Ketegangan di Gaza: Hamas Tegaskan Negosiasi Gencatan Senjata Terus Berlangsung

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menegaskan bahwa komunikasi dengan para mediator mengenai gencatan senjata dan pertukaran tawanan di Jalur Gaza terus berlangsung tanpa henti. Juru bicara Hamas, Abdul Latif al-Qanoua, menyatakan bahwa berbagai proposal, termasuk yang diajukan oleh utusan Presiden AS, Steve Witkoff, masih dalam pembahasan. Proposal ini mencakup pembebasan lima warga Israel yang ditawan dengan imbalan gencatan senjata selama 50 hari, pembebasan tahanan Palestina, masuknya bantuan kemanusiaan, serta dimulainya tahap kedua negosiasi.

Hamas telah menyetujui usulan mediator yang melibatkan pembebasan seorang tentara Israel-Amerika dan pengembalian empat jenazah berkewarganegaraan ganda sebagai bagian dari proses negosiasi lanjutan. Namun, al-Qanoua menyebut Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebagai penghalang utama dalam tercapainya kesepakatan, menudingnya lebih mementingkan stabilitas pemerintahannya dibandingkan keselamatan para tawanan di Gaza.

Lebih lanjut, Hamas menyatakan kesiapannya untuk mendukung segala pengaturan pemerintahan Gaza, asalkan berdasarkan konsensus nasional. Mereka menegaskan tidak memiliki ambisi untuk mendominasi wilayah tersebut dan sebelumnya telah menyetujui pembentukan komite dukungan masyarakat yang tidak melibatkan Hamas secara langsung.

Hamas juga mengutuk agresi militer Israel di Gaza, menyebutnya sebagai “perang genosida” dengan dukungan dari Amerika Serikat. Mereka menyerukan agar AS menekan Israel untuk kembali ke perjanjian gencatan senjata dan tidak memperkeruh konflik. Serangan udara Israel sejak 18 Maret telah menewaskan lebih dari 700 warga Palestina dan melukai lebih dari 1.000 orang, menggagalkan kesepakatan gencatan senjata yang telah berlangsung sejak Januari.

Sejak Oktober 2023, hampir 50.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas dalam serangan Israel, sementara lebih dari 113.000 lainnya mengalami luka-luka. Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait serangan militernya di wilayah tersebut.

Ketegangan di Laut Merah: AS Beri Peringatan kepada Rusia terkait Serangan Houthi

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, memberitahu Menlu Rusia, Sergei Lavrov, tentang operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa serangan terhadap kelompok yang didukung Iran itu merupakan langkah pencegahan untuk melindungi kapal-kapal militer dan komersial Amerika yang berlayar di Laut Merah. Juru bicara Deplu AS, Tammy Bruce, menegaskan bahwa Washington tidak akan mentoleransi serangan Houthi yang terus berlanjut di jalur perdagangan strategis tersebut.

Selain membahas tindakan militer AS, kedua menteri juga mendiskusikan langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Mereka sepakat untuk terus menjaga komunikasi antara Washington dan Moskow guna menghindari eskalasi ketegangan lebih lanjut.

AS baru-baru ini melancarkan serangan udara ke Yaman yang menargetkan kelompok Houthi, menyebabkan sedikitnya 19 korban jiwa. Presiden AS, Donald Trump, memperingatkan bahwa tindakan lebih lanjut akan diambil jika kelompok tersebut tetap menyerang kapal-kapal dagang di Laut Merah. Sejak akhir 2023, Houthi telah melancarkan serangan rudal dan drone ke kapal-kapal yang dikaitkan dengan Israel, sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina di Gaza.

Houthi sempat menghentikan serangannya ketika gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan. Namun, setelah Israel kembali memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret, kelompok tersebut mengancam akan melanjutkan aksinya, meningkatkan risiko ketidakstabilan di kawasan.

AS Peringatkan Rusia Terkait Serangan Militer terhadap Houthi di Yaman

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, memberi tahu Menlu Rusia, Sergei Lavrov, mengenai operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan bahwa Rubio menegaskan serangan kelompok yang didukung Iran tersebut terhadap kapal-kapal militer dan komersial AS di Laut Merah tidak akan dibiarkan begitu saja.

Dalam percakapan tersebut, kedua menlu juga membahas langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Keduanya sepakat untuk terus berupaya memulihkan komunikasi antara Washington dan Moskow guna menghindari eskalasi lebih lanjut di kawasan tersebut.

Militer AS baru-baru ini melancarkan serangan udara ke posisi kelompok Houthi di Yaman, menewaskan sedikitnya 19 orang. Presiden AS, Donald Trump, memperingatkan bahwa serangan lanjutan akan dilakukan jika Houthi terus menyerang kapal-kapal dagang di Laut Merah. Kelompok Houthi sendiri telah menyerang kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Israel sejak akhir 2023 menggunakan rudal dan pesawat nirawak. Serangan ini mereka klaim sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.

Kelompok Houthi sempat menghentikan serangannya ketika gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan. Namun, mereka kembali mengancam akan melanjutkan serangan jika Israel tetap memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret. Situasi ini meningkatkan ketegangan di kawasan dan berpotensi memperumit hubungan internasional antara negara-negara yang terlibat.

Tegang! Korut Ingatkan Korsel, Satu Kesalahan Lagi Bisa Berujung Perang

Korea Utara kembali melontarkan kecaman keras terhadap latihan militer gabungan yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan. Latihan yang dimulai pada Senin (10/3/2025) ini disebut oleh Pyongyang sebagai tindakan provokatif yang berpotensi meningkatkan ketegangan di kawasan Semenanjung Korea. Dalam pernyataan yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri Korea Utara, mereka menegaskan bahwa latihan militer ini dapat memicu konflik besar hanya dengan satu tembakan yang tidak disengaja.

“Latihan ini adalah tindakan provokatif yang berbahaya dan bisa menciptakan ketegangan akut di Semenanjung Korea. Hal ini dapat berujung pada konflik fisik antara kedua belah pihak hanya karena satu insiden kecil,” bunyi pernyataan resmi yang dikutip oleh media pemerintah Korea Utara.

Insiden Bom yang Memperburuk Ketegangan

Kecaman Korea Utara muncul beberapa hari setelah terjadinya insiden tak terduga pada 6 Maret 2025. Dua jet tempur dari Angkatan Udara Korea Selatan secara tidak sengaja menjatuhkan delapan bom di sebuah desa yang terletak di wilayah tersebut, saat sedang menjalani latihan bersama pasukan militer Amerika.

Akibat insiden tersebut, 15 orang—termasuk warga sipil dan personel militer—mengalami luka-luka, sebagaimana dilaporkan oleh Badan Pemadam Kebakaran Nasional Korea Selatan. Insiden ini semakin memperburuk situasi yang sudah tegang akibat latihan gabungan yang berlangsung dalam rangka Freedom Shield 2025, yang melibatkan berbagai jenis latihan, mulai dari simulasi virtual hingga pelatihan lapangan.

Latihan yang Dinilai sebagai Persiapan Invasi

Latihan militer yang bertajuk Freedom Shield 2025 dijadwalkan berlangsung hingga 21 Maret 2025. Selama periode tersebut, Seoul dan Washington akan melakukan serangkaian kegiatan yang dianggap Korea Utara sebagai upaya persiapan invasi. Pyongyang telah lama mengkritik kerja sama militer antara Korea Selatan dan Amerika Serikat. Mereka menilai hal ini sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan Korea Utara.

Sebagai respons atas latihan ini, Korea Utara kerap melakukan uji coba rudal balistik, yang pada tahun lalu sempat memicu kecaman internasional karena melanggar sanksi yang diterapkan oleh PBB.

Ketegangan yang Terus Meningkat

Hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah serangkaian peluncuran rudal balistik oleh Pyongyang pada tahun 2024. Tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk unjuk kekuatan di tengah meningkatnya tekanan internasional.

Selain itu, meskipun Perang Korea berakhir pada 1953 dengan gencatan senjata, kedua negara tersebut secara teknis masih berada dalam kondisi perang karena belum ada perjanjian damai resmi. Kehadiran puluhan ribu tentara Amerika di Korea Selatan juga terus menjadi sumber ketegangan dengan Korea Utara.

Dalam pernyataan terbaru, Kementerian Luar Negeri Korea Utara menyebutkan bahwa latihan Freedom Shield 2025 adalah “latihan perang agresif dan konfrontatif” yang hanya memperburuk kondisi yang sudah tegang. Sebelumnya, Pyongyang juga mengecam keras kehadiran kapal induk Angkatan Laut AS yang berlabuh di pelabuhan Busan, Korea Selatan, menganggapnya sebagai bentuk provokasi baik secara politik maupun militer.

Dengan ketegangan yang semakin memuncak, banyak pihak yang khawatir akan potensi eskalasi yang dapat berujung pada konflik berskala besar di kawasan tersebut. Dunia internasional kini tengah memantau dengan cermat setiap langkah yang diambil oleh kedua belah pihak di Semenanjung Korea.

Perundingan di Arab Saudi Tuntas, AS Lanjutkan Dukungan untuk Ukraina

Amerika Serikat (AS) akhirnya kembali mengaktifkan sepenuhnya kerja sama intelijen dengan Ukraina, setelah sebelumnya sempat ditangguhkan. Selain itu, Washington juga melanjutkan pengiriman bantuan militer kepada Kyiv, yang sebelumnya dihentikan sementara sebagai bagian dari upaya mendorong perundingan damai.

Keputusan ini diungkapkan oleh seorang pejabat senior Ukraina dalam wawancara dengan Reuters, serta dikonfirmasi oleh seorang pejabat kepresidenan Ukraina. Namun, keduanya enggan disebutkan namanya.

Zelensky Setuju dengan Usulan Gencatan Senjata 30 Hari

Langkah AS ini diambil setelah Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menyetujui proposal AS untuk gencatan senjata selama 30 hari di Ukraina. Zelensky juga meminta Washington menekan Rusia agar menerima usulan tersebut demi membuka jalan bagi pembicaraan damai.

Perundingan membahas usulan ini dilakukan di Arab Saudi pada Selasa (11/3/2025) dan berlangsung selama delapan jam.

Menurut laporan Associated Press, pertemuan tersebut dihadiri oleh Penasihat Keamanan Nasional AS, Mike Waltz, yang menyatakan bahwa diskusi berjalan substantif. Para negosiator membahas langkah konkret untuk mengakhiri perang secara permanen, termasuk jaminan keamanan jangka panjang bagi Ukraina.

Trump Cabut Penangguhan Bantuan Militer

Dalam pertemuan itu, Presiden AS Donald Trump setuju untuk mencabut penangguhan miliaran dolar bantuan militer serta melanjutkan berbagi informasi intelijen dengan Ukraina.

“Delegasi Ukraina menyampaikan secara jelas bahwa mereka memiliki visi yang sama dengan Presiden Trump dalam mencapai perdamaian,” ujar Waltz.

Dalam pernyataan bersama yang dirilis setelah pertemuan, AS dan Ukraina sepakat bahwa sudah waktunya memulai proses menuju perdamaian yang berkelanjutan.

“Delegasi Ukraina kembali menyampaikan rasa terima kasih rakyatnya kepada Presiden Trump, Kongres AS, dan masyarakat Amerika atas dukungan mereka yang memungkinkan kemajuan nyata menuju perdamaian,” bunyi pernyataan itu.

Gencatan Senjata Bersyarat dan Peran Rusia

Sebagai bagian dari kesepakatan, Ukraina menyatakan kesediaannya menerima gencatan senjata sementara selama 30 hari, yang dapat diperpanjang jika kedua belah pihak menyetujuinya. Namun, perpanjangan ini bergantung pada komitmen Rusia untuk menerima dan menjalankan gencatan senjata secara bersamaan.

AS akan mengkomunikasikan hal ini kepada Rusia, menegaskan bahwa keterlibatan Moskow sangat penting dalam mencapai perdamaian yang nyata.

Selain itu, Washington berkomitmen untuk membahas perdamaian jangka panjang yang menjamin keamanan Ukraina, dengan melibatkan perwakilan dari Rusia serta mitra-mitra Eropa dalam prosesnya.

Kerja Sama Ekonomi Ukraina-AS

Di luar isu militer, AS dan Ukraina juga sepakat untuk mempercepat negosiasi mengenai pengembangan sumber daya mineral penting di Ukraina. Kesepakatan ini bertujuan untuk memperkuat ekonomi Ukraina, sekaligus menjamin keamanan dan stabilitas jangka panjang bagi negara tersebut.

Dengan langkah ini, perundingan di Arab Saudi menandai titik balik dalam hubungan AS-Ukraina. Kini, perhatian dunia tertuju pada respon Rusia terhadap usulan gencatan senjata serta bagaimana dinamika geopolitik di kawasan akan berkembang ke depannya.

Pemilu Jerman 2025 Resmi Berjalan, Isu Migrasi dan Keamanan Mengemuka

Jerman bersiap menghadapi momen penting dalam sejarah politiknya saat jutaan warga memberikan suara dalam Pemilu 2025 yang berlangsung pada Minggu (23/2/2025). Pemilu kali ini berlangsung di tengah meningkatnya kekhawatiran akan isu keamanan dan migrasi, setelah serangkaian serangan mematikan mengguncang negara tersebut.

Dalam kontestasi politik yang diawasi ketat oleh Eropa dan Amerika Serikat, Friedrich Merz, pemimpin konservatif berusia 69 tahun, berada di posisi terdepan untuk menjadi kanselir Jerman berikutnya. Jika menang, ia dihadapkan pada tugas besar untuk memulihkan ekonomi terbesar di Eropa dan memperbaiki infrastruktur negara dalam waktu empat tahun—sebuah janji yang tidak mudah diwujudkan.

Peta Koalisi: CDU Butuh Mitra Politik

Jika Partai Demokrat Kristen (CDU) yang dipimpin Merz keluar sebagai pemenang, mereka tetap harus mencari mitra koalisi untuk membentuk pemerintahan. Partai Sosial Demokrat (SPD) yang dipimpin Olaf Scholz, kanselir petahana yang pemerintahannya runtuh tahun lalu, disebut sebagai kandidat mitra utama.

Menjelang hari pemungutan suara, Merz menegaskan tidak akan bekerja sama dengan Alternatif untuk Jerman (AfD), partai sayap kanan yang kini berpotensi menjadi kekuatan politik terbesar kedua. Sementara itu, jumlah pemilih yang memenuhi syarat dalam pemilu ini mencapai 59,2 juta orang, dengan jutaan suara telah dikirim melalui pos.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa 20 persen pemilih masih ragu menentukan pilihan, meskipun waktu pemungutan suara semakin dekat. Tempat pemungutan suara akan dibuka pukul 08.00 dan ditutup pukul 18.00 waktu setempat, dengan hasil awal diperkirakan dapat diketahui pada malam harinya.

Dinamika Politik dan Tantangan Jerman ke Depan

Antusiasme tinggi terlihat dalam kampanye yang berlangsung hingga Sabtu malam, di mana debat terakhir—yang kesembilan dalam sembilan bulan terakhir—digelar di televisi nasional. Pemilu kali ini dianggap sebagai titik balik bagi Jerman dalam menentukan arah kebijakan domestik maupun global.

Merz berjanji akan membawa kepemimpinan yang kuat di Eropa, meskipun Jerman juga berada di bawah tekanan untuk menyesuaikan anggaran militernya. Sebagai penyedia bantuan militer terbesar kedua bagi Ukraina, pemerintahan baru Jerman harus menghadapi dinamika hubungan internasional, terutama dengan Presiden AS Donald Trump, yang secara terbuka mengecam Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan memperlemah solidaritas Barat terhadap Rusia.

Sementara itu, politik Jerman dikejutkan oleh pertemuan antara Wakil Presiden AS JD Vance dengan kandidat kanselir dari AfD, Alice Weidel. Dalam pertemuan itu, Vance menyuarakan keinginan untuk mengakhiri tabu politik Jerman yang melarang kerja sama dengan partai ekstrem kanan—sebuah prinsip yang dikenal sebagai firewall atau brandmauer di negara tersebut.

Hasil pemilu ini tidak hanya akan menentukan siapa yang memimpin Jerman ke depan, tetapi juga bagaimana negara tersebut menghadapi krisis geopolitik, tantangan ekonomi, dan dinamika politik global dalam beberapa tahun mendatang. 🚨🗳️

Palestina Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza: Strategi Zionis yang Tak Akan Berhasil

Perwakilan Jihad Islam Palestina di Teheran, Nasser Abu Sharif, menegaskan bahwa rakyat Palestina tidak akan tinggal diam menghadapi rencana pemindahan paksa warga Gaza yang diusulkan oleh Amerika Serikat. Dalam wawancaranya dengan kantor berita Iran, IRNA, pada Kamis (13/2), Abu Sharif menyatakan bahwa kebijakan ini bukanlah hal baru, melainkan bagian dari strategi Zionis yang telah berlangsung dalam berbagai bentuk sejak Israel berdiri.

Ia mengungkapkan bahwa selama lebih dari satu abad, negara-negara Barat telah berupaya mengusir penduduk asli Palestina dari tanah mereka demi kepentingan pemukim Zionis. Meski demikian, ia menegaskan bahwa rencana semacam itu berulang kali gagal di masa lalu karena keteguhan rakyat Palestina dalam mempertahankan hak mereka atas tanah kelahiran mereka.

Hingga saat ini, penduduk Jalur Gaza tetap bertahan di tengah kehancuran akibat serangan militer Israel yang telah berlangsung lebih dari 15 bulan. Mereka menghadapi blokade ekonomi yang ketat serta kehilangan berbagai sumber mata pencaharian. Abu Sharif menyoroti bahwa kondisi ini tidak hanya menyebabkan penderitaan luar biasa, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus keberadaan warga Palestina melalui kekerasan dan pembunuhan massal.

Ia pun mengutuk rencana pemindahan paksa yang didorong oleh Presiden AS Donald Trump, yang menurutnya merupakan bentuk nyata dari pelanggaran hak asasi manusia dan praktik pembersihan etnis. Oleh sebab itu, ia menyerukan agar kebijakan ini ditentang di tingkat internasional guna mengungkap ketidakadilan yang terus dialami rakyat Palestina.

Israel dan Lebanon Sepakati Perpanjangan Batas Waktu Penarikan Pasukan, AS Berikan Bantuan Keamanan

Amerika Serikat mengumumkan pada Minggu, 26 Januari, bahwa Israel dan Lebanon telah sepakat untuk memperpanjang batas waktu penarikan pasukan Israel dari Lebanon selatan hingga 18 Februari. Keputusan ini diambil setelah Israel meminta tambahan waktu lebih dari 60 hari dari tenggat waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan utama dari perpanjangan ini adalah untuk memastikan stabilitas yang lebih baik dan berkelanjutan antara kedua negara, terutama setelah ketegangan yang meningkat dalam beberapa bulan terakhir.

Gedung Putih menyatakan bahwa perpanjangan ini juga mencakup pembicaraan mengenai pembebasan tahanan Lebanon yang telah ditangkap oleh Israel setelah 7 Oktober 2023. Ini merupakan langkah penting dalam usaha untuk mengurangi ketegangan lebih lanjut dan menciptakan jalan bagi dialog yang konstruktif di masa depan. Selain itu, Amerika Serikat berkomitmen memberikan bantuan keamanan senilai 117 juta dolar AS (sekitar Rp1,9 triliun) kepada Lebanon untuk mendukung pelaksanaan gencatan senjata dengan Israel dan memperkuat stabilitas di wilayah tersebut.

Meski gencatan senjata telah disepakati, Israel dilaporkan melakukan delapan pelanggaran terhadap gencatan senjata tersebut dalam pekan sebelumnya. Dengan pelanggaran ini, total pelanggaran yang terjadi sejak gencatan senjata diberlakukan telah mencapai 629 kali. Gencatan senjata ini awalnya ditujukan untuk mengakhiri baku tembak yang dimulai antara Israel dan kelompok Hizbullah pada 8 Oktober 2023. Ketegangan ini kemudian berkembang menjadi konflik yang lebih besar pada 23 September 2023. Meskipun ada kemajuan dalam negosiasi, ketegangan di perbatasan tetap tinggi, dan upaya perdamaian harus terus diperkuat untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.

Tanggapi Sanksi AS, Presiden Kolombia Petro Tingkatkan Tarif Impor 25% dan Dorong Ekspor Lokal

Presiden Kolombia Gustavo Petro mengumumkan bahwa negaranya akan menaikkan tarif barang impor dari Amerika Serikat sebesar 25 persen, sebagai respons terhadap sanksi yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Sanksi tersebut diumumkan pada 26 Januari 2025, setelah Kolombia menolak untuk menerima pesawat yang mengangkut migran yang dideportasi dari AS.

Trump menegaskan bahwa kebijakan sanksi ini merupakan langkah pertama dan memperingatkan Kolombia bahwa AS tidak akan membiarkan negara tersebut mengabaikan kewajiban untuk menerima warganya yang dideportasi. Selain itu, Trump juga memberlakukan larangan bagi pejabat Kolombia untuk memasuki AS, serta pembatasan visa untuk keluarga dan rekan dekat mereka, bersama dengan peningkatan pemeriksaan terhadap warga Kolombia di perbatasan.

Sebagai balasan, Petro menginstruksikan Menteri Perdagangan Luar Negeri untuk menaikkan tarif impor barang dari AS dan berfokus pada perluasan pasar ekspor Kolombia ke negara lain. Dia juga mendorong penggantian barang-barang impor dari AS dengan produk-produk lokal. Dalam sebuah pernyataan, Petro mengajak komunitas internasional di Kolombia untuk mempromosikan produk dalam negeri sebagai pengganti barang-barang Amerika yang akan mengalami kenaikan harga akibat tarif baru.

Sementara itu, dalam pidatonya sebagai Presiden ke-47 AS, Trump berjanji akan menghentikan imigrasi ilegal ke AS dan memulai proses ekstradisi migran yang tidak berdokumen ke negara asal mereka. Trump juga mengumumkan keadaan darurat nasional terkait situasi di perbatasan selatan AS.

Korut Ancaman Balas Dendam Terhadap AS Setelah Latihan Militer Gabungan

Korea Utara (Korut) kembali menegaskan ancaman balasan yang lebih keras terhadap Amerika Serikat, dengan pernyataan tegas yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Korut pada hari Minggu. Pernyataan ini muncul setelah latihan udara gabungan yang berlangsung selama empat hari antara Korea Selatan (Korsel) dan Amerika Serikat pekan lalu. Korut merasa latihan militer ini merupakan langkah yang melanggar kedaulatan mereka, serta menambah ketegangan di kawasan tersebut. Sebagai respons terhadap provokasi ini, Korut menyatakan akan melakukan aksi balasan yang lebih intensif apabila AS terus mengabaikan hak dan kepentingan keamanan negara mereka.

Ancaman ini muncul setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memberikan pujian kepada Kim Jong Un sebagai “pria cerdas” dan menyatakan niatnya untuk melakukan kontak dengan pemimpin Korut tersebut. Namun, Korut mengingatkan bahwa niat baik dari pihak AS tersebut tidak akan mengubah sikap mereka jika AS tetap melakukan tindakan yang dianggap merugikan.

Latihan udara gabungan antara AS, Korsel, dan Jepang baru-baru ini juga disebut sebagai “tantangan serius” yang mengancam perdamaian di Semenanjung Korea. Korut menganggap tindakan tersebut sebagai ketidakseimbangan kekuatan yang perlu dihadapi dengan tindakan yang lebih keras. Mereka mengingatkan bahwa hak kedaulatan negara dan stabilitas kawasan harus dijaga dengan tegas.

Korut menegaskan bahwa balasan yang akan mereka lakukan bertujuan untuk melindungi keamanan nasional dan menciptakan kondisi yang lebih stabil dan damai di kawasan tersebut, terutama untuk menghindari ketegangan yang lebih besar dengan AS dan sekutunya.