Thailand Bakal Selaraskan Kebijakan Cukai Kendaraan Dengan Tren Global

Pada 13 November 2024, pemerintah Thailand mengumumkan rencananya untuk menyelaraskan kebijakan cukai kendaraan dengan tren global yang semakin mengarah pada mobilitas ramah lingkungan. Kebijakan ini bertujuan untuk menyesuaikan tarif cukai kendaraan dengan emisi gas buang, dengan memberikan insentif lebih besar untuk kendaraan listrik dan rendah emisi, serta mengenakan cukai lebih tinggi untuk kendaraan berbahan bakar fosil. Langkah ini diambil untuk mendukung komitmen Thailand dalam mengurangi polusi udara dan mencapai target pengurangan emisi karbon.

Pemerintah Thailand juga berencana untuk meningkatkan cukai pada kendaraan yang menghasilkan polusi tinggi, terutama kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil. Cukai yang lebih tinggi ini bertujuan untuk mendorong konsumen beralih ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan, seperti mobil listrik atau kendaraan hybrid. Dengan kebijakan ini, diharapkan ada pengurangan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, yang menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi udara di negara tersebut.

Sebaliknya, kendaraan listrik (EV) dan hybrid akan mendapatkan insentif berupa pengurangan cukai atau bahkan pembebasan cukai untuk kendaraan dengan emisi rendah. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga untuk mendorong perkembangan industri kendaraan listrik di Thailand. Hal ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mendukung transisi menuju ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Dengan adanya kebijakan cukai baru ini, industri otomotif Thailand diperkirakan akan mendapat dorongan signifikan, terutama bagi produsen kendaraan listrik. Beberapa perusahaan otomotif internasional yang sudah beroperasi di Thailand, seperti Tesla, Nissan, dan Toyota, diperkirakan akan lebih tertarik untuk memperkenalkan model-model kendaraan listrik mereka. Selain itu, langkah ini juga dapat mempercepat investasi dalam infrastruktur pengisian daya EV yang lebih luas di seluruh Thailand.

Kebijakan cukai kendaraan yang lebih berorientasi pada emisi gas buang ini merupakan bagian dari rencana besar pemerintah Thailand untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon sesuai dengan kesepakatan global dalam Perjanjian Paris. Pemerintah Thailand juga ingin mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan memitigasi dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Selain itu, kebijakan ini sejalan dengan tren global yang semakin mengarah pada penggunaan kendaraan yang lebih ramah lingkungan, terutama di negara-negara maju.

Langkah pemerintah Thailand ini disambut positif oleh berbagai kalangan, baik dari sektor lingkungan hidup maupun industri otomotif. Banyak pihak yang melihat kebijakan ini sebagai langkah yang tepat untuk mengurangi polusi udara di kota-kota besar Thailand, sekaligus mendorong peralihan ke teknologi yang lebih ramah lingkungan. Walaupun tantangan dalam transisi ini tetap ada, seperti biaya infrastruktur dan harga kendaraan listrik yang masih relatif tinggi, kebijakan ini diharapkan dapat membawa dampak positif jangka panjang bagi lingkungan dan perekonomian negara.

Petualangan Percy Fawcett Mencari Kota Z yang Hilang di Hutan Amazon

Letnan Kolonel Percy Fawcett adalah seorang ahli geografi, perwira artileri, dan arkeolog asal Inggris yang dikenal karena eksplorasinya di wilayah Amerika Selatan. Pada tahun 1925, Fawcett hilang saat mencoba menemukan kota legendaris yang ia yakini tersembunyi di hutan lebat Amazon.

Sejak 1906, Fawcett telah melakukan berbagai ekspedisi untuk memetakan wilayah Amazon yang masih liar dan misterius. Dia menjelajahi area tak tercatat sebelumnya di Brasil dan Bolivia, menghadapi bahaya dari hewan buas serta kondisi alam yang keras. Mengutip History Channel, Fawcett berhasil menghindari berbagai ancaman di alam liar ini.

Selama penjelajahannya, Fawcett merumuskan teori tentang sebuah kota hilang yang disebutnya “Kota Z.” Ia percaya bahwa kota ini berada di wilayah Matto Grosso, Brasil, yang belum dijamah oleh penjelajah lain.

Keyakinan pada Keberadaan Kota Z

Sebelum memulai ekspedisi besar di Amazon, Fawcett sempat bertugas sebagai mata-mata militer di Maroko. Pada 1906, ia dikirim untuk memetakan perbatasan antara Bolivia dan Brasil, seperti dikutip dari History Extra.

Dalam dua dekade berikutnya, Fawcett melangsungkan enam ekspedisi di Amazon, menjelajahi perbatasan Peru, dan berinteraksi dengan berbagai suku asli. Ia dikenal dengan fisiknya yang kuat, yang memungkinkannya bertahan di lingkungan hutan yang penuh tantangan dan ancaman penyakit. Pengalaman interaksi dengan suku asli membuatnya yakin bahwa terdapat pemukiman besar tersembunyi di dalam hutan.

Selama penjelajahannya, Fawcett menemukan tembikar kuno yang mencerminkan kompleksitas budaya suku asli di wilayah tersebut. Penemuan ini memperkuat keyakinannya akan keberadaan kota besar yang hilang. Ia bahkan meneliti dokumen kuno di Perpustakaan Nasional Rio de Janeiro, di mana ia menemukan manuskrip yang mengisyaratkan keberadaan reruntuhan kota besar.

Awal Perjalanan Mencari Kota Z

Pencarian Kota Z dimulai pada awal 1920-an. Namun, berbagai kendala seperti cuaca buruk dan masalah kesehatan memaksa Fawcett untuk kembali. Kondisi keuangannya juga memburuk setelah dua perjalanan awal, sehingga ia kesulitan membayar biaya keanggotaan Royal Geographic Society.

Namun, kisahnya yang menarik perhatian ilmuwan dan bangsawan, memudahkannya untuk berkampanye mengumpulkan dana guna melanjutkan ekspedisi ketiga. Setelah tiga tahun, dana terkumpul, dan ia memutuskan untuk pergi bersama putra sulungnya, Jack Fawcett (21), dan sahabat Jack, Raleigh Rimmell. Mereka membawa perbekalan seperti makanan kaleng, parang, senapan, serta perlengkapan penting lainnya.

“Kami akan kembali dan membawa apa yang kami cari,” ujar Fawcett kepada wartawan pada Januari 1925.

Tantangan di Hutan Amazon

Untuk mencapai Kota Z, Fawcett dan timnya berangkat dari New York ke Rio de Janeiro, lalu melanjutkan perjalanan ke pos terdepan di Cuiabá, Amazon. Dari sana, mereka membeli hewan angkut dan menyewa dua pemandu lokal. Pada 20 April 1925, mereka memasuki hutan lebat Amazon.

Selama perjalanan, mereka menghadapi berbagai bahaya, mulai dari sungai berisi piranha, anakonda, kelelawar pengisap darah, hingga belantara yang dipenuhi serangga. Bahkan Rimmell mengalami pembengkakan kaki akibat gigitan serangga.

Fawcett, meski sudah berusia 58 tahun, menetapkan target berjalan sejauh 16-24 kilometer per hari. Namun, Jack dan Rimmell kesulitan mengikuti ritme perjalanan ini, sehingga Fawcett harus sering menunggu mereka di kemah.

Dikenal sebagai pemimpin yang tegas, Fawcett tidak ragu meninggalkan anggota ekspedisi yang tidak mampu mengimbangi kecepatannya. Seringkali, hewan angkut yang mereka bawa tidak mampu bertahan, dan beberapa rekannya juga meninggal di tengah perjalanan.

Meski perjalanan penuh bahaya, Fawcett tetap menghormati budaya penduduk asli Amazon, yang dianggapnya lebih maju daripada anggapan umum. Ia bahkan berusaha memahami bahasa dan budaya mereka.

Perpisahan dengan Pemandu Lokal

Pada 29 Mei 1925, tim Fawcett tiba di tempat yang disebut “Kamp Kuda Mati,” tempat mereka pernah kehilangan seekor kuda pada perjalanan sebelumnya. Di sini, mereka berpisah dengan pemandu lokal yang kembali ke Cuiabá. Dalam surat terakhir kepada istrinya, Nina, Fawcett menulis bahwa Jack dalam kondisi baik dan semakin kuat. Namun, setelah dua tahun, tak ada kabar dari Fawcett, Jack, dan Rimmell.

Misteri dan Berbagai Spekulasi

Fawcett telah memperingatkan bahwa ekspedisi ini akan memakan waktu lama, dan mungkin sulit baginya untuk berkirim kabar. Hilangnya mereka menimbulkan berbagai spekulasi dan rumor. Beberapa orang percaya bahwa Fawcett memutuskan untuk menetap dengan penduduk asli, sementara yang lain menduga ia tewas dalam pertempuran antar suku atau menjadi korban penyakit.

Upaya Pencarian

Pada 1928, Royal Geographical Society mengirim George Miller Dyott untuk mencari keberadaan Fawcett. Meski Dyott yakin bahwa Fawcett dan timnya telah meninggal, tak ada bukti yang pasti. Sementara itu, Nina Fawcett tetap berharap keluarganya akan kembali.

Selama beberapa dekade berikutnya, banyak penjelajah berusaha menelusuri jejak Fawcett. Namun, dari ribuan yang berusaha, sekitar 100 orang hilang atau tewas dalam pencarian mereka.

Jejak yang Tersisa

Pada 2005, jurnalis David Grann mengikuti jejak Fawcett dan bertemu dengan suku Kalapalo di Amazon. Menurut suku tersebut, Fawcett mengabaikan peringatan mereka dan melanjutkan perjalanan ke wilayah suku lain yang sering bertikai. Mereka meyakini Fawcett dan timnya tewas setelah memasuki area tersebut.

Warisan Fawcett

David Grann melaporkan bahwa banyak arkeolog kini percaya Amazon pernah menjadi pusat peradaban besar. Temuan berupa puing kota taman, dinding kota, dan jalan-jalan berstruktur memperkuat teori ini.

Antropolog Michael Heckenberger menemukan situs arkeologi Kuhikugu di Matto Grosso, lokasi yang diduga merupakan “Kota Z” yang dicari Fawcett. Situs ini diperkirakan pernah dihuni ribuan orang sebelum kedatangan bangsa Eropa.

Kisah Fawcett menginspirasi Sir Arthur Conan Doyle untuk menulis novel The Lost World, yang kemudian diadaptasi menjadi film The Lost City of Z.