Tragedi di Gaza: Serangan Udara Lumpuhkan Rumah Sakit Baptis Al-Ahli

Pada Ahad dini hari, pesawat tempur Israel melancarkan serangan ke Rumah Sakit Baptis Al-Ahli yang terletak di Kota Gaza. Dua rudal dilaporkan menghantam bagian resepsionis rumah sakit tersebut, mengakibatkan kehancuran besar serta kebakaran hebat yang merusak unit-unit penting seperti layanan darurat, laboratorium, dan apotek. Akibatnya, rumah sakit itu terpaksa menghentikan seluruh operasional medisnya.

Sumber lokal menyebutkan bahwa militer Israel sempat memberikan peringatan langsung sebelum serangan, memberi waktu hanya 18 menit kepada pasien, korban luka, dan tenaga medis untuk meninggalkan gedung. Evakuasi mendadak tersebut menimbulkan kekacauan karena banyak pasien tak sempat dipindahkan, dan sejumlah korban terlihat tergeletak di jalanan dalam kondisi cuaca yang buruk.

Rumah Sakit Baptis Al-Ahli merupakan institusi vital yang selama ini melayani lebih dari satu juta warga di Gaza dan wilayah utaranya. Kehancuran fasilitas ini menjadi tamparan keras bagi sistem kesehatan yang telah tertekan sejak dimulainya agresi Israel pada 7 Oktober 2023. Sejauh ini, sedikitnya 34 rumah sakit serta puluhan klinik telah dihancurkan dalam serangan-serangan sebelumnya.

Serangan terhadap fasilitas medis ini dinilai oleh kelompok hak asasi manusia sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional, khususnya Konvensi Jenewa. Rumah Sakit Baptis Al-Ahli sebelumnya juga menjadi lokasi tragedi pada 17 Oktober 2023, di mana ratusan warga sipil meninggal dunia akibat serangan udara. Dengan hancurnya rumah sakit ini, Gaza utara kini kehilangan salah satu fasilitas medis terakhir yang tersisa di tengah konflik yang terus berkecamuk.

Xi Jinping dan UE: Menyatukan Visi Globalisasi di Tengah Gejolak Ekonomi Dunia

Presiden China Xi Jinping mengajak Uni Eropa untuk tetap mendukung globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, di tengah memanasnya konflik tarif antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Ia menyampaikan bahwa China dan UE, yang menyumbang lebih dari sepertiga total output ekonomi dunia, memiliki hubungan ekonomi simbiosis yang kuat dan harus bersama-sama menolak tindakan sepihak maupun intimidatif. Pernyataan itu disampaikan Xi saat bertemu Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez di Beijing, dalam pertemuan yang turut dihadiri Menteri Luar Negeri China Wang Yi.

Xi menegaskan bahwa tidak ada pihak yang menang dalam perang tarif. China tidak gentar terhadap tekanan luar dan tetap fokus menjalankan urusannya dengan tenang dan penuh keyakinan. Ia menyebut bahwa sebagai kekuatan besar dunia, China dan UE harus mempertahankan keadilan serta ketertiban internasional demi kepentingan bersama. Xi juga menyatakan bahwa China selalu mendukung persatuan dan pertumbuhan Uni Eropa, dan melihat UE sebagai pilar penting dalam tatanan dunia multipolar.

Menjelang peringatan 50 tahun hubungan diplomatik antara China dan UE, Xi berharap kerja sama keduanya semakin erat. Ia juga menggarisbawahi pentingnya hubungan bilateral dengan Spanyol, terutama dalam menjaga stabilitas global melalui solidaritas dan kolaborasi. Xi menyatakan bahwa China siap memperkuat kemitraan strategis dengan Spanyol, termasuk di bidang energi hijau, teknologi tinggi, dan pembangunan kota pintar.

PM Sánchez menegaskan dukungan Spanyol terhadap kebijakan “Satu China” dan menyatakan keinginannya mempererat kerja sama di berbagai sektor strategis. Ia juga mendukung hubungan yang stabil antara UE dan China serta menyuarakan penolakan terhadap kebijakan tarif sepihak. Kedua pemimpin turut membahas konflik Ukraina meski tidak mengungkapkan isi perbincangan secara rinci.

Gaza Membara: Serangan dan Krisis Kemanusiaan Memburuk

Serangan Israel yang terus berlangsung di Gaza telah menimbulkan penderitaan luar biasa bagi warga sipil, khususnya karena kelangkaan makanan dan maraknya penjarahan akibat blokade bantuan. Badan-badan kemanusiaan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyampaikan kekhawatiran serius atas dampak serangan yang terjadi. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyebutkan bahwa hampir setiap hari terdapat laporan korban tewas dan luka di kalangan warga sipil Palestina akibat serangan udara. Salah satu insiden terbaru di Kota Gaza menewaskan puluhan orang, termasuk sedikitnya delapan anak-anak, setelah sebuah bangunan tempat tinggal dihantam.

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat lebih dari 1.500 orang meninggal dunia, mayoritas perempuan dan anak-anak, sejak intensitas serangan meningkat dalam beberapa minggu terakhir. Blokade yang terus berlangsung telah memperparah situasi, membuat akses terhadap bantuan kemanusiaan semakin sulit. OCHA menyebutkan bahwa kehabisan stok bantuan membuat penjarahan meluas, dengan insiden yang terjadi di beberapa wilayah seperti Rafah dan Deir al Balah. Selain itu, lebih dari 60.000 anak mengalami malanutrisi saat dapur umum mulai kehilangan bahan bakar dan bahan pangan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyoroti kondisi kesehatan di Gaza. Meski sejumlah pasien berhasil dievakuasi untuk perawatan ke luar negeri, masih ada puluhan ribu pasien yang membutuhkan evakuasi mendesak. Krisis air bersih dan buruknya sanitasi di tempat penampungan membuat warga terpapar penyakit, bahkan lebih dari sepertiga rumah tangga mengalami infestasi kutu pada Maret lalu. PBB mendesak agar seluruh perbatasan dibuka untuk mempercepat penyaluran bantuan kemanusiaan.

Dunia Harus Bergerak: MER-C Soroti Tragedi Kemanusiaan di Gaza

Komite Penyelamatan Darurat Medis (MER-C) Indonesia mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Jalur Gaza. Ketua Presidium MER-C, Hadiki Habib, dalam siaran pers yang diterima pada Kamis di Jakarta, menegaskan bahwa situasi ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Ia menyebut, berdiam diri di tengah penderitaan warga Gaza hanya akan menjadi bentuk pembiaran terhadap kejahatan kemanusiaan yang sedang terjadi.

Hadiki menyatakan bahwa Israel telah berulang kali menyerang dan membunuh tenaga medis yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan. Tindakan tersebut, menurutnya, merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Di tengah upaya gencatan senjata, justru serangan terhadap tenaga kesehatan, pekerja bantuan, bahkan staf PBB terus berlangsung secara sistematis dan terencana.

Penutupan akses terhadap bantuan kemanusiaan juga memperparah kondisi di Gaza. Ancaman kelaparan kini menghantui, bahkan disebut-sebut sebagai bencana kelaparan terburuk yang pernah terjadi di wilayah tersebut. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya turut menjadi sasaran serangan, yang membuat pelayanan kesehatan nyaris lumpuh total.

Sejak 18 Maret 2025, MER-C telah mengirimkan delapan tim medis ke Gaza, dan enam relawan masih bertahan di Rumah Sakit Indonesia yang berada di Gaza Utara. Para relawan tersebut menyaksikan secara langsung dampak serangan yang menimpa warga sipil setiap harinya. Hadiki menutup pernyataannya dengan seruan tegas agar dunia internasional tidak hanya diam, melainkan bersuara dan bertindak nyata untuk menghentikan tragedi besar ini.

Penolakan Gaza terhadap Mekanisme Bantuan Israel yang Dinilai Berbahaya

Pemerintah Gaza melalui Kantor Media resminya menolak rencana baru Israel dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina. Penolakan ini ditegaskan pada Selasa, 8 April, dengan alasan bahwa rencana tersebut memberi ruang kepada tentara Israel atau perusahaan yang terafiliasi militer untuk mendistribusikan bantuan secara langsung. Mereka menilai hal ini sebagai bentuk manipulasi yang membahayakan nasib kemanusiaan di Jalur Gaza dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan internasional.

Menurut pernyataan tersebut, Israel diduga menggunakan skema bantuan sebagai alat untuk memperkuat kontrol dan melakukan tekanan politik terhadap warga sipil. Kantor Media Gaza memperingatkan bahwa warga akan terpapar risiko tinggi karena berkumpul di titik distribusi yang bisa menjadi sasaran serangan. Sejak awal Maret, Israel menutup jalur perbatasan, memblokir pasokan makanan, air, dan obat-obatan, memperparah situasi kelaparan dan krisis kesehatan yang sudah mengkhawatirkan.

Sementara itu, laporan dari surat kabar Israel Yedioth Ahronoth menyebut bahwa militer Israel sedang mempertimbangkan peluncuran program bantuan percontohan, terutama di wilayah Rafah. Namun, rencana ini tidak akan melibatkan pihak Palestina seperti Hamas, melainkan dilakukan bersama organisasi internasional. Kantor Media Gaza menyebut langkah tersebut sebagai upaya untuk melegitimasi pendudukan ilegal dan menghindari tanggung jawab hukum.

Situasi semakin genting setelah militer Israel kembali melancarkan serangan sejak pertengahan Maret, menyebabkan ribuan korban jiwa dan luka-luka. Lebih dari 50.000 warga Palestina telah meninggal dunia sejak Oktober 2023. Komunitas internasional dan PBB pun didesak untuk menolak rencana distribusi Israel dan menemukan jalur kemanusiaan yang adil serta aman.

Hamas Apresiasi Pengusiran Dubes Israel dari Konferensi Uni Afrika

Kelompok Palestina Hamas menyambut baik keputusan Uni Afrika yang mengusir Duta Besar Israel untuk Ethiopia, Avraham Neguise, dari konferensi peringatan genosida Rwanda di Addis Ababa pada 7 April. Langkah ini disebut Hamas sebagai tindakan berani yang mencerminkan nilai-nilai serta prinsip Uni Afrika, yang sejak lama dikenal mendukung perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan dan kolonialisme Zionis.

Menurut laporan Anadolu, pengusiran tersebut terjadi setelah sejumlah negara anggota Uni Afrika menolak untuk menghadiri konferensi jika Israel tetap diwakili di dalamnya. Hamas menilai kehadiran Israel dalam forum yang membahas genosida sebagai bentuk keberanian yang keterlaluan, mengingat Israel sendiri tengah dituduh melakukan genosida terhadap warga Palestina, khususnya di Gaza.

Hamas menyerukan kepada berbagai organisasi regional dan internasional agar menerapkan boikot penuh terhadap Israel dan tidak memberikan ruang bagi negara tersebut untuk memanfaatkan forum internasional demi membenarkan tindakannya di wilayah Palestina. Insiden serupa juga pernah terjadi pada Februari 2023, ketika diplomat Israel diusir dari KTT Uni Afrika ke-36.

Sejak dimulainya serangan besar-besaran Israel di Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 50.700 warga Palestina telah terbunuh—kebanyakan merupakan perempuan dan anak-anak. Pengadilan Kriminal Internasional telah menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, terkait dugaan keterlibatan mereka dalam kejahatan perang dan pelanggaran serius terhadap kemanusiaan. Israel kini juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional.

OKI Kecam Serangan Israel ke Tenda Jurnalis di Gaza, Desak ICC dan UNESCO Bertindak

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyampaikan kecaman keras terhadap aksi militer Israel yang menyerang tenda jurnalis di Kota Khan Yunis, Gaza bagian selatan. Serangan tersebut menyebabkan satu jurnalis tewas dan melukai sejumlah lainnya. Dalam pernyataannya, OKI menilai tindakan itu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap kebebasan pers dan sebagai upaya sistematis untuk membungkam kebenaran serta menutupi kejahatan yang dilakukan oleh pendudukan Zionis terhadap rakyat Palestina.

OKI menyebut bahwa tindakan militer Israel ini merupakan kelanjutan dari kebijakan pendudukan yang kejam, dengan tujuan mencegah suara para jurnalis mencapai dunia internasional dan mengaburkan fakta-fakta pelanggaran HAM. Sejak dimulainya agresi di Gaza, lebih dari 210 jurnalis dan pekerja media dilaporkan telah kehilangan nyawa, dan OKI menyatakan Israel sebagai pihak yang harus bertanggung jawab penuh atas tragedi kemanusiaan ini.

OKI juga kembali menyerukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk segera menyelesaikan penyelidikan atas seluruh kejahatan yang dilakukan oleh pasukan Israel, termasuk serangan langsung terhadap jurnalis, penahanan sewenang-wenang, serta kekerasan fisik yang mereka alami saat menjalankan tugas. OKI mendesak UNESCO dan lembaga internasional lainnya agar mengambil langkah konkret dalam memastikan para pelaku kejahatan terhadap media diproses hukum serta memberikan perlindungan nyata bagi kebebasan pers di wilayah pendudukan Palestina. Semua tindakan ini harus dilakukan sesuai prinsip hukum humaniter internasional dan perjanjian global yang berlaku.

Menlu UEA dan Israel Bahas Gencatan Senjata dan Krisis Kemanusiaan di Gaza

Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan, melakukan pertemuan penting dengan Menlu Israel, Gideon Saar, di Abu Dhabi. Pertemuan ini difokuskan pada pembaruan gencatan senjata di Jalur Gaza serta pembebasan para sandera yang ditahan oleh kelompok Hamas. Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri UEA menyampaikan bahwa Sheikh Abdullah menekankan pentingnya mengutamakan upaya penghentian kekerasan dan pembebasan sandera sebagai langkah awal menuju stabilitas kawasan.

Ia juga menyoroti pentingnya memastikan aliran bantuan kemanusiaan yang aman dan tidak terhambat menuju Gaza, mengingat kondisi warga sipil yang semakin memprihatinkan. Selain itu, Sheikh Abdullah mendesak dibukanya kembali jalur diplomatik untuk mencapai solusi politik yang realistis, berdasarkan konsep dua negara sebagai landasan perdamaian jangka panjang. Ia pun menyerukan pengakhiran terhadap ekstremisme, meningkatnya ketegangan, dan aksi kekerasan yang terus berlangsung.

Sementara itu, situasi di Gaza kembali memanas setelah Israel melancarkan serangan pada malam 18 Maret lalu. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena Hamas menolak usulan dari Amerika Serikat terkait perpanjangan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Padahal, gencatan senjata resmi telah berakhir sejak 1 Maret 2025 dan berbagai pihak tengah berupaya memediasi kedua belah pihak agar mau kembali ke meja perundingan.

Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan pengetatan blokade. Israel dilaporkan telah memutus pasokan listrik ke fasilitas penting seperti pabrik desalinasi dan menghentikan akses masuk bantuan kemanusiaan, memperburuk krisis yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.

Derita Tanpa Akhir: Genosida di Gaza Terus Berlangsung

Dalam kurun waktu 24 jam terakhir, kekerasan yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza kembali merenggut nyawa puluhan warga sipil. Setidaknya 60 warga Palestina dilaporkan tewas dan 162 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan brutal yang terus berlanjut. Data medis terbaru menunjukkan bahwa jumlah korban tewas sejak awal agresi pada 7 Oktober 2023 kini mencapai 50.669 jiwa, sementara korban luka telah menembus angka 115.225 orang. Tragisnya, sebagian besar dari para korban tersebut merupakan perempuan dan anak-anak yang tak berdaya.

Situasi di lapangan semakin memburuk lantaran tim penyelamat kesulitan menjangkau korban yang terjebak di bawah reruntuhan atau tergeletak di jalan-jalan. Pergerakan ambulans dan petugas pertahanan sipil terus dihalangi oleh pasukan Israel, memperparah kondisi kemanusiaan yang sudah sangat genting. Banyak jasad yang belum bisa dievakuasi karena akses bantuan terhambat, memperlihatkan betapa tidak amannya kondisi kemanusiaan di wilayah yang terus digempur tanpa jeda.

Meskipun Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan seruan tegas agar segera dilakukan gencatan senjata, serta Mahkamah Internasional juga mendesak diterapkannya langkah nyata untuk menghentikan potensi genosida, serangan terhadap warga sipil masih terus terjadi. Krisis kemanusiaan di Gaza tampak belum akan berakhir, dengan penderitaan rakyat Palestina yang kian mendalam di tengah diamnya sebagian besar komunitas internasional. Seruan dunia tampaknya belum cukup kuat untuk menghentikan laju kekerasan yang mengoyak kemanusiaan, sementara rakyat Gaza terus berjuang bertahan hidup di tengah reruntuhan dan kepedihan.

Raja Yordania Desak Dunia Segera Bertindak untuk Akhiri Krisis Kemanusiaan Gaza

Raja Abdullah II dari Yordania mendesak komunitas internasional untuk segera mengambil langkah nyata menghentikan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz di Berlin, usai pembicaraan resmi mereka. Ia menekankan bahwa serangan militer Israel harus segera dihentikan, gencatan senjata perlu diberlakukan kembali, dan bantuan kemanusiaan mesti terus disalurkan kepada warga Gaza yang menderita.

Abdullah II juga menyoroti kondisi kritis di Tepi Barat, di mana puluhan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah dan desa mereka. Ia memperingatkan bahwa terus berlangsungnya kekerasan dan pengusiran ini bisa memperburuk instabilitas di kawasan. Ia menegaskan, Yordania berkomitmen memberikan bantuan semaksimal mungkin untuk meringankan penderitaan warga Gaza, dan mengapresiasi dukungan kemanusiaan dari pemerintah Jerman.

Sang Raja juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pelanggaran terhadap situs suci umat Islam dan Kristen di Yerusalem, yang menurutnya dapat memicu ketegangan baru dan menghambat peluang perdamaian. Menurutnya, satu-satunya solusi yang masuk akal adalah solusi politik dua negara yang bisa menjamin keamanan dan kedamaian bagi Palestina, Israel, serta kawasan secara luas.

Ia juga menekankan pentingnya stabilitas Suriah, termasuk dukungan terhadap pengungsi yang ingin kembali membangun negaranya. Abdullah II menutup dengan harapan agar semua pihak mendukung rencana rekonstruksi Gaza. Sementara itu, Kanselir Scholz menyatakan bahwa Jerman dan Yordania telah menjalin kemitraan erat selama lebih dari tujuh dekade, dan menegaskan pentingnya segera memulihkan gencatan senjata serta mempercepat pengiriman bantuan bagi korban konflik.