Idul Fitri tahun ini di Lebanon selatan terasa sangat berbeda, karena kota-kota dan desa-desa terus menjadi sasaran serangan udara Israel meskipun sudah ada perjanjian gencatan senjata. Sebagai ganti perayaan kemenangan yang biasanya meriah, sebagian besar warga menghabiskan liburan dengan rasa khawatir, berdoa untuk keluarga dan teman-teman yang telah meninggal dalam pertempuran yang berlangsung tanpa henti. Kehidupan sehari-hari yang biasa dipenuhi dengan kemeriahan perayaan kini berubah drastis, di mana banyak orang lebih memilih untuk tetap di rumah dan menjaga diri. Kota-kota yang sebelumnya menjadi pusat kegiatan kini tampak sepi, dengan sebagian besar rumah hancur akibat serangan. Meskipun ada harapan akan kedamaian, ketegangan yang terus melanda membuat suasana Idul Fitri terasa sangat berbeda. Beberapa keluarga bahkan tidak bisa merayakan perayaan ini dengan cara tradisional, karena mereka harus berlindung dari ancaman serangan yang belum ada titik akhirnya. Warga lebih fokus pada keselamatan pribadi mereka serta mengenang mereka yang telah hilang dalam pertempuran yang tak berkesudahan. Selain itu, kekhawatiran akan masa depan yang semakin tidak pasti semakin menambah beban psikologis bagi masyarakat. Idul Fitri kali ini bukan hanya sekedar perayaan, tetapi juga sebuah momen refleksi atas penderitaan yang dialami oleh masyarakat Lebanon selatan akibat konflik yang belum menemui titik terang. Sebuah peringatan pahit bahwa kebahagiaan dan kedamaian tampaknya sangat sulit dicapai dalam kondisi yang penuh dengan ketegangan dan kekerasan.
Tag: Israel
Israel Perintahkan Evakuasi Massal di Gaza Selatan, Serangan Mematikan Kembali Terjadi
Militer Israel kembali mengeluarkan perintah evakuasi bagi warga sipil Palestina di Gaza Selatan, tepatnya di tiga wilayah di kota Khan Younis, pada Sabtu. Juru bicara militer, Avichay Adraee, menyatakan bahwa warga di Abasan, al-Qarara, dan Khuza’a harus segera meninggalkan rumah mereka karena daerah tersebut dikategorikan sebagai “zona tempur berbahaya.” Ia menginstruksikan agar warga bergerak menuju pusat penampungan di al-Mawasi, dengan alasan bahwa serangan roket berasal dari wilayah yang menjadi target tersebut.
Dalam pernyataan terpisah, militer Israel mengklaim telah menyerang lokasi peluncuran mortir di Khan Younis, meskipun tidak memberikan rincian lebih lanjut. Pasukan Israel menyebut bahwa tiga tembakan mortir dilepaskan dari Gaza Selatan menuju posisi mereka di timur Khan Younis, namun tidak ada laporan mengenai korban dari pihak mereka.
Serangan terbaru ini terjadi setelah militer Israel melancarkan serangan udara mendadak di Jalur Gaza pada 18 Maret, yang menewaskan lebih dari 920 orang dan melukai lebih dari 2.000 lainnya. Serangan tersebut secara efektif menghancurkan gencatan senjata serta kesepakatan pertukaran tahanan yang sempat berlangsung pada Januari lalu.
Sejak Oktober 2023, konflik di Gaza telah menelan korban jiwa lebih dari 50.200 warga Palestina, dengan mayoritas korban adalah wanita dan anak-anak. Selain itu, lebih dari 114.000 orang mengalami luka-luka akibat serangan militer Israel yang terus berlanjut di wilayah tersebut. Situasi di Gaza semakin memburuk, dengan eskalasi kekerasan yang terus meningkat dan korban sipil yang semakin bertambah setiap harinya.
UEA Serukan Penghentian Serangan Israel dan Perlindungan Warga Gaza
Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan keprihatinannya terhadap serangan udara Israel yang terus berlanjut di Gaza, memperingatkan potensi ketidakstabilan yang lebih luas di wilayah tersebut serta meningkatnya eskalasi kekerasan di kawasan. Dalam pernyataan yang dirilis pada 18 Maret 2025, UEA menegaskan pentingnya upaya internasional untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban jiwa serta memburuknya kondisi kemanusiaan. Mereka juga mendesak penghentian tindakan yang merugikan warga sipil serta mengajak komunitas global untuk segera mencari solusi damai.
Menurut laporan Emirates News Agency (WAM), UEA mendorong tercapainya kesepakatan gencatan senjata yang baru, pemulihan akses listrik, pembukaan kembali jalur perlintasan, serta distribusi bantuan kemanusiaan tanpa hambatan kepada warga Gaza yang membutuhkan. Pemerintah UEA menegaskan kembali komitmennya dalam mendukung segala upaya yang bertujuan menciptakan perdamaian serta melindungi warga sipil dari dampak serangan yang semakin memburuk. Pernyataan ini muncul di tengah serangan udara besar-besaran yang dilancarkan Israel di seluruh Gaza pada Selasa pagi, yang telah menyebabkan lebih dari 400 korban jiwa dan semakin melemahkan kesepakatan gencatan senjata yang sempat berlaku sejak 19 Januari lalu.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pernyataan terbarunya menegaskan bahwa negaranya akan meningkatkan intensitas serangan terhadap Gaza. Ia menegaskan bahwa negosiasi terkait gencatan senjata kini hanya akan berlangsung di bawah tekanan tembakan. Situasi yang terus memburuk ini menambah kekhawatiran banyak pihak, termasuk negara-negara di kawasan yang menginginkan stabilitas serta solusi jangka panjang atas konflik yang berkepanjangan.
AS Peringatkan Rusia Terkait Serangan Militer terhadap Houthi di Yaman
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, memberi tahu Menlu Rusia, Sergei Lavrov, mengenai operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan bahwa Rubio menegaskan serangan kelompok yang didukung Iran tersebut terhadap kapal-kapal militer dan komersial AS di Laut Merah tidak akan dibiarkan begitu saja.
Dalam percakapan tersebut, kedua menlu juga membahas langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Keduanya sepakat untuk terus berupaya memulihkan komunikasi antara Washington dan Moskow guna menghindari eskalasi lebih lanjut di kawasan tersebut.
Militer AS baru-baru ini melancarkan serangan udara ke posisi kelompok Houthi di Yaman, menewaskan sedikitnya 19 orang. Presiden AS, Donald Trump, memperingatkan bahwa serangan lanjutan akan dilakukan jika Houthi terus menyerang kapal-kapal dagang di Laut Merah. Kelompok Houthi sendiri telah menyerang kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Israel sejak akhir 2023 menggunakan rudal dan pesawat nirawak. Serangan ini mereka klaim sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Kelompok Houthi sempat menghentikan serangannya ketika gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan. Namun, mereka kembali mengancam akan melanjutkan serangan jika Israel tetap memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret. Situasi ini meningkatkan ketegangan di kawasan dan berpotensi memperumit hubungan internasional antara negara-negara yang terlibat.
Ribuan Warga Palestina Ditahan dalam Eskalasi Militer Israel di Tepi Barat
Sepanjang Februari, pasukan Israel menangkap 762 warga Palestina dalam serangkaian operasi militer di berbagai wilayah pendudukan Tepi Barat. Komisi Urusan Tahanan dan Masyarakat Tahanan Palestina melaporkan bahwa di antara mereka yang ditahan terdapat 19 perempuan dan 90 anak-anak. Selain itu, pasukan Israel juga meningkatkan interogasi langsung di lapangan dengan memeriksa ratusan warga Palestina di lokasi penangkapan. Tindakan ini semakin memperburuk kondisi keamanan dan menambah ketakutan di kalangan warga yang telah lama hidup di bawah tekanan militer.
Penangkapan ini terjadi di tengah operasi militer besar-besaran Israel di bagian utara Tepi Barat sejak 21 Januari 2025, yang telah menyebabkan kematian sedikitnya 65 warga Palestina serta memaksa ribuan lainnya meninggalkan rumah mereka. Banyak dari mereka yang mengungsi menghadapi kondisi sulit, dengan akses terbatas terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan. Serangan ini semakin memperparah situasi kemanusiaan di wilayah tersebut, yang telah lama dilanda ketidakstabilan akibat kebijakan pendudukan Israel.
Data dari otoritas Palestina menunjukkan bahwa Israel kini menahan lebih dari 9.500 warga Palestina di berbagai penjara, termasuk 1.555 tahanan dari Jalur Gaza. Para tahanan ini menghadapi kondisi yang buruk, dengan laporan tentang penyiksaan, kurangnya akses ke pengacara, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Organisasi hak asasi manusia terus mengecam tindakan Israel, menekankan bahwa penahanan massal ini merupakan bagian dari kebijakan represif terhadap warga Palestina.
Situasi di Tepi Barat semakin memanas sejak Israel memulai agresinya terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023. Serangan yang terus berlanjut menyebabkan penderitaan besar bagi penduduk sipil, dengan ribuan rumah hancur dan banyak keluarga kehilangan tempat tinggal. Kementerian Kesehatan Palestina mencatat bahwa hingga kini sedikitnya 930 warga Palestina tewas dan hampir 7.000 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan tentara dan pemukim ilegal Israel. Kekerasan terhadap warga sipil ini mendapat kecaman dari berbagai pihak internasional, tetapi respons dunia terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi masih dinilai lemah.
Pada Juli 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina merupakan tindakan ilegal dan mendesak Israel untuk mengosongkan seluruh permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Namun, hingga saat ini, Israel terus mengabaikan putusan tersebut dan tetap melakukan ekspansi permukiman ilegalnya. Sikap ini semakin meningkatkan ketegangan, dengan Palestina dan komunitas internasional terus mendesak adanya intervensi yang lebih tegas untuk menghentikan kebijakan pendudukan dan agresi militer yang dilakukan oleh Israel.
Di tengah situasi yang memburuk, warga Palestina terus berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka meski menghadapi tekanan yang semakin besar. Solidaritas internasional pun terus berkembang, dengan berbagai aksi protes dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran global terhadap penderitaan rakyat Palestina. Namun, tanpa langkah nyata dari komunitas internasional, konflik ini diperkirakan akan terus berlanjut dan semakin memperburuk krisis kemanusiaan di kawasan tersebut.
AS Setujui Penjualan Senjata ke Israel di Tengah Ketegangan di Gaza
Amerika Serikat kembali menyetujui penjualan senjata ke Israel dengan nilai mencapai 3 miliar dolar AS atau sekitar Rp48,9 triliun. Departemen Luar Negeri AS telah memberi tahu Kongres mengenai transaksi ini, yang mencakup berbagai amunisi, perangkat pemandu, serta buldoser Caterpillar D9. Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan AS mengonfirmasi bahwa bagian terbesar dari kesepakatan ini senilai 2,04 miliar dolar AS mencakup 35.529 bom serbaguna MK 84 atau BLU-117 serta 4.000 hulu ledak penetrator I-2000. Selain itu, paket lainnya senilai 675,7 juta dolar AS terdiri dari bom MK 83, BLU-110, dan perangkat pemandu JDAM, dengan pengiriman diperkirakan mulai 2028. Israel juga akan menerima buldoser D9R dan D9T Caterpillar seharga 295 juta dolar AS, yang dijadwalkan tiba pada 2027.
Pemerintahan Trump menegaskan bahwa kesepakatan ini merupakan langkah strategis untuk mempertahankan Israel dari ancaman regional, sejalan dengan kepentingan nasional AS dalam mendukung sekutunya. Persetujuan penjualan senjata ini terjadi di saat fase pertama gencatan senjata di Gaza berakhir pada Sabtu malam, sementara negosiasi untuk kelanjutan perjanjian tengah berlangsung di Kairo. Sejak bulan lalu, gencatan senjata dan pertukaran tahanan telah menghentikan sementara konflik yang telah menewaskan lebih dari 48.300 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak, serta menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Pemimpin Otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Kepala Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional atas agresinya di wilayah tersebut.
Israel Bebaskan 596 Warga Palestina dalam Pertukaran dengan Hamas
Israel pada Kamis (27/2) membebaskan 596 warga Palestina dari berbagai penjara sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas. Pembebasan ini dilakukan setelah kelompok perlawanan Palestina menyerahkan jenazah empat sandera Israel. Langkah ini merupakan tahap ke-7 dalam pertukaran tawanan yang telah disepakati kedua belah pihak.
Menurut kantor berita Palestina Wafa, sebanyak 37 tahanan dibebaskan di Ramallah, Tepi Barat, dan lima lainnya di Yerusalem Timur. Salah satu tahanan yang dibebaskan dalam kondisi koma langsung mendapatkan perawatan medis setelah diterima oleh Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina. Beberapa tahanan lainnya dipindahkan ke Jalur Gaza, sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Rumah Sakit Eropa Gaza, Saleh Al Hams. Ia menuturkan bahwa banyak tahanan yang mengalami kondisi kesehatan buruk akibat penyiksaan selama ditahan. Beberapa di antaranya bahkan tidak mampu berjalan dan menderita penyakit kulit, sementara satu orang harus dirawat akibat fibrosis paru.
Di antara para tahanan yang dibebaskan, terdapat 15 tenaga medis yang sebelumnya ditangkap selama konflik. Hamas mengungkapkan bahwa 11 orang dari mereka adalah tahanan dengan hukuman seumur hidup atau jangka panjang, yang telah dipenjara sebelum pecahnya perang pada 7 Oktober 2023. Sebanyak 97 tahanan dengan vonis serupa juga dideportasi ke Mesir.
Amani Sarahneh dari Masyarakat Tahanan Palestina menyatakan bahwa Israel telah menunda pembebasan 46 perempuan dan anak-anak yang seharusnya sudah dibebaskan. Penundaan ini dilakukan sampai proses identifikasi jenazah sandera Israel selesai. Pada Rabu malam, Hamas telah membebaskan 33 warga Israel, termasuk delapan jenazah, sebagai bagian dari tahap pertama gencatan senjata yang berlangsung selama 42 hari. Di sisi lain, Israel melaporkan bahwa 59 warganya masih ditahan di Gaza, dengan sekitar 20 orang diduga masih hidup. Mereka diharapkan dapat dibebaskan dalam tahap berikutnya, yang mensyaratkan penarikan penuh pasukan Israel serta penghentian perang secara permanen. Gencatan senjata tahap pertama, yang dimulai pada 19 Januari, berhasil menghentikan serangan militer Israel di Gaza, yang sebelumnya menewaskan lebih dari 48.300 warga Palestina dan menyebabkan kehancuran besar di wilayah tersebut.
Gelombang Ketujuh Pertukaran Tahanan: Israel Bebaskan Puluhan Warga Palestina
Israel membebaskan puluhan warga Palestina dari Penjara Ofer pada Kamis pagi waktu setempat. Bus yang mengangkut para tahanan tiba di kota Beitunia, sebelah barat Ramallah, dan melanjutkan perjalanan menuju Istana Kebudayaan di Ramallah, di mana keluarga mereka telah menunggu dengan penuh harapan. Proses pembebasan ini berlangsung di bawah pengawalan ketat dari tim Palang Merah Internasional untuk memastikan keamanan para tahanan yang dibebaskan.
Menurut laporan Kantor Informasi Tahanan Hamas, dari total 620 tahanan yang dijadwalkan akan dibebaskan, sebanyak 43 orang di antaranya akan kembali ke wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem. Pembebasan ini merupakan bagian dari gelombang ketujuh dalam kesepakatan pertukaran tahanan yang sebelumnya tertunda antara Hamas dan Israel. Kesepakatan ini diharapkan dapat mengurangi ketegangan yang terus meningkat di wilayah konflik, meskipun situasi di lapangan masih jauh dari stabil.
Sementara itu, seorang sumber keamanan Israel mengungkapkan bahwa pada Rabu malam, kendaraan Palang Merah Internasional telah bergerak menuju titik penjemputan guna menerima jenazah empat sandera Israel dari Jalur Gaza. Informasi ini dikonfirmasi oleh otoritas penyiaran publik Israel, KAN, yang mengutip sumber anonim tanpa memberikan rincian lebih lanjut mengenai proses pemulangan jenazah tersebut.
Pertukaran tahanan ini menjadi bagian dari langkah diplomasi yang telah lama diupayakan oleh berbagai pihak untuk meredakan ketegangan di kawasan tersebut. Meskipun demikian, konflik antara Israel dan Palestina masih jauh dari kata usai, dengan perundingan yang terus berlanjut guna mencapai solusi yang lebih permanen.
Ketegangan di Jalur Gaza Kembali Memanas di Tengah Gencatan Senjata
Militer Israel pada Minggu mengumumkan peningkatan kesiapan pasukannya di sekitar Jalur Gaza menyusul meningkatnya ketegangan meski gencatan senjata masih berlaku. Dalam pernyataannya, tentara Israel menegaskan bahwa keputusan ini diambil setelah melakukan evaluasi situasi terbaru, meskipun tidak ada perubahan dalam pedoman yang diberikan oleh Komando Front Dalam Negeri.
Di sisi lain, pembatasan yang sebelumnya diberlakukan di komunitas perbatasan Gaza telah dicabut, memungkinkan aktivitas kembali normal di wilayah tersebut. Ketegangan semakin meningkat setelah Israel menunda pembebasan 620 tahanan Palestina, yang merupakan bagian dari kesepakatan pertukaran dengan Hamas. Sebagai bagian dari perjanjian ini, Hamas telah lebih dulu membebaskan enam tawanan Israel. Namun, Israel mengklaim bahwa penundaan itu terjadi akibat “penyerahan sandera yang dianggap memalukan.”
Sebagai reaksi atas penundaan tersebut, Hamas memutuskan untuk menangguhkan seluruh proses negosiasi, menegaskan bahwa pembebasan tahanan Palestina harus dilakukan sebelum pembicaraan lebih lanjut dengan Israel melalui mediator. Pemimpin Hamas, Mahmoud Mardawi, menegaskan bahwa tidak akan ada negosiasi lanjutan sebelum kesepakatan yang telah disepakati dijalankan.
Sementara itu, tekanan internasional terhadap Israel terus meningkat. Mahkamah Kriminal Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional terkait operasi militernya di wilayah tersebut. Situasi ini menunjukkan bahwa ketegangan di Gaza masih jauh dari mereda dan berpotensi terus memburuk dalam waktu dekat.
Hamas Kecam Israel atas Penundaan Pembebasan Tahanan Palestina dalam Pertukaran Sandera
Hamas mengkritik Israel pada Minggu atas penundaan dalam pembebasan tahanan Palestina, yang seharusnya menjadi bagian dari kesepakatan pertukaran dengan enam sandera yang telah dibebaskan oleh Hamas.
Sesuai perjanjian, Israel dijadwalkan membebaskan 620 warga Palestina pada Sabtu (22/2). Namun, Israel menunda langkah tersebut dengan alasan bahwa proses penyerahan sandera oleh Hamas dilakukan dengan cara yang dianggap “memalukan”.
Pemimpin Hamas, Ezzat Al Rishq, menolak klaim tersebut, menyebutnya sebagai upaya Israel untuk menghindari kewajiban mereka dalam kesepakatan yang telah disepakati. Ia menegaskan bahwa proses penyerahan sandera dilakukan dengan perlakuan manusiawi dan tidak ada unsur penghinaan di dalamnya.
Israel menyatakan bahwa pembebasan tahanan Palestina akan ditunda hingga Hamas menyerahkan sandera berikutnya tanpa upacara yang dinilai “merendahkan”. Sebagai tanggapan, Rishq menyoroti perlakuan Israel terhadap tahanan Palestina yang selama ini kerap mengalami penyiksaan, pemukulan, dan penghinaan, bahkan hingga saat-saat terakhir sebelum dibebaskan. Ia juga menuding Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dengan sengaja menyabotase kesepakatan yang telah dibuat.
Rishq menyerukan kepada komunitas internasional dan mediator agar menekan Israel untuk memenuhi komitmennya tanpa penundaan lebih lanjut.
Gencatan senjata yang mulai berlaku bulan lalu berhasil menghentikan serangan militer Israel di Jalur Gaza, yang telah menyebabkan lebih dari 48.300 warga Palestina tewas, mayoritas di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Serangan itu juga menyebabkan kehancuran besar di wilayah Gaza.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga menghadapi tuntutan genosida di Mahkamah Internasional atas perang yang mereka lancarkan di Gaza.