumumkan akan membebaskan enam sandera Israel dan menyerahkan empat jenazah sandera dalam pekan ini. Langkah ini merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata di Gaza dan pertukaran tahanan dengan Israel yang telah disepakati kedua belah pihak.

Pemimpin Hamas di Gaza, Khalil Al-Hayya, menyatakan bahwa enam sandera tersebut akan dibebaskan pada Sabtu mendatang, sedangkan empat jenazah sandera, termasuk anggota keluarga Bibas, akan diserahkan pada Kamis.

“Sesuai perjanjian tahap pertama kesepakatan Gaza, enam sandera Israel akan dibebaskan pada Sabtu,” ujar Al-Hayya dalam pidatonya.

Dua di antara sandera yang akan dibebaskan adalah Hisham al-Sayed dan Avera Mengistu. Hamas juga berencana menyerahkan jenazah sandera lainnya dalam pekan berikutnya sebagai bagian dari perjanjian tersebut.

Menurut Al-Hayya, jumlah total sandera Israel yang akan dibebaskan dalam fase pertama kesepakatan ini mencapai 33 orang, yang terdiri dari 25 sandera hidup serta delapan jenazah sandera.

Ia menegaskan bahwa langkah ini merupakan upaya berkelanjutan Hamas dalam memastikan keberhasilan gencatan senjata serta membuka peluang negosiasi tahap kedua melalui mediasi.

Sementara itu, Israel telah membebaskan 1.135 tahanan Palestina sebagai bagian dari kesepakatan. Pekan depan, pemerintah Israel juga dijadwalkan akan membebaskan tambahan 502 tahanan Palestina untuk melanjutkan proses pertukaran tahanan yang telah disepakati.

Kesepakatan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan di Gaza serta menjadi langkah awal menuju solusi damai yang lebih berkelanjutan di kawasan tersebut.

Netanyahu Menolak Bantuan Kemanusiaan Masuk Gaza Meski Ada Gencatan Senjata

Benjamin Netanyahu, Pemimpin Israel, menolak memberikan izin untuk memasukkan bantuan berupa rumah mobil dan alat berat ke Jalur Gaza meskipun telah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Laporan media pada Minggu, yang dikutip dari penyiaran publik KAN, mengungkapkan bahwa Netanyahu menahan izin bagi alat berat untuk membersihkan reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan militer Israel di Gaza. Keputusan ini menambah ketegangan dalam situasi kemanusiaan yang semakin memprihatinkan di wilayah tersebut.

Sebelumnya, Palestina menuding Israel telah melanggar protokol kemanusiaan yang disepakati dalam gencatan senjata. Israel dianggap menahan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, seperti tenda, rumah mobil, dan alat berat untuk membersihkan reruntuhan yang mengancam keselamatan warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal akibat agresi militer Israel.

Gaza saat ini berada dalam kondisi yang sangat hancur setelah serangan Israel, yang menyebabkan ribuan warga Palestina kehilangan rumah mereka. Pada Sabtu lalu, kelompok perlawanan Palestina, Hamas, melepaskan tiga sandera Israel setelah memperoleh jaminan dari mediator bahwa bantuan kemanusiaan, termasuk rumah mobil dan alat berat, akan diizinkan masuk ke Gaza.

Selama tahap pertama gencatan senjata yang dimediasi, sebanyak 19 warga Israel dan lima pekerja Thailand yang disandera oleh Hamas dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan tersebut. Sebagai imbalannya, Israel juga melepaskan 1.135 warga Palestina yang ditahan di penjara Israel. Konflik yang berlangsung telah memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, dan keputusan Netanyahu semakin mempersulit upaya bantuan bagi para korban.

Krisis Kemanusiaan di Gaza Memburuk, Kantor Media Gaza Desak Israel Patuhi Kesepakatan Gencatan Senjata

Kantor Media Pemerintah Gaza mendesak komunitas internasional untuk menekan Israel agar mematuhi protokol kemanusiaan dalam perjanjian gencatan senjata dengan Hamas. Mereka memperingatkan bahwa keterlambatan dalam implementasi perjanjian ini berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan yang semakin parah.

Direktur Kantor Media Gaza, Ismail Al-Thawabta, menyoroti bahwa meskipun terdapat kesepakatan yang jelas mengenai bantuan kemanusiaan, Israel terus gagal memenuhi komitmennya. Akibatnya, terjadi kelangkaan pangan, air bersih, dan pasokan medis yang mengancam keselamatan ribuan warga Palestina.

Al-Thawabta menegaskan bahwa keterlambatan pengiriman bantuan telah meningkatkan angka malnutrisi, terutama di kalangan anak-anak. Selain itu, persediaan medis yang semakin menipis memperburuk situasi di rumah sakit, mengancam nyawa ribuan pasien. Dalam kesepakatan yang disepakati, seharusnya terdapat pengiriman 60.000 karavan, 200.000 tenda, serta 600 truk bantuan setiap hari, tetapi penundaan telah menyebabkan puluhan ribu warga Palestina kehilangan tempat tinggal.

Selain itu, infrastruktur di Gaza semakin memburuk akibat keterbatasan pengiriman peralatan kemanusiaan, medis, serta alat pertahanan sipil. Al-Thawabta juga mengungkapkan bahwa pasokan bahan bakar yang terhambat telah menyebabkan pembangkit listrik berhenti beroperasi, mengakibatkan pemadaman listrik yang berkepanjangan serta memengaruhi layanan penting seperti rumah sakit dan pompa air.

Lebih lanjut, ia menyoroti dampak buruk dari pengungsian massal akibat serangan udara Israel serta penghancuran fasilitas pendidikan. Hal ini tidak hanya menyebabkan kehilangan tempat tinggal, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan mental warga sipil, terutama wanita, anak-anak, dan lansia.

Al-Thawabta menegaskan bahwa tindakan Israel melanggar hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa, yang mengatur perlindungan warga sipil serta menjamin pengiriman bantuan selama konflik. Ia mendesak komunitas internasional untuk bertindak lebih tegas dalam menekan Israel agar menjalankan kewajibannya, sekaligus meminta pertanggungjawaban Amerika Serikat atas konsekuensi dari ketidakpatuhan Israel terhadap kesepakatan gencatan senjata.

Pernyataan ini muncul setelah Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan penundaan pembebasan tahanan Israel yang semula dijadwalkan pada Sabtu. Keputusan tersebut diambil sebagai bentuk respons atas pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata.

Hamas Dukung Pembentukan The Hague Group untuk Perjuangan Palestina

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pembentukan The Hague Group sebagai langkah strategis penting di tingkat internasional untuk mengakhiri pendudukan Israel di Gaza. Kelompok ini, yang terdiri dari negara-negara seperti Afrika Selatan, Malaysia, Namibia, Kolombia, Bolivia, Chili, Senegal, Honduras, dan Belize, bertujuan mengoordinasikan langkah-langkah hukum, diplomatik, dan ekonomi terhadap Israel yang dianggap telah melakukan pelanggaran hukum internasional.

Hamas dalam pernyataan resminya mengungkapkan rasa terima kasih terhadap inisiatif negara-negara tersebut dan menegaskan bahwa pembentukan The Hague Group merupakan bagian dari upaya mengakhiri pendudukan Zionis di Palestina serta mendukung hak rakyat Palestina untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri. Hamas juga menekankan bahwa agar sistem pendudukan Zionis bisa berakhir, biaya dari pendudukan tersebut harus diperberat dan Israel harus diisolasi secara global, mengingatkan pada apa yang terjadi dengan rezim apartheid Afrika Selatan.

Kelompok ini juga menegaskan bahwa keadilan internasional harus ditegakkan terhadap para pelaku kejahatan perang Zionis, serupa dengan apa yang dilakukan terhadap para pemimpin Nazi. Hamas mengajak negara-negara di dunia untuk bergabung dengan The Hague Group, mendukung perjuangan kemanusiaan di Palestina, dan mengembalikan kredibilitas hukum internasional yang telah dilanggar.

Pada pertemuan di Den Haag, Belanda, yang diselenggarakan oleh Progressive International, negara-negara ini mengecam tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza dan wilayah Palestina yang diduduki. Negara-negara tersebut juga menegaskan komitmennya untuk menentang kejahatan internasional tersebut dan memastikan keadilan tercapai.

Hamas dan Iran Bahas Perkembangan Gencatan Senjata Gaza, Tekankan Dukungan Perjuangan Palestina

Delegasi senior Hamas yang dipimpin oleh Ketua Dewan Syura, Mohamed Darwish, mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, pada Kamis di Doha, Qatar. Pertemuan tersebut membahas perkembangan terbaru mengenai gencatan senjata di Gaza, pertukaran tahanan, serta tantangan politik dan kemanusiaan yang dihadapi rakyat Palestina.

Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan bahwa diskusi mencakup upaya Israel dalam menghambat rekonstruksi Gaza serta pentingnya bantuan kemanusiaan yang terus mengalir bagi warga terdampak. Darwish juga menyampaikan apresiasi terhadap dukungan Iran terhadap perjuangan Palestina, menyebut Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 sebagai momen krusial dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel.

“Upaya Israel untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka melalui kekerasan dan agresi tidak akan berhasil. Kami tetap teguh dalam mempertahankan hak kami atas Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa,” ujar Darwish.

Di sisi lain, Abbas Araghchi menegaskan kembali komitmen Iran dalam mendukung perjuangan Palestina, baik dalam aspek politik maupun kemanusiaan.

Perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku pada 19 Januari, dengan durasi awal 42 hari dan opsi perpanjangan melalui negosiasi lanjutan. Kesepakatan ini dimediasi oleh Mesir dan Qatar dengan dukungan Amerika Serikat.

Sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2023, lebih dari 47.400 warga Palestina—mayoritas perempuan dan anak-anak—tewas, sementara lebih dari 111.000 lainnya mengalami luka-luka. Selain itu, lebih dari 11.000 orang dinyatakan hilang, sementara infrastruktur Gaza mengalami kehancuran luas, memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang berlangsung di Gaza.

Pembebasan Lima Sandera Thailand di Gaza: Terima Kasih Kepada Mediator dan Dukungan Internasional

Pada hari Kamis, pemerintah Thailand mengonfirmasi pembebasan lima warganya yang telah disandera sejak Oktober 2023 di Gaza. Kementerian Luar Negeri Thailand mengungkapkan rasa terima kasih mendalam kepada para mediator yang telah berperan penting dalam membebaskan sandera-sandera tersebut, dengan menyatakan apresiasi atas upaya mereka yang luar biasa. Konfirmasi pembebasan ini diterima melalui Kedutaan Besar Thailand di Tel Aviv.

Menurut kementerian, kelima sandera tersebut saat ini sedang dipindahkan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Pejabat dari Kedutaan Besar dan Kementerian Luar Negeri Thailand juga akan segera melakukan perjalanan untuk mendampingi mereka dan menghubungi keluarga mereka di Thailand. Operasi pembebasan ini dilaksanakan oleh Organisasi Intelijen Nasional Turki (MIT), yang bekerja atas instruksi langsung dari Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang terlibat aktif dalam upaya diplomatik untuk meredakan konflik di Gaza.

Pemerintah Thailand juga mengucapkan terima kasih kepada negara-negara seperti Qatar, Mesir, Iran, Turki, AS, dan negara-negara sahabat lainnya, serta kepada Komite Internasional Palang Merah yang telah memainkan peran kunci dalam pembebasan para sandera. Selain itu, Thailand menyampaikan apresiasi kepada Israel yang merawat para sandera dan memfasilitasi kembalinya mereka. Pemerintah Thailand juga menyerukan pembebasan segera sandera-sandera lainnya, termasuk seorang warga negara Thailand yang masih tertahan di Gaza.

Dalam perkembangan terpisah, Hamas juga membebaskan tiga sandera Israel dalam pertukaran ketiga yang dilakukan di bawah gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari. Gencatan senjata ini telah menghentikan kekerasan yang telah merenggut lebih dari 47.000 nyawa warga Palestina, sebagian besar di antaranya adalah wanita dan anak-anak, dan menyebabkan kehancuran besar di Gaza.

Judul: Israel Ultimatum Gaza: Jika Negosiasi Gagal, Perang Akan Berlanjut

Israel memberikan ultimatum kepada Hamas terkait kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Jumat (17/1) menyatakan bahwa jika negosiasi fase kedua gagal, Israel siap kembali melancarkan serangan militer di Gaza.

Kesepakatan tersebut mencakup negosiasi fase kedua yang dijadwalkan dimulai pada hari ke-16 dari fase pertama, yaitu Minggu (19/1), dengan durasi hingga 42 hari. Dalam tahap ini, pasukan Israel akan mundur dari wilayah permukiman di Gaza, sementara 33 sandera Israel akan dibebaskan sebagai imbalan sejumlah tahanan Palestina.

Kabinet keamanan Israel telah menyetujui kesepakatan ini pada Jumat, tetapi Netanyahu menegaskan bahwa dukungan dari Amerika Serikat telah diperoleh jika Hamas tidak memenuhi tuntutan keamanan Israel. Pernyataan Netanyahu ini juga bertujuan meredam ancaman Menteri Keuangan Bezalel Smotrich yang mengancam menarik dukungan dari pemerintah jika kesepakatan tersebut tidak disertai tindakan tegas terhadap Hamas.

Sementara itu, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir menyatakan bahwa partainya akan meninggalkan pemerintahan jika kabinet menyetujui kesepakatan tersebut.

Qatar, sebagai mediator, mengumumkan kesepakatan tiga fase pada Rabu sebelumnya untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih dari 15 bulan di Gaza. Konflik ini telah menewaskan lebih dari 46.000 orang dan meninggalkan Gaza dalam kehancuran.

Di sisi lain, Netanyahu menghadapi tekanan internasional, termasuk surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait operasi militernya di wilayah tersebut.

Perayaan Gencatan Senjata di Dunia Arab: Solidaritas untuk Gaza!

Pada Rabu (15/1), sejumlah negara di dunia Arab merayakan pengumuman kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Di Yordania, ibu kota Amman menjadi pusat perayaan, dengan parade mobil yang mengibarkan bendera Palestina dan menyuarakan dukungan untuk perlawanan di Gaza. Sebagian orang membagikan permen sambil mengenakan kefiyeh Palestina, seraya mengucapkan seruan, “Kemenangan untuk kita!” dan “Semoga Allah memberikan kekuatan kepada mereka!” sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang Gaza.

Di Maroko, kota Tangier dan Rabat juga menggelar pawai meriah, dengan banyak orang membawa foto Masjid Al-Aqsa dan bendera Palestina. Sementara itu, pawai serupa terjadi di wilayah Tepi Barat, termasuk Ramallah, Hebron, dan Nablus, dengan seruan mengagungkan perjuangan Gaza dan pemimpin mereka, Yahya Sinwar, yang gugur akibat serangan Israel.

Media sosial dipenuhi dengan video kebahagiaan, kembang api, dan doa dari masjid. Suriah, khususnya Aleppo dan Hama, turut merayakan dengan kerumunan yang melambaikan bendera Palestina dan berteriak, “Gaza, kami bersamamu hingga akhir!” Kamp pengungsi Palestina di Lebanon, seperti di Beirut, Sidon, dan Tripoli, juga ramai dengan suara tembakan, kembang api, dan seruan solidaritas.

Di Tunisia, sebuah aksi demonstrasi besar berlangsung di depan teater kota Tunis, dengan para peserta meneriakkan seruan seperti “Gaza, lambang kebanggaan” dan “Tidak ada kepentingan Zionis di tanah Tunisia,” sambil mengibarkan bendera Palestina. Di Doha, Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, mengumumkan secara resmi kesepakatan gencatan senjata yang mencakup pertukaran tahanan, penarikan pasukan Israel dari Gaza, serta rencana perdamaian yang akan mulai berlaku pada hari Minggu (19/1).

Serangan Udara Israel Targetkan Kepala Keamanan Internal Hamas di Gaza

Pada hari Kamis, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengonfirmasi bahwa serangan udara yang dilancarkan mereka berhasil menewaskan Hussam Shawan, kepala aparat keamanan internal Hamas. Shawan memiliki peran kunci dalam mengawasi dan melaksanakan interogasi terhadap penduduk Jalur Gaza, serta dikenal karena terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan terhadap lawan-lawan politik Hamas di wilayah tersebut.

Menurut IDF, Shawan juga memiliki tanggung jawab dalam mengumpulkan dan menyebarkan intelijen terkait operasi pasukan Israel di Gaza, yang turut mendukung aktivitas militer Hamas dalam melawan Israel. Shawan ditemukan tewas saat bersembunyi di zona kemanusiaan Khan Yunis, dan IDF menegaskan bahwa mereka menggunakan teknologi pengawasan udara serta amunisi presisi untuk meminimalkan risiko kerusakan pada warga sipil selama serangan tersebut.

Selain itu, militer Israel mengklaim bahwa Hamas secara sistematis melanggar hukum internasional dengan memanfaatkan fasilitas sipil, termasuk tempat perlindungan sipil dan penduduk Gaza, sebagai perisai manusia dalam melancarkan serangan teror terhadap pasukan Israel. Hal ini dianggap sebagai strategi untuk melindungi diri mereka dari serangan udara Israel dan meningkatkan potensi kerugian bagi pihak sipil di Gaza.

Serangan brutal yang dilakukan oleh Hamas pada 7 Oktober lalu terhadap sejumlah komunitas Israel di dekat perbatasan Gaza mengakibatkan lebih dari 1.200 orang tewas dan menyebabkan 252 warga Israel serta orang asing disandera. Beberapa di antara mereka masih dalam kondisi tertawan. Selain itu, Hamas juga menahan dua warga sipil Israel serta jenazah dua tentara Israel sejak tahun 2014 dan 2015, yang menambah ketegangan dan kompleksitas situasi antara kedua pihak.

IDF terus berupaya untuk mengurangi dampak terhadap warga sipil dalam operasi mereka, meskipun situasi di Gaza tetap sangat rawan, dengan serangan yang masih berlangsung hingga saat ini.

Israel Tegaskan Kontrol atas Gaza di Tengah Negosiasi Sandera yang Rumit

Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menegaskan bahwa negaranya akan terus mempertahankan kontrol keamanan di Jalur Gaza. Dalam pernyataannya pada Rabu (25/12/2024) malam, ia juga mengumumkan rencana pembangunan zona-zona keamanan dan penyangga untuk memastikan perlindungan bagi Israel.

Pernyataan ini disampaikan di tengah negosiasi sensitif yang melibatkan kesepakatan pertukaran sandera dan gencatan senjata. Upaya ini berbeda dengan pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang sebelumnya berfokus pada pembebasan tawanan Israel di Gaza.

Saat mengunjungi Koridor Philadelphia di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir, bersama sejumlah pejabat militer senior, Katz mengapresiasi kinerja para komandan dan tentara yang dianggapnya berkontribusi besar terhadap keamanan Israel dan menciptakan peluang untuk pembebasan sandera. Katz juga menegaskan bahwa militer Israel akan terus memegang kendali atas Gaza untuk mengantisipasi ancaman di masa depan, termasuk infrastruktur militer seperti terowongan yang dimanfaatkan oleh kelompok perlawanan Palestina.

Katz menegaskan bahwa pemerintah Israel memiliki dua tujuan utama: membebaskan seluruh tawanan dan mengalahkan Hamas. Ia bersumpah bahwa Hamas tidak akan lagi memiliki kendali, baik secara politik maupun militer, di Gaza.

Negosiasi yang dimediasi oleh Mesir dan Qatar ini menghadapi banyak kendala. Hamas menuduh Israel memperkenalkan syarat-syarat baru terkait gencatan senjata, pertukaran sandera, dan pemulangan warga Palestina yang mengungsi, sehingga memperlambat tercapainya kesepakatan. Hamas menyatakan bahwa pembicaraan di Doha berlangsung serius dengan menunjukkan “tanggung jawab dan fleksibilitas,” namun klaim ini dibantah oleh kantor Netanyahu, yang menuduh Hamas menimbulkan hambatan baru.

Sementara itu, tuntutan Hamas mencakup penarikan penuh Israel dari Gaza dan penghentian semua tindakan permusuhan sebagai prasyarat untuk kesepakatan. Di sisi lain, Netanyahu dilaporkan ingin mempertahankan kontrol penuh atas Koridor Philadelphia, Penyeberangan Rafah, dan melakukan pemeriksaan ketat terhadap pengungsi yang kembali melalui Koridor Netzarim.

Krisis ini semakin memanas dengan fakta bahwa Israel menahan lebih dari 10.300 warga Palestina, sementara Hamas masih menahan sekitar 100 tawanan Israel. Serangan udara Israel yang intens juga disebut telah menewaskan puluhan tawanan Israel di Gaza. Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, perang di Gaza telah merenggut nyawa hampir 45.400 orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak.

Israel kini menghadapi tekanan internasional, termasuk surat perintah penangkapan yang dikeluarkan Mahkamah Pidana Internasional terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang di Gaza. Selain itu, kasus genosida yang diajukan terhadap Israel sedang berlangsung di Mahkamah Internasional.