Krisis Kemanusiaan Gaza: Israel Batasi Alat Berat, Evakuasi dan Pemulihan Terhambat

Israel hanya mengizinkan enam unit alat berat berukuran kecil untuk membersihkan reruntuhan di Jalur Gaza, sementara ratusan alat berat lain yang sangat dibutuhkan masih dilarang masuk. Akibatnya, upaya pemulihan di wilayah yang hancur akibat serangan Israel mengalami hambatan serius.

Ismail Thawabteh, Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, menyatakan bahwa beberapa alat berat yang diizinkan masuk bahkan dalam kondisi rusak dan memerlukan perbaikan serta suku cadang. Sementara itu, kebutuhan di lapangan jauh lebih besar, dengan perkiraan 500 unit alat berat diperlukan, termasuk buldoser, ekskavator, dan derek untuk membersihkan puing-puing, membuka jalan, serta mengevakuasi ribuan jenazah yang masih tertimbun.

Thawabteh menyoroti bahwa keterbatasan ini memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza. Ia juga mengkritik keputusan Israel, yang dianggapnya sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap penderitaan warga sipil di wilayah tersebut.

Di sisi lain, Hamas tengah berupaya menekan Israel melalui mediator dari Qatar dan Mesir agar mematuhi komitmen gencatan senjata yang telah disepakati. Gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari itu sejenak menghentikan konflik yang telah merenggut lebih dari 48.300 nyawa warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur di Gaza.

Sementara itu, pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga sedang menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait agresinya di wilayah tersebut.

Raja Abdullah II Tegaskan Penolakan Pemindahan Warga Palestina, Serukan Solusi Dua Negara

Raja Yordania, Abdullah II, menegaskan penolakan tegas terhadap pemindahan paksa warga Palestina dalam sebuah pertemuan dengan pensiunan militer di Royal Hashemite Court pada Senin (17/2). Dalam pernyataannya, Raja Abdullah II menegaskan bahwa selama 25 tahun terakhir, ia telah secara konsisten menolak pemindahan paksa, pemukiman kembali, dan pencarian tanah air alternatif untuk Palestina. Ia mengkritik pihak-pihak yang meragukan sikapnya dalam isu ini.

Selain itu, Raja Yordania menekankan perlunya de-eskalasi di Tepi Barat dan menegaskan bahwa solusi dua negara merupakan jalan satu-satunya menuju perdamaian yang adil dan stabilitas kawasan. Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga kepentingan serta stabilitas Yordania dan melindungi rakyatnya. Dalam kesempatan tersebut, ia juga menekankan pentingnya pembangunan kembali Gaza tanpa mengusir warga Palestina yang berada di Gaza dan Tepi Barat.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengundang Raja Abdullah II ke Gedung Putih, di mana Trump kembali menyatakan rencananya untuk merelokasi warga Gaza dan menjadikan wilayah tersebut sebagai kawasan wisata yang dikelola oleh AS. Gencatan senjata di Gaza telah diberlakukan sejak 19 Januari, menghentikan sementara perang Israel yang telah menyebabkan hampir 48.300 korban jiwa dari pihak Palestina dan menghancurkan wilayah tersebut.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Kepala Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang di Gaza. Sementara itu, Israel juga menghadapi tuntutan kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait perangnya di Gaza.

Netanyahu Menolak Bantuan Kemanusiaan Masuk Gaza Meski Ada Gencatan Senjata

Benjamin Netanyahu, Pemimpin Israel, menolak memberikan izin untuk memasukkan bantuan berupa rumah mobil dan alat berat ke Jalur Gaza meskipun telah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Laporan media pada Minggu, yang dikutip dari penyiaran publik KAN, mengungkapkan bahwa Netanyahu menahan izin bagi alat berat untuk membersihkan reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan militer Israel di Gaza. Keputusan ini menambah ketegangan dalam situasi kemanusiaan yang semakin memprihatinkan di wilayah tersebut.

Sebelumnya, Palestina menuding Israel telah melanggar protokol kemanusiaan yang disepakati dalam gencatan senjata. Israel dianggap menahan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, seperti tenda, rumah mobil, dan alat berat untuk membersihkan reruntuhan yang mengancam keselamatan warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal akibat agresi militer Israel.

Gaza saat ini berada dalam kondisi yang sangat hancur setelah serangan Israel, yang menyebabkan ribuan warga Palestina kehilangan rumah mereka. Pada Sabtu lalu, kelompok perlawanan Palestina, Hamas, melepaskan tiga sandera Israel setelah memperoleh jaminan dari mediator bahwa bantuan kemanusiaan, termasuk rumah mobil dan alat berat, akan diizinkan masuk ke Gaza.

Selama tahap pertama gencatan senjata yang dimediasi, sebanyak 19 warga Israel dan lima pekerja Thailand yang disandera oleh Hamas dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan tersebut. Sebagai imbalannya, Israel juga melepaskan 1.135 warga Palestina yang ditahan di penjara Israel. Konflik yang berlangsung telah memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, dan keputusan Netanyahu semakin mempersulit upaya bantuan bagi para korban.

Palestina Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza: Strategi Zionis yang Tak Akan Berhasil

Perwakilan Jihad Islam Palestina di Teheran, Nasser Abu Sharif, menegaskan bahwa rakyat Palestina tidak akan tinggal diam menghadapi rencana pemindahan paksa warga Gaza yang diusulkan oleh Amerika Serikat. Dalam wawancaranya dengan kantor berita Iran, IRNA, pada Kamis (13/2), Abu Sharif menyatakan bahwa kebijakan ini bukanlah hal baru, melainkan bagian dari strategi Zionis yang telah berlangsung dalam berbagai bentuk sejak Israel berdiri.

Ia mengungkapkan bahwa selama lebih dari satu abad, negara-negara Barat telah berupaya mengusir penduduk asli Palestina dari tanah mereka demi kepentingan pemukim Zionis. Meski demikian, ia menegaskan bahwa rencana semacam itu berulang kali gagal di masa lalu karena keteguhan rakyat Palestina dalam mempertahankan hak mereka atas tanah kelahiran mereka.

Hingga saat ini, penduduk Jalur Gaza tetap bertahan di tengah kehancuran akibat serangan militer Israel yang telah berlangsung lebih dari 15 bulan. Mereka menghadapi blokade ekonomi yang ketat serta kehilangan berbagai sumber mata pencaharian. Abu Sharif menyoroti bahwa kondisi ini tidak hanya menyebabkan penderitaan luar biasa, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus keberadaan warga Palestina melalui kekerasan dan pembunuhan massal.

Ia pun mengutuk rencana pemindahan paksa yang didorong oleh Presiden AS Donald Trump, yang menurutnya merupakan bentuk nyata dari pelanggaran hak asasi manusia dan praktik pembersihan etnis. Oleh sebab itu, ia menyerukan agar kebijakan ini ditentang di tingkat internasional guna mengungkap ketidakadilan yang terus dialami rakyat Palestina.

Netanyahu Dianggap Anti-Perdamaian Setelah Usulkan Negara Palestina di Saudi

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini kembali membuat kontroversi dengan pernyataan yang menyarankan agar negara Palestina didirikan di Arab Saudi, bukannya di wilayah yang selama ini diakui sebagai tanah Palestina. Dalam wawancaranya dengan Channel 14 Israel, Netanyahu mengusulkan gagasan tersebut, yang langsung menuai kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Palestina dan Arab Saudi. Mereka menganggap pernyataan Netanyahu ini sebagai bentuk penghinaan terhadap hak-hak Palestina dan pelanggaran terhadap kedaulatan Arab Saudi.

Kecaman Palestina dan Respons dari Arab Saudi Kementerian Luar Negeri Palestina menyatakan penolakannya secara tegas terhadap ide tersebut, menilai pernyataan Netanyahu sebagai langkah provokatif yang bertentangan dengan hukum internasional dan upaya untuk menghapus hak Palestina atas tanah mereka. “Ini adalah pelanggaran terhadap kedaulatan dan stabilitas Arab Saudi,” tegas kementerian tersebut.

Hussein Al-Sheikh, Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), juga mengutuk keras usulan tersebut. Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa negara Palestina hanya bisa berdiri di tanah Palestina dan tidak di negara lain. “Negara Palestina hanya akan ada di atas tanah Palestina,” ujarnya di media sosial. Ia juga menegaskan dukungan Arab Saudi terhadap solusi dua negara sebagai jalan utama menuju perdamaian yang adil di Timur Tengah.

Pandangan Netanyahu Mengenai Negara Palestina Dalam wawancaranya, Netanyahu menjelaskan bahwa ia menolak pembentukan negara Palestina di wilayah Israel dengan alasan keamanan. Ia mengkritik Gaza yang dipimpin oleh Hamas sebagai contoh kegagalan negara Palestina. “Setelah 7 Oktober? Ada negara Palestina yang disebut Gaza. Gaza, yang dipimpin oleh Hamas, adalah negara Palestina, dan lihat apa yang kita dapatkan,” ujarnya.

Pernyataan ini semakin memperjelas ketidaksetujuan Netanyahu terhadap pengakuan negara Palestina di tanah Israel, serta penolakannya terhadap tuntutan Palestina dalam mencapai perdamaian.

Arab Saudi Tegaskan Posisi mereka Arab Saudi tidak tinggal diam terhadap pernyataan Netanyahu. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa negara tersebut akan terus berjuang untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. “Arab Saudi tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tanpa itu,” jelas pernyataan pemerintah Saudi, yang menegaskan bahwa posisi mereka terhadap Palestina tidak akan berubah.

Pernyataan ini memperlihatkan bahwa normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi masih sangat tergantung pada pengakuan terhadap hak Palestina untuk memiliki negara merdeka. Dengan begitu, peluang untuk hubungan diplomatik antara kedua negara tersebut semakin kecil selama tuntutan Palestina tidak dipenuhi.

Ketegangan Semakin Memanas, Dunia Diminta Bertindak Reaksi dari Palestina dan Arab Saudi semakin memperuncing ketegangan di kawasan Timur Tengah. Banyak negara dan organisasi internasional mendesak PBB dan komunitas global untuk menindak tegas guna memastikan hak-hak Palestina tetap dihormati. Meningkatnya eskalasi politik ini membuka pertanyaan besar mengenai masa depan solusi dua negara dan apakah itu masih bisa terwujud.

Situasi ini membuat dunia internasional semakin terlibat dalam konflik yang tampaknya semakin rumit, di mana perbedaan tajam antara Israel, Palestina, dan negara-negara besar di Timur Tengah terus memicu ketegangan.

Trump Ungkap Rencana Masa Depan Gaza, Sebut AS Akan Pimpin Rekonstruksi!

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait masa depan Jalur Gaza pasca konflik yang tengah berlangsung. Dalam unggahan di platform Truth Social pada Kamis, Trump mengklaim bahwa setelah pertempuran berakhir, Gaza akan diserahkan kepada AS oleh Israel. Namun, ia menegaskan bahwa “tidak akan ada tentara AS yang dikerahkan” dalam proses tersebut.

Trump menyebut bahwa rencana tersebut mencakup relokasi warga Palestina ke komunitas yang lebih aman dan modern di wilayah lain. Ia bahkan menyebut nama Chuck Schumer dalam konteks ini, dengan menekankan bahwa warga Palestina akan mendapatkan “rumah baru yang lebih baik,” serta kehidupan yang lebih stabil dan bebas dari ancaman.

Lebih lanjut, Trump mengusulkan skema pemindahan warga Palestina ke Mesir dan Yordania sebagai bagian dari rencana besarnya. Ia mengklaim bahwa AS, bersama dengan tim pembangunan global, akan memimpin proyek rekonstruksi besar-besaran di Gaza. Ia menggambarkan proyek tersebut sebagai “salah satu pembangunan terbesar dan paling spektakuler di dunia,” yang akan membawa perubahan signifikan bagi kawasan tersebut.

Trump juga memastikan bahwa tidak akan ada keterlibatan militer AS dalam rencana ini. Ia berpendapat bahwa pendekatan berbasis pembangunan ekonomi akan lebih efektif dalam menciptakan stabilitas jangka panjang dibandingkan dengan intervensi militer.

Meskipun demikian, pernyataan ini menuai beragam respons dari komunitas internasional, terutama di Timur Tengah. Banyak pihak mempertanyakan realisme dan kelayakan rencana Trump, mengingat kompleksitas politik dan sejarah konflik di Gaza. Kritikus juga menyoroti bahwa rencana relokasi warga Palestina bisa menjadi isu yang sensitif dan sulit diterima oleh negara-negara di kawasan.

Sementara itu, para pendukung Trump menganggap rencana tersebut sebagai solusi alternatif untuk mencapai perdamaian yang lebih stabil tanpa harus melibatkan kekuatan militer. Namun, tanpa adanya kejelasan lebih lanjut mengenai implementasi dan penerimaan pihak terkait, gagasan ini masih menjadi perdebatan di tingkat global.

Bangkit dari Reruntuhan: Warga Gaza Mulai Membangun Kehidupan Pasca-Gencatan Senjata

Setelah gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang mulai berlaku pada 19 Januari, warga Palestina di Jalur Gaza menghadapi tantangan berat dalam proses pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan mereka. Meskipun penghentian pertempuran memberikan sedikit kelegaan, dampak yang ditinggalkan oleh konflik berbulan-bulan itu sangat menghancurkan. Infrastruktur yang rusak parah di Gaza—termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, dan jalan—menciptakan tantangan besar bagi masyarakat yang mencoba untuk memulai kembali kehidupan mereka.

Pembangunan kembali menjadi sangat rumit karena adanya kekurangan sumber daya yang diperlukan, serta tingginya jumlah pengungsi yang tinggal di kamp-kamp darurat yang penuh sesak. Ratusan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi setelah kehilangan rumah mereka, dan banyak yang harus bertahan hidup di tenda-tenda sementara. Kehidupan di kamp-kamp tersebut sangat sulit, dengan keterbatasan dalam akses terhadap pangan, air bersih, dan perawatan medis.

Pemerintah Palestina, bersama dengan organisasi internasional, berusaha memberikan bantuan, tetapi tantangan logistik dan ketidakstabilan situasi di lapangan membuat upaya tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Masyarakat Gaza juga menghadapi masalah tambahan terkait infrastruktur yang rusak parah, sehingga akses terhadap listrik dan layanan dasar lainnya semakin terbatas.

Pemerintah dan lembaga bantuan internasional berusaha keras untuk memastikan bantuan sampai ke tangan yang membutuhkan, namun hambatan keamanan dan logistik menjadi tantangan besar. Warga Gaza menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, dan pemulihan ekonomi serta sosial diperkirakan akan memakan waktu yang sangat lama. Meskipun ada harapan, langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kondisi kehidupan dan membangun kembali Gaza masih jauh dari kenyataan.

Mahmoud Abbas Desak Sidang Darurat PBB, Kecam Serangan Israel di Palestina!

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, pada Minggu (2/2), menyerukan sidang darurat Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan serangan Israel terhadap rakyat Palestina. Seruan ini muncul setelah penghancuran besar-besaran terhadap permukiman di kamp pengungsi Jenin, yang berada di wilayah Tepi Barat utara yang diduduki Israel.

Sebelumnya, Bashir Matahen, Direktur Hubungan Masyarakat dan Media Kota Jenin, menyampaikan kepada Anadolu Agency bahwa tentara Israel telah meledakkan 21 rumah di tiga area permukiman kamp pengungsi. Ia juga memperingatkan bahwa penghancuran akan terus berlanjut sesuai pemberitahuan yang telah diberikan oleh pasukan Israel kepada otoritas Palestina.

Dalam pernyataannya, Abbas menegaskan bahwa tindakan ini adalah bagian dari agresi sistematis Israel terhadap Palestina. Menurut laporan kantor berita resmi Palestina, WAFA, Abbas menggarisbawahi penghancuran blok-blok permukiman di Jenin dan Tulkarm, pemboman puluhan rumah warga, serta pengusiran paksa di Tamoun dan kamp Far’a, Tubas. Serangan ini juga disertai dengan penghancuran sistematis terhadap infrastruktur penting di wilayah tersebut.

Selain itu, Abbas mengecam kebijakan kekerasan Israel, yang disebutnya telah menyebabkan kematian puluhan warga Palestina, melukai ratusan lainnya, serta menangkap ribuan orang. Ia juga menyoroti aksi teror yang dilakukan oleh pemukim Israel, termasuk pembakaran rumah dan properti warga Palestina, yang bertujuan mengusir mereka dari tanah airnya.

Pemerintah Palestina mendesak komunitas internasional untuk segera mengambil tindakan guna memberikan perlindungan bagi rakyat Palestina serta menekan Israel agar menghentikan serangan dan kebijakan pemindahan paksa. Abbas juga meminta pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk ikut serta dalam menghentikan penghancuran dan pengusiran ini, demi mencegah eskalasi konflik yang bisa berdampak pada stabilitas kawasan.

Kepresidenan Palestina menuduh bahwa Israel tengah menjalankan rencana pemindahan paksa warga Palestina, sebagaimana yang telah dilakukan di Jalur Gaza. Dengan taktik penghancuran rumah dan permukiman, mereka menilai Israel berusaha memaksakan agenda politik yang ditentang oleh masyarakat internasional.

Meskipun menghadapi tekanan berat, rakyat Palestina menegaskan bahwa mereka akan tetap bertahan di tanah air mereka, menjaga warisan sejarah dan tempat-tempat suci, serta berjuang melawan upaya pengusiran yang telah lama mereka hadapi. Palestina juga memperingatkan bahwa eskalasi militer yang terus berlangsung tidak akan membawa perdamaian atau keamanan bagi siapa pun.

Serangan terbaru Israel di Jenin pada 21 Januari telah menewaskan sedikitnya 25 warga Palestina, sementara di Tulkarm, tiga warga Palestina turut menjadi korban jiwa. Konflik ini semakin memanas setelah perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan mulai berlaku di Gaza pada 19 Januari, menyusul perang berkepanjangan selama 15 bulan yang telah menyebabkan lebih dari 47.400 warga Palestina terbunuh dan menghancurkan wilayah tersebut menjadi reruntuhan.

Sejak agresi Israel di Gaza yang dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 900 warga Palestina di Tepi Barat telah terbunuh, baik akibat serangan langsung pasukan Israel maupun aksi kekerasan oleh pemukim ilegal Yahudi.

Hamas Dukung Pembentukan The Hague Group untuk Perjuangan Palestina

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pembentukan The Hague Group sebagai langkah strategis penting di tingkat internasional untuk mengakhiri pendudukan Israel di Gaza. Kelompok ini, yang terdiri dari negara-negara seperti Afrika Selatan, Malaysia, Namibia, Kolombia, Bolivia, Chili, Senegal, Honduras, dan Belize, bertujuan mengoordinasikan langkah-langkah hukum, diplomatik, dan ekonomi terhadap Israel yang dianggap telah melakukan pelanggaran hukum internasional.

Hamas dalam pernyataan resminya mengungkapkan rasa terima kasih terhadap inisiatif negara-negara tersebut dan menegaskan bahwa pembentukan The Hague Group merupakan bagian dari upaya mengakhiri pendudukan Zionis di Palestina serta mendukung hak rakyat Palestina untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri. Hamas juga menekankan bahwa agar sistem pendudukan Zionis bisa berakhir, biaya dari pendudukan tersebut harus diperberat dan Israel harus diisolasi secara global, mengingatkan pada apa yang terjadi dengan rezim apartheid Afrika Selatan.

Kelompok ini juga menegaskan bahwa keadilan internasional harus ditegakkan terhadap para pelaku kejahatan perang Zionis, serupa dengan apa yang dilakukan terhadap para pemimpin Nazi. Hamas mengajak negara-negara di dunia untuk bergabung dengan The Hague Group, mendukung perjuangan kemanusiaan di Palestina, dan mengembalikan kredibilitas hukum internasional yang telah dilanggar.

Pada pertemuan di Den Haag, Belanda, yang diselenggarakan oleh Progressive International, negara-negara ini mengecam tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza dan wilayah Palestina yang diduduki. Negara-negara tersebut juga menegaskan komitmennya untuk menentang kejahatan internasional tersebut dan memastikan keadilan tercapai.

Hamas dan Iran Bahas Perkembangan Gencatan Senjata Gaza, Tekankan Dukungan Perjuangan Palestina

Delegasi senior Hamas yang dipimpin oleh Ketua Dewan Syura, Mohamed Darwish, mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, pada Kamis di Doha, Qatar. Pertemuan tersebut membahas perkembangan terbaru mengenai gencatan senjata di Gaza, pertukaran tahanan, serta tantangan politik dan kemanusiaan yang dihadapi rakyat Palestina.

Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan bahwa diskusi mencakup upaya Israel dalam menghambat rekonstruksi Gaza serta pentingnya bantuan kemanusiaan yang terus mengalir bagi warga terdampak. Darwish juga menyampaikan apresiasi terhadap dukungan Iran terhadap perjuangan Palestina, menyebut Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 sebagai momen krusial dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel.

“Upaya Israel untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka melalui kekerasan dan agresi tidak akan berhasil. Kami tetap teguh dalam mempertahankan hak kami atas Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa,” ujar Darwish.

Di sisi lain, Abbas Araghchi menegaskan kembali komitmen Iran dalam mendukung perjuangan Palestina, baik dalam aspek politik maupun kemanusiaan.

Perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku pada 19 Januari, dengan durasi awal 42 hari dan opsi perpanjangan melalui negosiasi lanjutan. Kesepakatan ini dimediasi oleh Mesir dan Qatar dengan dukungan Amerika Serikat.

Sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2023, lebih dari 47.400 warga Palestina—mayoritas perempuan dan anak-anak—tewas, sementara lebih dari 111.000 lainnya mengalami luka-luka. Selain itu, lebih dari 11.000 orang dinyatakan hilang, sementara infrastruktur Gaza mengalami kehancuran luas, memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang berlangsung di Gaza.