Trump Desak Israel Buka Akses Bantuan: “Warga Gaza Sedang Menderita”

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyatakan bahwa dirinya telah meminta Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk menunjukkan sikap baik terhadap warga Palestina yang menderita di Jalur Gaza. Pernyataan ini disampaikannya pada Jumat (25/4) di dalam pesawat kepresidenan Air Force One ketika menjawab pertanyaan wartawan mengenai pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza yang telah terblokade selama lebih dari tujuh pekan. Trump mengungkapkan bahwa dalam pembicaraan teleponnya pada Selasa lalu, ia mengatakan kepada Netanyahu bahwa Gaza harus diperlakukan dengan baik karena warganya sedang mengalami penderitaan yang luar biasa. Ia menegaskan bahwa kebutuhan mendesak terhadap makanan dan obat-obatan harus segera diatasi, dan pemerintah AS tengah berusaha menangani hal itu.

Trump juga membenarkan bahwa pihaknya sedang mendorong Israel untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah yang terkepung tersebut. Pada hari yang sama, Program Pangan Dunia (WFP) menyampaikan bahwa stok makanan untuk Gaza telah habis akibat penutupan perbatasan yang diberlakukan Israel sejak 2 Maret. Dapur umum WFP yang selama ini menjadi tumpuan utama penduduk hanya mampu mencukupi seperempat kebutuhan harian, dan kini terancam tidak bisa beroperasi dalam waktu dekat. Seluruh toko roti mitra mereka juga telah berhenti produksi sejak 31 Maret karena kekurangan bahan bakar dan tepung.

WFP juga memperingatkan akan langkanya air bersih dan bahan bakar yang membuat warga terpaksa mencari barang-barang untuk dibakar demi memasak satu kali makan. Gaza kini mencatat sejarah sebagai salah satu wilayah dengan blokade terpanjang, mengakibatkan lonjakan harga pangan hingga 1.400 persen dan kelangkaan barang pokok. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mendalam terhadap kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, dan lansia. Saat ini, lebih dari 116.000 metrik ton bantuan makanan telah disiapkan dan siap dikirimkan segera setelah perbatasan dibuka.

Anak-Anak Palestina Terkorban dalam Serangan Israel di Gaza

Hampir 600 anak Palestina dilaporkan tewas akibat serangan terbaru yang dilancarkan oleh Israel di Jalur Gaza sejak bulan lalu, menurut Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Senin, 21 April 2025. Menurut data yang dirilis oleh Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), lebih dari 1.600 anak lainnya mengalami luka-luka sejak serangan dimulai pada 18 Maret 2025. UNRWA menyebutkan bahwa krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza saat ini berisiko mencapai titik terburuk sejak Oktober 2023, mengingat dampak yang semakin meluas terhadap masyarakat sipil, terutama anak-anak dan perempuan.

Serangan Israel di Gaza kembali meningkat sejak 18 Maret 2025, meskipun sebelumnya telah tercapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan pada Januari. Serangan yang terus berlanjut ini telah menewaskan lebih dari 1.860 orang Palestina dan melukai hampir 4.900 lainnya. Data keseluruhan menunjukkan bahwa lebih dari 51.200 warga Palestina telah kehilangan nyawa mereka sejak Israel melancarkan serangan brutalnya pada Oktober 2023, dengan mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak yang terjebak dalam konflik ini.

Pada November 2023, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin otoritas Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan kepala pertahanan, Yoav Gallant, dengan tuduhan kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel kini tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait agresi yang terus berlanjut di wilayah kantong Gaza tersebut, yang semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di daerah tersebut. Masyarakat internasional semakin mengkhawatirkan dampak dari serangan ini terhadap masa depan perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut.

Serangan Udara Israel Lumpuhkan Rumah Sakit Al-Ahli di Gaza

Sebuah serangan udara Israel menghantam Rumah Sakit Al-Ahli Arab di Gaza pada Minggu pagi, menyebabkan kerusakan besar pada fasilitas medis utama dan membuat rumah sakit tersebut tidak lagi bisa berfungsi. Menurut sumber medis Palestina dan saksi mata, serangan ini merusak unit operasi bedah serta unit produksi oksigen yang vital bagi pelayanan kesehatan di kawasan tersebut.

Militer Israel menyatakan bahwa serangan tersebut menargetkan markas komando Hamas yang diduga beroperasi di dalam kompleks rumah sakit. Dalam pernyataan gabungan, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Badan Keamanan Israel (ISA) menuduh Hamas menggunakan rumah sakit sebagai tempat koordinasi serangan, dan menyebut bahwa amunisi berpemandu presisi digunakan setelah pengintaian dilakukan untuk meminimalisasi dampak terhadap warga sipil.

Namun, seorang tenaga medis mengungkapkan bahwa meski ada peringatan evakuasi, serangan terjadi dengan cepat, dan proses penyelamatan menjadi kacau akibat pengeboman yang berlangsung. Banyak pasien dan pengungsi yang berada di lokasi saat serangan terjadi. Bahkan, seorang anak meninggal dalam proses evakuasi karena situasi yang memburuk.

Kantor media pemerintah yang dikelola Hamas mengecam serangan tersebut sebagai kejahatan perang, dan menyalahkan Israel serta Amerika Serikat atas kehancuran yang terjadi. Otoritas kesehatan Gaza mengimbau lembaga internasional untuk melindungi fasilitas kesehatan yang tersisa. Hingga kini, jumlah korban jiwa akibat konflik sejak 7 Oktober 2023 mencapai 50.944 orang, dengan lebih dari 116 ribu lainnya terluka.

Penolakan Gaza terhadap Mekanisme Bantuan Israel yang Dinilai Berbahaya

Pemerintah Gaza melalui Kantor Media resminya menolak rencana baru Israel dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina. Penolakan ini ditegaskan pada Selasa, 8 April, dengan alasan bahwa rencana tersebut memberi ruang kepada tentara Israel atau perusahaan yang terafiliasi militer untuk mendistribusikan bantuan secara langsung. Mereka menilai hal ini sebagai bentuk manipulasi yang membahayakan nasib kemanusiaan di Jalur Gaza dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan internasional.

Menurut pernyataan tersebut, Israel diduga menggunakan skema bantuan sebagai alat untuk memperkuat kontrol dan melakukan tekanan politik terhadap warga sipil. Kantor Media Gaza memperingatkan bahwa warga akan terpapar risiko tinggi karena berkumpul di titik distribusi yang bisa menjadi sasaran serangan. Sejak awal Maret, Israel menutup jalur perbatasan, memblokir pasokan makanan, air, dan obat-obatan, memperparah situasi kelaparan dan krisis kesehatan yang sudah mengkhawatirkan.

Sementara itu, laporan dari surat kabar Israel Yedioth Ahronoth menyebut bahwa militer Israel sedang mempertimbangkan peluncuran program bantuan percontohan, terutama di wilayah Rafah. Namun, rencana ini tidak akan melibatkan pihak Palestina seperti Hamas, melainkan dilakukan bersama organisasi internasional. Kantor Media Gaza menyebut langkah tersebut sebagai upaya untuk melegitimasi pendudukan ilegal dan menghindari tanggung jawab hukum.

Situasi semakin genting setelah militer Israel kembali melancarkan serangan sejak pertengahan Maret, menyebabkan ribuan korban jiwa dan luka-luka. Lebih dari 50.000 warga Palestina telah meninggal dunia sejak Oktober 2023. Komunitas internasional dan PBB pun didesak untuk menolak rencana distribusi Israel dan menemukan jalur kemanusiaan yang adil serta aman.

Derita Tanpa Akhir: Genosida di Gaza Terus Berlangsung

Dalam kurun waktu 24 jam terakhir, kekerasan yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza kembali merenggut nyawa puluhan warga sipil. Setidaknya 60 warga Palestina dilaporkan tewas dan 162 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan brutal yang terus berlanjut. Data medis terbaru menunjukkan bahwa jumlah korban tewas sejak awal agresi pada 7 Oktober 2023 kini mencapai 50.669 jiwa, sementara korban luka telah menembus angka 115.225 orang. Tragisnya, sebagian besar dari para korban tersebut merupakan perempuan dan anak-anak yang tak berdaya.

Situasi di lapangan semakin memburuk lantaran tim penyelamat kesulitan menjangkau korban yang terjebak di bawah reruntuhan atau tergeletak di jalan-jalan. Pergerakan ambulans dan petugas pertahanan sipil terus dihalangi oleh pasukan Israel, memperparah kondisi kemanusiaan yang sudah sangat genting. Banyak jasad yang belum bisa dievakuasi karena akses bantuan terhambat, memperlihatkan betapa tidak amannya kondisi kemanusiaan di wilayah yang terus digempur tanpa jeda.

Meskipun Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan seruan tegas agar segera dilakukan gencatan senjata, serta Mahkamah Internasional juga mendesak diterapkannya langkah nyata untuk menghentikan potensi genosida, serangan terhadap warga sipil masih terus terjadi. Krisis kemanusiaan di Gaza tampak belum akan berakhir, dengan penderitaan rakyat Palestina yang kian mendalam di tengah diamnya sebagian besar komunitas internasional. Seruan dunia tampaknya belum cukup kuat untuk menghentikan laju kekerasan yang mengoyak kemanusiaan, sementara rakyat Gaza terus berjuang bertahan hidup di tengah reruntuhan dan kepedihan.

Krisis Kemanusiaan Gaza Memburuk, Ratusan Ribu Warga Kembali Mengungsi

Sekitar 280.000 penduduk Gaza kembali mengalami pengungsian akibat eskalasi konflik yang terjadi dalam dua pekan terakhir. Data ini disampaikan oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) pada Kamis (3/4), yang mencatat banyak dari warga tersebut terpaksa berlindung di tempat penampungan yang padat dan tidak layak huni. Kondisi di lokasi pengungsian sangat memprihatinkan, dengan laporan adanya serangan kutu dan tungau yang menyebabkan iritasi kulit serta masalah kesehatan lainnya.

OCHA menjelaskan bahwa perintah evakuasi dari pihak Israel terus meningkat, memaksa warga sipil mencari perlindungan baru dalam situasi yang semakin genting. Tempat-tempat penampungan yang tersisa telah melebihi kapasitas, memperburuk kondisi kebersihan dan sanitasi. Akibat blokade yang berlangsung selama sebulan, pasokan bantuan kemanusiaan dan barang-barang esensial ke wilayah Gaza semakin terbatas, menyulitkan upaya peningkatan standar kebersihan di area pengungsian.

PBB dan mitra-mitra kemanusiaannya masih berupaya memberikan bantuan semaksimal mungkin, selama kondisi di lapangan memungkinkan. Meski begitu, keterbatasan logistik dan penutupan perlintasan perbatasan membuat distribusi bantuan menjadi sangat terbatas. Salah satu bentuk bantuan yang masih dapat diberikan adalah penyediaan lebih dari 900.000 porsi makanan hangat setiap hari oleh mitra keamanan pangan.

OCHA menyerukan kepada semua pihak agar perlintasan perbatasan segera dibuka kembali agar bantuan kemanusiaan dapat masuk dan memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat Gaza yang tengah menghadapi krisis besar.

Krisis Kemanusiaan di Suriah: Tantangan Besar Pasca Kejatuhan Rezim Assad

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis menegaskan bahwa situasi kemanusiaan di Suriah masih menjadi salah satu yang paling serius di dunia, dengan 16,5 juta orang memerlukan bantuan darurat. Meskipun ada harapan setelah kejatuhan rezim Assad pada Desember lalu, kondisi di negara itu terus memburuk. Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Suriah, Adam Abdelmoula, dalam konferensi pers melalui tautan video dari Damaskus, mengungkapkan bahwa ranjau darat dan sisa bahan peledak perang telah menyebabkan lebih dari 600 korban sejak Desember, di mana sepertiga di antaranya adalah anak-anak. Dalam periode yang sama, sekitar 1,2 juta orang telah kembali ke rumah mereka, termasuk 885.000 pengungsi internal serta 302.000 orang lainnya yang sebelumnya mencari perlindungan di luar negeri.

Badan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan bahwa hingga 3,5 juta orang akan kembali ke Suriah tahun ini, tetapi banyak di antara mereka menghadapi berbagai kendala seperti minimnya layanan dasar, ancaman keamanan, dan kurangnya dokumen hukum. Sementara itu, penghentian pendanaan kemanusiaan pada Januari berdampak buruk terhadap bantuan di wilayah timur laut, terutama di kamp-kamp pengungsi internal dan permukiman informal. Ketegangan terus berlanjut di berbagai wilayah, termasuk utara, selatan, dan pesisir, mengakibatkan ribuan orang kembali mengungsi dan menyulitkan distribusi bantuan. Eskalasi kekerasan di wilayah pesisir juga menyebabkan ratusan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur penting, termasuk fasilitas kesehatan.

Setelah kejatuhan Assad pada Desember, otoritas baru Suriah berusaha menyelesaikan status mantan anggota rezim dengan menawarkan amnesti bagi mereka yang menyerahkan senjata dan tidak terlibat dalam kejahatan perang. Meskipun banyak yang menerima tawaran tersebut, beberapa kelompok bersenjata yang masih loyal terhadap Assad menolak dan melarikan diri ke daerah pegunungan, menciptakan ketegangan baru serta melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah. Assad sendiri melarikan diri ke Rusia pada 8 Desember 2024, menandai akhir dari kekuasaan Partai Baath yang telah berlangsung sejak 1963. Pada Januari, Ahmed al-Sharaa, pemimpin pasukan anti-rezim, diumumkan sebagai presiden transisi Suriah, membawa harapan baru bagi negara yang telah lama dilanda konflik.

Palestina Desak PBB Hentikan Blokade Israel yang Sebabkan Kelaparan di Gaza

Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza semakin memburuk seiring dengan berlanjutnya blokade yang diterapkan oleh Israel. Warga Palestina menghadapi kesulitan ekstrem dalam memperoleh kebutuhan dasar, sementara fasilitas kesehatan di wilayah tersebut semakin kewalahan akibat terbatasnya pasokan medis dan tenaga medis yang terus berkurang. Banyak rumah sakit dilaporkan tidak dapat beroperasi dengan maksimal karena kurangnya listrik dan bahan bakar untuk menjalankan peralatan medis.

Pemerintah Palestina menyoroti bagaimana blokade ini tidak hanya berdampak pada kebutuhan pokok, tetapi juga mengancam keselamatan ribuan anak-anak dan perempuan yang menjadi kelompok paling rentan dalam konflik ini. Organisasi kemanusiaan yang berusaha menyalurkan bantuan ke Gaza menghadapi berbagai kendala akibat ketatnya pembatasan yang diberlakukan Israel.

Sementara itu, berbagai negara dan lembaga internasional telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap krisis yang terjadi. PBB dan beberapa organisasi kemanusiaan mendesak Israel untuk membuka jalur bantuan dan memberikan akses bagi lembaga medis guna mengurangi penderitaan warga Gaza. Namun, hingga saat ini, belum ada langkah nyata yang diambil untuk mengakhiri blokade tersebut.

Dengan semakin mendesaknya situasi, Palestina terus meminta komunitas internasional untuk menekan Israel agar menghormati hukum humaniter internasional dan mengizinkan distribusi bantuan tanpa hambatan. Mereka juga mengingatkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, dampak jangka panjangnya dapat semakin memperburuk stabilitas di kawasan dan mengancam kehidupan lebih banyak warga sipil yang tidak bersalah.

Israel Putus Aliran Listrik ke Gaza, Hamas Kecam Pelanggaran Gencatan Senjata

Israel kembali menuai kecaman setelah memutus pasokan listrik ke Jalur Gaza, yang dinilai sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata. Izzat Al-Risheq, anggota biro politik Hamas, menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk hukuman kolektif terhadap rakyat Palestina dan sebuah kejahatan kemanusiaan. Melalui pernyataannya di Telegram, Al-Risheq menegaskan bahwa kebijakan tersebut mencakup pemblokiran lalu lintas perbatasan, penghentian bantuan kemanusiaan serta bahan bakar, yang bertujuan menekan rakyat Gaza melalui strategi pemerasan.

Pemutusan listrik ini dilakukan setelah otoritas energi Israel, di bawah perintah pejabat tinggi Eli Cohen, menginstruksikan penghentian total pasokan tenaga listrik ke Gaza. Langkah ini diklaim sebagai upaya menekan Hamas agar segera membebaskan sandera yang masih berada di wilayah tersebut. Sebelumnya, sempat ada pemulihan sementara pasokan listrik untuk mengoperasikan sistem pembuangan limbah di Gaza, namun kini aliran listrik telah dihentikan sepenuhnya.

Israel juga memperketat blokade sejak 2 Maret 2025 dengan melarang masuknya bantuan kemanusiaan. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap sikap Hamas yang menolak memperpanjang gencatan senjata sesuai rencana yang diajukan oleh Amerika Serikat. Sejak gencatan senjata berlangsung antara 19 Januari hingga 1 Maret, telah terjadi pertukaran sandera. Hamas membebaskan 30 sandera yang masih hidup dan menyerahkan delapan jenazah, sementara Israel membebaskan sekitar 1.700 tahanan Palestina serta menarik sebagian pasukannya dari Gaza.

Saat ini, masih terdapat 59 sandera Israel yang dilaporkan berada di Gaza, dengan sekitar separuhnya dinyatakan telah meninggal. Situasi semakin tegang karena Israel berencana meningkatkan tekanan jika Hamas tetap menolak negosiasi. Di tengah krisis yang semakin memburuk, komunitas internasional pun mulai mempertanyakan kelangsungan perdamaian di wilayah tersebut.

Eskalasi Konflik di Suriah: 237 Orang Tewas dalam Bentrokan Sengit

Sejak meningkatnya ketegangan militer di wilayah pesisir Suriah pada Kamis (6/3), sedikitnya 237 orang dilaporkan tewas dalam bentrokan yang terus meluas. Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa korban terdiri dari personel militer, pejuang oposisi, dan warga sipil. Pasukan pemerintah melancarkan operasi besar-besaran untuk menumpas sisa-sisa faksi militer dari rezim sebelumnya di provinsi Latakia, Tartous, dan Hama. Situasi ini bermula dari serangan mendadak kelompok bersenjata terhadap pasukan pemerintah, termasuk pos pemeriksaan dan markas utama yang berada di sepanjang garis pantai.

Seiring berjalannya waktu, intensitas pertempuran semakin meningkat, dan jumlah korban terus bertambah. Hingga Jumat (7/3), total korban tewas mencapai 237 orang, dengan 142 di antaranya merupakan warga sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran. Selain itu, korban juga mencakup 50 tentara serta perwira dari Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri Suriah, serta 45 pejuang oposisi yang turut terlibat dalam bentrokan. Situasi di medan perang semakin tidak terkendali, memaksa pemerintah untuk mengerahkan bala bantuan tambahan, termasuk persenjataan berat guna menghadapi kelompok oposisi yang masih bertahan.

Bentrokan sengit masih terus berlanjut di berbagai wilayah, terutama di pedesaan Latakia dan Tartous. Meskipun pasukan pemerintah terus menggempur kelompok oposisi dengan serangan darat dan udara, perlawanan yang diberikan cukup kuat. Kelompok bersenjata masih melakukan penyergapan terhadap pasukan pemerintah dan menyerang infrastruktur militer strategis. Eskalasi ini menjadi yang paling mematikan sejak kejatuhan pemerintahan sebelumnya pada Desember lalu, menunjukkan bahwa konflik di Suriah masih jauh dari kata usai.

Sumber-sumber lokal melaporkan bahwa selain korban jiwa, banyak warga sipil yang terpaksa mengungsi demi menghindari dampak pertempuran. Rumah-rumah dan fasilitas umum seperti sekolah serta rumah sakit mengalami kerusakan akibat baku tembak dan serangan udara. Bantuan kemanusiaan juga sulit masuk ke wilayah terdampak, memperburuk kondisi masyarakat yang terjebak di tengah konflik.

Situasi yang terus memburuk ini menimbulkan kekhawatiran di tingkat internasional. Sejumlah negara dan organisasi hak asasi manusia mendesak adanya upaya diplomasi untuk mengakhiri kekerasan, namun hingga kini belum ada tanda-tanda meredanya konflik. Ketidakstabilan politik dan keamanan di Suriah terus berlanjut, berpotensi menyebabkan jumlah korban semakin bertambah dan dampak konflik semakin meluas.