Lebanon Selatan: Idul Fitri yang Terpaut oleh Konflik dan Ketegangan

Idul Fitri tahun ini di Lebanon selatan terasa sangat berbeda, karena kota-kota dan desa-desa terus menjadi sasaran serangan udara Israel meskipun sudah ada perjanjian gencatan senjata. Sebagai ganti perayaan kemenangan yang biasanya meriah, sebagian besar warga menghabiskan liburan dengan rasa khawatir, berdoa untuk keluarga dan teman-teman yang telah meninggal dalam pertempuran yang berlangsung tanpa henti. Kehidupan sehari-hari yang biasa dipenuhi dengan kemeriahan perayaan kini berubah drastis, di mana banyak orang lebih memilih untuk tetap di rumah dan menjaga diri. Kota-kota yang sebelumnya menjadi pusat kegiatan kini tampak sepi, dengan sebagian besar rumah hancur akibat serangan. Meskipun ada harapan akan kedamaian, ketegangan yang terus melanda membuat suasana Idul Fitri terasa sangat berbeda. Beberapa keluarga bahkan tidak bisa merayakan perayaan ini dengan cara tradisional, karena mereka harus berlindung dari ancaman serangan yang belum ada titik akhirnya. Warga lebih fokus pada keselamatan pribadi mereka serta mengenang mereka yang telah hilang dalam pertempuran yang tak berkesudahan. Selain itu, kekhawatiran akan masa depan yang semakin tidak pasti semakin menambah beban psikologis bagi masyarakat. Idul Fitri kali ini bukan hanya sekedar perayaan, tetapi juga sebuah momen refleksi atas penderitaan yang dialami oleh masyarakat Lebanon selatan akibat konflik yang belum menemui titik terang. Sebuah peringatan pahit bahwa kebahagiaan dan kedamaian tampaknya sangat sulit dicapai dalam kondisi yang penuh dengan ketegangan dan kekerasan.

Netanyahu Berikan Pager Emas kepada Trump, Mengingat Serangan Pager Mematikan di Lebanon

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan dua buah pager kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat kunjungannya ke Gedung Putih pada 4 Februari 2025. Salah satu pager tersebut adalah pager emas, sementara yang lainnya adalah pager biasa. Pemberian tersebut diyakini terkait dengan serangan pager yang terjadi di Lebanon pada September 2024.

Saluran berita Israel, Channel 12 News, melaporkan bahwa sebagai balasan, Trump memberikan hadiah berupa foto bersama Netanyahu yang diambil selama kunjungannya, disertai pesan: “Untuk Bibi, seorang pemimpin hebat.” Bibi adalah julukan akrab untuk Netanyahu.

Trump menggambarkan serangan pager yang terjadi di Lebanon sebagai “operasi luar biasa.” Serangan tersebut, yang terjadi pada 17 September 2024, melibatkan ledakan ribuan pager di seluruh Lebanon, menewaskan 14 orang dan melukai sekitar 3.000 lainnya. Keesokan harinya, serangan lanjutan menggunakan walkie-talkie juga terjadi, dengan 20 orang tewas, termasuk beberapa korban yang berada di pemakaman setelah serangan pertama.

Serangan tersebut ditujukan kepada anggota Hizbullah, meskipun banyak orang yang tidak terafiliasi dengan kelompok tersebut juga menjadi korban. Mayoritas korban yang terluka mengalami cedera parah di kepala dan perut, dan beberapa kehilangan penglihatan atau anggota tubuh, termasuk jari. Seorang anak berusia 10 tahun yang tewas di Lembah Bekaa menjadi salah satu korban, ketika pager ayahnya, seorang anggota Hizbullah, meledak. Juga terdapat laporan tentang anak dari anggota parlemen Hizbullah yang termasuk di antara korban yang tewas.

Lebanon Gugat Israel ke DK PBB: Pelanggaran Gencatan Senjata dan Resolusi 1701 Makin Parah

Pemerintah Lebanon resmi mengajukan keluhan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada Selasa terkait pelanggaran yang terus-menerus dilakukan Israel terhadap perjanjian gencatan senjata dan Resolusi PBB 1701.

Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Lebanon, keluhan tersebut disampaikan melalui misi tetap Lebanon di New York sebagai bentuk respons atas serangkaian tindakan Israel yang melanggar Resolusi 1701 serta deklarasi penghentian permusuhan. Selain itu, Israel juga dinilai mengabaikan seluruh perjanjian keamanan yang telah disepakati.

Resolusi 1701, yang diadopsi pada 11 Agustus 2006, menetapkan penghentian total permusuhan antara Israel dan Hizbullah. Resolusi ini juga mengatur pembentukan zona bebas senjata di antara Garis Biru (Blue Line) dan Sungai Litani di Lebanon selatan, kecuali bagi tentara Lebanon dan pasukan perdamaian UNIFIL.

Kementerian Luar Negeri Lebanon merinci berbagai pelanggaran yang dilakukan Israel di wilayah selatan negara itu. Beberapa di antaranya mencakup serangan udara dan darat, penghancuran rumah serta pemukiman, penculikan warga Lebanon termasuk anggota militer, serta serangan terhadap warga sipil yang tengah berusaha kembali ke desa-desa mereka di perbatasan.

Lebanon juga menuduh Israel menyerang patroli militer mereka dan para jurnalis, serta menghapus lima penanda perbatasan di sepanjang Garis Biru yang merupakan batas de facto kedua negara.

Keluhan tersebut menegaskan bahwa tindakan Israel adalah pelanggaran serius terhadap Resolusi 1701 serta bentuk nyata dari pelanggaran kedaulatan Lebanon. Oleh karena itu, Lebanon meminta Dewan Keamanan PBB dan pihak-pihak yang mendukung gencatan senjata untuk mengambil tindakan tegas guna menghentikan agresi Israel, serta memperkuat peran militer Lebanon dan pasukan UNIFIL di wilayah konflik.

Gencatan senjata yang rapuh telah berlaku sejak 27 November 2024, setelah ketegangan antara Israel dan Hizbullah memuncak sejak 8 Oktober 2023 dan berkembang menjadi konflik berskala besar pada 23 September 2024.

Media Lebanon melaporkan bahwa sejak kesepakatan gencatan senjata diberlakukan, Israel telah melakukan lebih dari 830 pelanggaran. Sementara itu, Israel seharusnya menyelesaikan penarikan pasukannya dari Lebanon pada 26 Januari 2025 sesuai dengan kesepakatan, tetapi menolak untuk mematuhi tenggat waktu. Akibatnya, proses penarikan diperpanjang hingga 18 Februari 2025, menurut keterangan dari Gedung Putih.

Sejak 26 Januari 2025, setidaknya 26 orang tewas dan 221 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan Israel terhadap warga yang berusaha kembali ke rumah mereka di Lebanon selatan.

Lebanon Kerahkan Pasukan ke Selatan sebagai Tanggapan atas Serangan Israel yang Meningkat

Pada Sabtu (1/2), Lebanon mengumumkan bahwa mereka telah mengerahkan pasukan ke wilayah selatan negara tersebut sebagai respons terhadap serangan Israel yang semakin meningkat. Keputusan ini diambil setelah koordinasi dengan Komite Kuartet yang bertugas mengawasi perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya.

Menurut pernyataan militer Lebanon, pengerahan pasukan tersebut merupakan langkah yang diambil untuk menanggapi “agresi Israel yang terus berlanjut.” Laporan militer juga menyebutkan bahwa Israel telah membakar sejumlah rumah di beberapa kota dan melancarkan dua serangan udara yang menargetkan “kendaraan pengangkut jenazah para syuhada.”

Pihak militer Lebanon mengimbau masyarakat untuk mengikuti instruksi dari pasukan yang dikerahkan dan bekerja sama dengan otoritas setempat demi menjaga keselamatan mereka di tengah ketegangan yang sedang berlangsung.

Sesuai dengan kesepakatan gencatan senjata, Israel seharusnya sudah menarik pasukannya dari Lebanon pada 26 Januari. Namun, mereka menolak untuk memenuhi kewajiban tersebut. Sebagai hasilnya, batas waktu penarikan pasukan Israel diperpanjang hingga 18 Februari, seperti yang diumumkan oleh pemerintah AS.

Sejak 26 Januari, lebih dari 26 orang dilaporkan tewas dan 221 lainnya terluka akibat serangan Israel, sementara banyak penduduk yang berusaha kembali ke desa mereka di Lebanon selatan. Gencatan senjata yang disepakati sebelumnya mengakhiri perang yang berlangsung sejak Oktober 2023 antara Israel dan kelompok perlawanan Hizbullah, yang telah merenggut lebih dari 4.000 nyawa warga Lebanon.

Israel dan Lebanon Sepakati Perpanjangan Batas Waktu Penarikan Pasukan, AS Berikan Bantuan Keamanan

Amerika Serikat mengumumkan pada Minggu, 26 Januari, bahwa Israel dan Lebanon telah sepakat untuk memperpanjang batas waktu penarikan pasukan Israel dari Lebanon selatan hingga 18 Februari. Keputusan ini diambil setelah Israel meminta tambahan waktu lebih dari 60 hari dari tenggat waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan utama dari perpanjangan ini adalah untuk memastikan stabilitas yang lebih baik dan berkelanjutan antara kedua negara, terutama setelah ketegangan yang meningkat dalam beberapa bulan terakhir.

Gedung Putih menyatakan bahwa perpanjangan ini juga mencakup pembicaraan mengenai pembebasan tahanan Lebanon yang telah ditangkap oleh Israel setelah 7 Oktober 2023. Ini merupakan langkah penting dalam usaha untuk mengurangi ketegangan lebih lanjut dan menciptakan jalan bagi dialog yang konstruktif di masa depan. Selain itu, Amerika Serikat berkomitmen memberikan bantuan keamanan senilai 117 juta dolar AS (sekitar Rp1,9 triliun) kepada Lebanon untuk mendukung pelaksanaan gencatan senjata dengan Israel dan memperkuat stabilitas di wilayah tersebut.

Meski gencatan senjata telah disepakati, Israel dilaporkan melakukan delapan pelanggaran terhadap gencatan senjata tersebut dalam pekan sebelumnya. Dengan pelanggaran ini, total pelanggaran yang terjadi sejak gencatan senjata diberlakukan telah mencapai 629 kali. Gencatan senjata ini awalnya ditujukan untuk mengakhiri baku tembak yang dimulai antara Israel dan kelompok Hizbullah pada 8 Oktober 2023. Ketegangan ini kemudian berkembang menjadi konflik yang lebih besar pada 23 September 2023. Meskipun ada kemajuan dalam negosiasi, ketegangan di perbatasan tetap tinggi, dan upaya perdamaian harus terus diperkuat untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.

Perayaan Gencatan Senjata di Dunia Arab: Solidaritas untuk Gaza!

Pada Rabu (15/1), sejumlah negara di dunia Arab merayakan pengumuman kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Di Yordania, ibu kota Amman menjadi pusat perayaan, dengan parade mobil yang mengibarkan bendera Palestina dan menyuarakan dukungan untuk perlawanan di Gaza. Sebagian orang membagikan permen sambil mengenakan kefiyeh Palestina, seraya mengucapkan seruan, “Kemenangan untuk kita!” dan “Semoga Allah memberikan kekuatan kepada mereka!” sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang Gaza.

Di Maroko, kota Tangier dan Rabat juga menggelar pawai meriah, dengan banyak orang membawa foto Masjid Al-Aqsa dan bendera Palestina. Sementara itu, pawai serupa terjadi di wilayah Tepi Barat, termasuk Ramallah, Hebron, dan Nablus, dengan seruan mengagungkan perjuangan Gaza dan pemimpin mereka, Yahya Sinwar, yang gugur akibat serangan Israel.

Media sosial dipenuhi dengan video kebahagiaan, kembang api, dan doa dari masjid. Suriah, khususnya Aleppo dan Hama, turut merayakan dengan kerumunan yang melambaikan bendera Palestina dan berteriak, “Gaza, kami bersamamu hingga akhir!” Kamp pengungsi Palestina di Lebanon, seperti di Beirut, Sidon, dan Tripoli, juga ramai dengan suara tembakan, kembang api, dan seruan solidaritas.

Di Tunisia, sebuah aksi demonstrasi besar berlangsung di depan teater kota Tunis, dengan para peserta meneriakkan seruan seperti “Gaza, lambang kebanggaan” dan “Tidak ada kepentingan Zionis di tanah Tunisia,” sambil mengibarkan bendera Palestina. Di Doha, Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, mengumumkan secara resmi kesepakatan gencatan senjata yang mencakup pertukaran tahanan, penarikan pasukan Israel dari Gaza, serta rencana perdamaian yang akan mulai berlaku pada hari Minggu (19/1).

Pasukan Israel Masuk Lebanon Selatan, Melanggar Gencatan Senjata Lagi

Pasukan militer Israel kembali melakukan pelanggaran terhadap gencatan senjata dengan menyerang wilayah strategis di Lebanon selatan pada Kamis, 26 Desember 2024. Serangan tersebut terjadi di Wadi al-Hujeir, sebuah wilayah yang dikuasai oleh kelompok Hizbullah, di mana pasukan Israel dilaporkan menggunakan senapan mesin kaliber berat selama operasi mereka. Menurut laporan kantor berita Lebanon, NNA, serangan ini menyebabkan ketegangan di kawasan tersebut, memaksa pihak militer Lebanon untuk menutup seluruh akses jalan menuju area yang diserang.

Akibat serangan tersebut, sejumlah warga yang tinggal di kota Qantara, yang terletak tidak jauh dari lokasi penyerangan, terpaksa mengungsi ke desa Ghandourieh. Hingga berita ini diturunkan, pihak militer Israel belum memberikan pernyataan resmi mengenai insiden tersebut.

Pelanggaran gencatan senjata ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi. Sejak perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada 27 November 2024, lebih dari 300 pelanggaran yang dilakukan oleh Israel telah dilaporkan. Gencatan senjata ini dimaksudkan untuk mengakhiri pertempuran yang telah berlangsung selama lebih dari 14 bulan antara militer Israel dan kelompok Hizbullah. Berdasarkan perjanjian tersebut, Israel diwajibkan untuk menarik pasukannya secara bertahap ke selatan Garis Biru, yang merupakan perbatasan de facto antara Israel dan Lebanon. Sementara itu, pasukan Lebanon dijadwalkan untuk ditempatkan di wilayah selatan Lebanon dalam waktu 60 hari.

Sejak dimulainya serangan Israel terhadap Lebanon pada 8 Oktober 2023, data dari Kementerian Kesehatan Lebanon mencatat lebih dari 4.000 korban jiwa, termasuk perempuan, anak-anak, dan tenaga kesehatan. Selain itu, lebih dari 16.000 orang dilaporkan terluka akibat kekerasan yang terus berlanjut.