Hamas Siap Negosiasi dengan Israel untuk Kesepakatan Komprehensif

Kelompok perjuangan Palestina, Hamas, mengungkapkan kesiapannya untuk memulai negosiasi dengan Israel terkait kesepakatan menyeluruh yang bertujuan untuk membebaskan semua sandera Israel dengan imbalan gencatan senjata total serta penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza. Khalil Al-Hayya, kepala Hamas di Gaza, menyatakan bahwa kesepakatan parsial mengenai Gaza hanya akan digunakan sebagai kedok politik untuk agenda Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam melanjutkan perang dan tindakan yang dianggap sebagai genosida serta kelaparan.

Al-Hayya menegaskan kesiapan Hamas untuk mencapai kesepakatan penuh, yang mencakup pembebasan sandera, pertukaran tahanan, penghentian perang, penarikan pasukan Israel, dimulainya rekonstruksi Gaza, serta pencabutan blokade. Ia juga menyambut baik dukungan dari utusan khusus AS untuk urusan sandera, Adam Boehler, yang mendukung solusi bersama untuk mengakhiri perang dan masalah sandera.

Lebih dari dua juta warga Gaza kini berada dalam ancaman kelaparan dan genosida akibat blokade yang diberlakukan Israel. Al-Hayya juga menyoroti bahwa Hamas telah menerima tawaran mediator pada akhir Maret, namun Netanyahu menolaknya dan memberikan syarat-syarat yang dinilai tidak masuk akal. Sejak Oktober 2023, lebih dari 51.000 warga Palestina, terutama perempuan dan anak-anak, telah kehilangan nyawa akibat serangan Israel yang brutal.

Israel kini menghadapi tuntutan di Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Gaza, serta kasus genosida di Mahkamah Internasional.

Korea Utara Kecam Israel Atas Serangan Gaza dan Ambisi Terhadap Palestina

Korea Utara pada Kamis (17/4) menuduh Israel secara terbuka berusaha merebut wilayah Palestina, sekaligus mengecam serangan terbaru yang dilakukan oleh militer Israel ke Jalur Gaza. Tuduhan ini muncul setelah serangan mematikan yang dilancarkan oleh Israel pada 18 Maret, yang menggagalkan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan dengan pejuang Hamas yang telah berlangsung sejak Januari.

Dalam pernyataan yang dirilis oleh kantor berita pemerintah Korea Utara, KCNA, negara tersebut mengecam Israel yang dianggap menyimpan ambisi untuk mencaplok wilayah Palestina dan mendominasi kawasan tersebut. Selain itu, KCNA juga menuding Amerika Serikat sebagai pihak yang memerintahkan pendudukan penuh Gaza oleh Israel, merujuk pada pernyataan mantan Presiden AS Donald Trump yang mengindikasikan bahwa Gaza akan diserahkan kepada AS setelah perang berakhir.

Serangan Israel yang dianggap sembrono ini, menurut KCNA, menunjukkan dengan jelas siapa yang bertanggung jawab atas rusaknya perdamaian dan stabilitas global. Sejak dimulainya serangan brutal pada Oktober 2023, lebih dari 51.000 warga Palestina telah tewas di Gaza, dengan mayoritas korban merupakan perempuan dan anak-anak. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan kepala pertahanan, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kemanusiaan di Gaza. Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait agresi di wilayah Gaza.

Israel Perintahkan Evakuasi Massal di Gaza Selatan, Serangan Mematikan Kembali Terjadi

Militer Israel kembali mengeluarkan perintah evakuasi bagi warga sipil Palestina di Gaza Selatan, tepatnya di tiga wilayah di kota Khan Younis, pada Sabtu. Juru bicara militer, Avichay Adraee, menyatakan bahwa warga di Abasan, al-Qarara, dan Khuza’a harus segera meninggalkan rumah mereka karena daerah tersebut dikategorikan sebagai “zona tempur berbahaya.” Ia menginstruksikan agar warga bergerak menuju pusat penampungan di al-Mawasi, dengan alasan bahwa serangan roket berasal dari wilayah yang menjadi target tersebut.

Dalam pernyataan terpisah, militer Israel mengklaim telah menyerang lokasi peluncuran mortir di Khan Younis, meskipun tidak memberikan rincian lebih lanjut. Pasukan Israel menyebut bahwa tiga tembakan mortir dilepaskan dari Gaza Selatan menuju posisi mereka di timur Khan Younis, namun tidak ada laporan mengenai korban dari pihak mereka.

Serangan terbaru ini terjadi setelah militer Israel melancarkan serangan udara mendadak di Jalur Gaza pada 18 Maret, yang menewaskan lebih dari 920 orang dan melukai lebih dari 2.000 lainnya. Serangan tersebut secara efektif menghancurkan gencatan senjata serta kesepakatan pertukaran tahanan yang sempat berlangsung pada Januari lalu.

Sejak Oktober 2023, konflik di Gaza telah menelan korban jiwa lebih dari 50.200 warga Palestina, dengan mayoritas korban adalah wanita dan anak-anak. Selain itu, lebih dari 114.000 orang mengalami luka-luka akibat serangan militer Israel yang terus berlanjut di wilayah tersebut. Situasi di Gaza semakin memburuk, dengan eskalasi kekerasan yang terus meningkat dan korban sipil yang semakin bertambah setiap harinya.

UEA Serukan Penghentian Serangan Israel dan Perlindungan Warga Gaza

Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan keprihatinannya terhadap serangan udara Israel yang terus berlanjut di Gaza, memperingatkan potensi ketidakstabilan yang lebih luas di wilayah tersebut serta meningkatnya eskalasi kekerasan di kawasan. Dalam pernyataan yang dirilis pada 18 Maret 2025, UEA menegaskan pentingnya upaya internasional untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban jiwa serta memburuknya kondisi kemanusiaan. Mereka juga mendesak penghentian tindakan yang merugikan warga sipil serta mengajak komunitas global untuk segera mencari solusi damai.

Menurut laporan Emirates News Agency (WAM), UEA mendorong tercapainya kesepakatan gencatan senjata yang baru, pemulihan akses listrik, pembukaan kembali jalur perlintasan, serta distribusi bantuan kemanusiaan tanpa hambatan kepada warga Gaza yang membutuhkan. Pemerintah UEA menegaskan kembali komitmennya dalam mendukung segala upaya yang bertujuan menciptakan perdamaian serta melindungi warga sipil dari dampak serangan yang semakin memburuk. Pernyataan ini muncul di tengah serangan udara besar-besaran yang dilancarkan Israel di seluruh Gaza pada Selasa pagi, yang telah menyebabkan lebih dari 400 korban jiwa dan semakin melemahkan kesepakatan gencatan senjata yang sempat berlaku sejak 19 Januari lalu.

Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pernyataan terbarunya menegaskan bahwa negaranya akan meningkatkan intensitas serangan terhadap Gaza. Ia menegaskan bahwa negosiasi terkait gencatan senjata kini hanya akan berlangsung di bawah tekanan tembakan. Situasi yang terus memburuk ini menambah kekhawatiran banyak pihak, termasuk negara-negara di kawasan yang menginginkan stabilitas serta solusi jangka panjang atas konflik yang berkepanjangan.

Ribuan Warga Palestina Ditahan dalam Eskalasi Militer Israel di Tepi Barat

Sepanjang Februari, pasukan Israel menangkap 762 warga Palestina dalam serangkaian operasi militer di berbagai wilayah pendudukan Tepi Barat. Komisi Urusan Tahanan dan Masyarakat Tahanan Palestina melaporkan bahwa di antara mereka yang ditahan terdapat 19 perempuan dan 90 anak-anak. Selain itu, pasukan Israel juga meningkatkan interogasi langsung di lapangan dengan memeriksa ratusan warga Palestina di lokasi penangkapan. Tindakan ini semakin memperburuk kondisi keamanan dan menambah ketakutan di kalangan warga yang telah lama hidup di bawah tekanan militer.

Penangkapan ini terjadi di tengah operasi militer besar-besaran Israel di bagian utara Tepi Barat sejak 21 Januari 2025, yang telah menyebabkan kematian sedikitnya 65 warga Palestina serta memaksa ribuan lainnya meninggalkan rumah mereka. Banyak dari mereka yang mengungsi menghadapi kondisi sulit, dengan akses terbatas terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan. Serangan ini semakin memperparah situasi kemanusiaan di wilayah tersebut, yang telah lama dilanda ketidakstabilan akibat kebijakan pendudukan Israel.

Data dari otoritas Palestina menunjukkan bahwa Israel kini menahan lebih dari 9.500 warga Palestina di berbagai penjara, termasuk 1.555 tahanan dari Jalur Gaza. Para tahanan ini menghadapi kondisi yang buruk, dengan laporan tentang penyiksaan, kurangnya akses ke pengacara, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Organisasi hak asasi manusia terus mengecam tindakan Israel, menekankan bahwa penahanan massal ini merupakan bagian dari kebijakan represif terhadap warga Palestina.

Situasi di Tepi Barat semakin memanas sejak Israel memulai agresinya terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023. Serangan yang terus berlanjut menyebabkan penderitaan besar bagi penduduk sipil, dengan ribuan rumah hancur dan banyak keluarga kehilangan tempat tinggal. Kementerian Kesehatan Palestina mencatat bahwa hingga kini sedikitnya 930 warga Palestina tewas dan hampir 7.000 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan tentara dan pemukim ilegal Israel. Kekerasan terhadap warga sipil ini mendapat kecaman dari berbagai pihak internasional, tetapi respons dunia terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi masih dinilai lemah.

Pada Juli 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina merupakan tindakan ilegal dan mendesak Israel untuk mengosongkan seluruh permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Namun, hingga saat ini, Israel terus mengabaikan putusan tersebut dan tetap melakukan ekspansi permukiman ilegalnya. Sikap ini semakin meningkatkan ketegangan, dengan Palestina dan komunitas internasional terus mendesak adanya intervensi yang lebih tegas untuk menghentikan kebijakan pendudukan dan agresi militer yang dilakukan oleh Israel.

Di tengah situasi yang memburuk, warga Palestina terus berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka meski menghadapi tekanan yang semakin besar. Solidaritas internasional pun terus berkembang, dengan berbagai aksi protes dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran global terhadap penderitaan rakyat Palestina. Namun, tanpa langkah nyata dari komunitas internasional, konflik ini diperkirakan akan terus berlanjut dan semakin memperburuk krisis kemanusiaan di kawasan tersebut.

Israel Bebaskan 596 Warga Palestina dalam Pertukaran dengan Hamas

Israel pada Kamis (27/2) membebaskan 596 warga Palestina dari berbagai penjara sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas. Pembebasan ini dilakukan setelah kelompok perlawanan Palestina menyerahkan jenazah empat sandera Israel. Langkah ini merupakan tahap ke-7 dalam pertukaran tawanan yang telah disepakati kedua belah pihak.

Menurut kantor berita Palestina Wafa, sebanyak 37 tahanan dibebaskan di Ramallah, Tepi Barat, dan lima lainnya di Yerusalem Timur. Salah satu tahanan yang dibebaskan dalam kondisi koma langsung mendapatkan perawatan medis setelah diterima oleh Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina. Beberapa tahanan lainnya dipindahkan ke Jalur Gaza, sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Rumah Sakit Eropa Gaza, Saleh Al Hams. Ia menuturkan bahwa banyak tahanan yang mengalami kondisi kesehatan buruk akibat penyiksaan selama ditahan. Beberapa di antaranya bahkan tidak mampu berjalan dan menderita penyakit kulit, sementara satu orang harus dirawat akibat fibrosis paru.

Di antara para tahanan yang dibebaskan, terdapat 15 tenaga medis yang sebelumnya ditangkap selama konflik. Hamas mengungkapkan bahwa 11 orang dari mereka adalah tahanan dengan hukuman seumur hidup atau jangka panjang, yang telah dipenjara sebelum pecahnya perang pada 7 Oktober 2023. Sebanyak 97 tahanan dengan vonis serupa juga dideportasi ke Mesir.

Amani Sarahneh dari Masyarakat Tahanan Palestina menyatakan bahwa Israel telah menunda pembebasan 46 perempuan dan anak-anak yang seharusnya sudah dibebaskan. Penundaan ini dilakukan sampai proses identifikasi jenazah sandera Israel selesai. Pada Rabu malam, Hamas telah membebaskan 33 warga Israel, termasuk delapan jenazah, sebagai bagian dari tahap pertama gencatan senjata yang berlangsung selama 42 hari. Di sisi lain, Israel melaporkan bahwa 59 warganya masih ditahan di Gaza, dengan sekitar 20 orang diduga masih hidup. Mereka diharapkan dapat dibebaskan dalam tahap berikutnya, yang mensyaratkan penarikan penuh pasukan Israel serta penghentian perang secara permanen. Gencatan senjata tahap pertama, yang dimulai pada 19 Januari, berhasil menghentikan serangan militer Israel di Gaza, yang sebelumnya menewaskan lebih dari 48.300 warga Palestina dan menyebabkan kehancuran besar di wilayah tersebut.

Kendala Keamanan Hambat Distribusi Bantuan ke Palestina, Kata Wamenlu

Pemerintah Indonesia terus berupaya menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Palestina di tengah berbagai kendala yang dihadapi di lapangan. Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Anis Matta mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam proses distribusi bantuan adalah faktor keamanan, terutama saat melewati perbatasan negara-negara sekitar Palestina.

“Kendala terbesar di lapangan adalah isu keamanan, baik dari pihak Mesir, Yordania, maupun Israel. Oleh karena itu, pengamanan yang ketat menjadi hal penting untuk memastikan bantuan sampai ke tangan warga Palestina,” ujar Anis dalam acara peluncuran kampanye penggalangan dana di Kantor Kemlu RI, Jakarta Pusat, pada Rabu (26/2/2025).

Jaminan Bantuan Sampai ke Palestina

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Anis memastikan bahwa bantuan yang dikumpulkan dari masyarakat Indonesia tetap akan tersalurkan dengan baik kepada warga Palestina.

“InsyaAllah, melalui Kementerian Luar Negeri dan kerja sama dengan berbagai pihak, kita akan terus berupaya mengatasi kendala ini agar bantuan bisa diterima oleh saudara-saudara kita di Palestina,” tegasnya.

Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan Badan Zakat Nasional (Baznas), Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta berbagai lembaga kemanusiaan non-pemerintah untuk menghimpun dana bagi Palestina. Penggalangan dana ini menargetkan donasi sebesar 200 juta USD atau sekitar Rp 3,2 triliun.

“Hari ini kita memulai gerakan ini dengan target awal sekitar 200 juta USD atau kira-kira Rp 3,2 triliun. Dana ini nantinya akan digunakan untuk berbagai program kemanusiaan,” ungkap Anis.

Fokus pada Bantuan Darurat dan Rekonstruksi Gaza

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dana yang terkumpul akan digunakan untuk bantuan darurat selama masa gencatan senjata serta rekonstruksi infrastruktur di Gaza yang hancur akibat konflik.

“Saat ini kita fokus pada dua program utama, yaitu bantuan darurat selama masa ceasefire (gencatan senjata) serta rekonstruksi Gaza. InsyaAllah, bantuan ini dapat membantu meringankan penderitaan saudara-saudara kita di sana,” kata Anis.

Tidak ada batas waktu yang ditentukan untuk penggalangan dana ini. Namun, kampanye tersebut dimulai bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, dengan harapan dapat menggerakkan lebih banyak masyarakat untuk berpartisipasi.

“Kita tidak menetapkan batas waktu penggalangan dana, tetapi kita memulainya di bulan Ramadhan agar bisa segera disalurkan dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat Palestina,” pungkasnya.

Upaya ini menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam membantu Palestina, baik melalui bantuan kemanusiaan maupun dukungan diplomatik di berbagai forum internasional.

Gelombang Ketujuh Pertukaran Tahanan: Israel Bebaskan Puluhan Warga Palestina

Israel membebaskan puluhan warga Palestina dari Penjara Ofer pada Kamis pagi waktu setempat. Bus yang mengangkut para tahanan tiba di kota Beitunia, sebelah barat Ramallah, dan melanjutkan perjalanan menuju Istana Kebudayaan di Ramallah, di mana keluarga mereka telah menunggu dengan penuh harapan. Proses pembebasan ini berlangsung di bawah pengawalan ketat dari tim Palang Merah Internasional untuk memastikan keamanan para tahanan yang dibebaskan.

Menurut laporan Kantor Informasi Tahanan Hamas, dari total 620 tahanan yang dijadwalkan akan dibebaskan, sebanyak 43 orang di antaranya akan kembali ke wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem. Pembebasan ini merupakan bagian dari gelombang ketujuh dalam kesepakatan pertukaran tahanan yang sebelumnya tertunda antara Hamas dan Israel. Kesepakatan ini diharapkan dapat mengurangi ketegangan yang terus meningkat di wilayah konflik, meskipun situasi di lapangan masih jauh dari stabil.

Sementara itu, seorang sumber keamanan Israel mengungkapkan bahwa pada Rabu malam, kendaraan Palang Merah Internasional telah bergerak menuju titik penjemputan guna menerima jenazah empat sandera Israel dari Jalur Gaza. Informasi ini dikonfirmasi oleh otoritas penyiaran publik Israel, KAN, yang mengutip sumber anonim tanpa memberikan rincian lebih lanjut mengenai proses pemulangan jenazah tersebut.

Pertukaran tahanan ini menjadi bagian dari langkah diplomasi yang telah lama diupayakan oleh berbagai pihak untuk meredakan ketegangan di kawasan tersebut. Meskipun demikian, konflik antara Israel dan Palestina masih jauh dari kata usai, dengan perundingan yang terus berlanjut guna mencapai solusi yang lebih permanen.

Enam Sandera Israel Dibebaskan Hamas dalam Pertukaran Tahanan di Tengah Gencatan Senjata

Enam warga Israel yang sebelumnya disandera oleh Hamas akhirnya dibebaskan pada Sabtu (22/2) sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan dalam gencatan senjata yang sedang berlangsung, demikian pernyataan dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Pada hari yang sama, dua dari enam sandera tersebut dipindahkan dari kendaraan milik Brigade Al-Qassam, sayap bersenjata Hamas, ke kendaraan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) di Rafah, Gaza selatan. Selanjutnya, mereka diserahkan kepada pihak IDF dan Badan Keamanan Israel. Kedua sandera itu adalah Avera Mengistu (38), seorang warga Israel keturunan Ethiopia dari Ashkelon yang telah ditawan sejak 2014 setelah menyeberang ke Gaza, serta Tal Shoham (40), yang diculik dalam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. Istri dan dua anak Shoham sebelumnya telah dibebaskan dalam perjanjian gencatan senjata pada November 2023.

Di hari yang sama, tiga sandera lainnya, yakni Omer Shem-Tov (22), Eliya Cohen (27), dan Omer Wenkert (23), juga diserahkan kepada otoritas Israel melalui ICRC di kamp pengungsi al-Nuseirat, Gaza tengah. Ketiganya diculik dalam serangan Hamas pada 2023. Menurut saksi mata, mereka tampak dalam kondisi baik, mengenakan seragam militer, dan membawa surat pembebasan mereka. Salah satu dari mereka bahkan tertangkap kamera mencium kepala dua anggota Brigade Al-Qassam yang mengenakan penutup wajah.

Selain itu, seorang sandera lain, Hisham al-Sayed (37), dibebaskan tanpa upacara resmi di Gaza tengah pada hari yang sama. Menurut sumber di dalam Brigade Al-Qassam, al-Sayed, yang telah ditawan selama hampir satu dekade, kemudian diserahkan kepada perwakilan Palang Merah sebelum dibawa ke pasukan Israel di Gaza.

Pembebasan keenam sandera ini merupakan bagian dari pertukaran tahanan dalam tahap pertama perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Israel pada hari itu akan membebaskan 602 warga Palestina yang berada dalam tahanannya. Pertukaran ini menjadi tahap akhir dari kesepakatan gencatan senjata pertama yang dimulai sejak 19 Januari lalu, dan diperkirakan akan berakhir pekan depan.

Dalam tahap ini, Hamas diperkirakan akan menyelesaikan pembebasan 33 sandera Israel, di mana 25 di antaranya masih hidup sementara delapan lainnya telah meninggal dunia. Di sisi lain, Israel berkomitmen untuk membebaskan lebih dari 1.500 warga Palestina sebagai bagian dari kesepakatan tersebut.

Krisis Kemanusiaan Gaza: Israel Batasi Alat Berat, Evakuasi dan Pemulihan Terhambat

Israel hanya mengizinkan enam unit alat berat berukuran kecil untuk membersihkan reruntuhan di Jalur Gaza, sementara ratusan alat berat lain yang sangat dibutuhkan masih dilarang masuk. Akibatnya, upaya pemulihan di wilayah yang hancur akibat serangan Israel mengalami hambatan serius.

Ismail Thawabteh, Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, menyatakan bahwa beberapa alat berat yang diizinkan masuk bahkan dalam kondisi rusak dan memerlukan perbaikan serta suku cadang. Sementara itu, kebutuhan di lapangan jauh lebih besar, dengan perkiraan 500 unit alat berat diperlukan, termasuk buldoser, ekskavator, dan derek untuk membersihkan puing-puing, membuka jalan, serta mengevakuasi ribuan jenazah yang masih tertimbun.

Thawabteh menyoroti bahwa keterbatasan ini memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza. Ia juga mengkritik keputusan Israel, yang dianggapnya sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap penderitaan warga sipil di wilayah tersebut.

Di sisi lain, Hamas tengah berupaya menekan Israel melalui mediator dari Qatar dan Mesir agar mematuhi komitmen gencatan senjata yang telah disepakati. Gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari itu sejenak menghentikan konflik yang telah merenggut lebih dari 48.300 nyawa warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur di Gaza.

Sementara itu, pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga sedang menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait agresinya di wilayah tersebut.